Mataku langsung terbuka begitu merasakan tangan besar lagi berotot membopong tubuhku. Dengan gerak spontan aku langsung berontak dalam gendongan dan menggigit keras bahu orang itu.
“AWW!”
‘BRUKK’
Bersamaan dengan teriakannya, tubuhku terjatuh dengan kasar di atas permukaan paving blok yang keras.
“Isshh...," ringisku, mengusap pantat yang terasa nyeri seraya mengumpulkan kesadaran akibat terbangun tiba-tiba.
Setelah makan malam yang penuh emosi dengannya, laki-laki itu kembali membawaku berputar-putar mengelilingi pusat kota Makassar. Karena ingin menghindari ocehannya aku memilih berpura-pura tertidur, yang akhirnya malah tertidur betulan.
“Astaga, kamu tak apa-apa?” tanyanya panik, membungkuk hendak membantuku berdiri.
Kupelototkan mata menatapnya. “Sudah lihat jatuh begini, masih nanya!” rutukku, masih mengusap-usap bagian tubuh yang nyeri. “Kenapa menjatuhkanku? Tidak bisa apa menurunkanku baik-baik?”
“Salah sendiri, kenapa menggigit tiba-tiba?”
“Kamu sendiri kenapa mengangkatku? Sudah tahu aku tak mau disentuh denganmu? Kenapa masih nekat?”
“Kamu ketiduran. Aku tak mau mengganggu tidurmu, jadi terpaksa kuangkat.”
“Alasan! Pasti cari-cari kesempatan saja!!”
Laki-laki itu menegakkan tubuh dan menghela napas. "Kalau aku mau cari-cari kesempatan, aku sudah berbuat yang tidak-tidak denganmu saat masih di dalam mobil tadi.”
“Mana kutahu! Bisa saja tadi kamu sudah curi-curi kesempatan.”
"Astaga, ternyata capek bicara denganmu.”
“Makanya tidak usah bicara denganku! Justru aku yang capek bicara denganmu!"
“Sudahlah, masuk cepat. Sudah tengah malam,” Ujarnya, berbalik meninggalkanku yang masih terduduk meringis kesakitan.
“Huh, dasar tidak berprikemanusiaan!”
Susah payah aku berusaha bangkit berdiri. Tapi rasa nyeri yang terasa menjalar di tulang pinggul, membuatku susah untuk berdiri tanpa bantuan. Sepertinya terjadi cedera jaringan lunak pada otot jaringan bawah kulitku.
Laki-laki yang sudah berjalan beberapa langkah ke depan itu menoleh. “Kenapa belum bergerak? Mau tidur di situ?"
“Sudah lihat aku kesakitan begini. Bantuin kek!”
Dia menghela napas kasar lalu kembali menghampiri. “Katanya tak mau disentuh. Bagaimana caranya aku membantumu kalau tak mau disentuh?”
“Yah, sudah! Gak usah bantu!” pekikku mencoba bangkit sendiri. Tapi tulang pinggul yang tidak mau bekerja sama membuatku terhuyung dan hampir jatuh seandainya laki-laki itu tidak segera menahan tubuhku.
Buru-buru kutepis tangannya dan mendorongnya menjauh. Menatapnya penuh rasa kebencian. “Kenapa sekarang membantuku? Bukannya tadi tak mau membantu?”
“Astaga, maumu apa sih?”
“Ceraikan aku!” Pekikku yang membuat bola matanya langsung melebar dan melotot sempurna.
“Astaghfirullah, ya Allah. Ada ya seorang istri yang mau banget jadi janda?”
“Ada, aku!” tegasku, mengangkat dagu memandangnya.
Dia menggeleng-gelengkan kepala seraya menghela napas lalu terdiam mengamatiku.
“Apa lihat-lihat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
عشوائيSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...