SECERCAH HARAPAN

32 6 1
                                    

"Hamili aku Dhil, sekarang ini masa suburku," bisikku pelan dengan nada memelas.

Jantungku memompa dengan cepat. Aku yang menantang namun aku sendiri yang kelimpungan. Tubuhku bahkan gemetaran dengan hebat. Aku yakin saat ini tubuhku dipenuhi hormon Dopamin yang bekerja memproduksi neuron-neuron yang membangkitkan gairah.

Ku tarik pelan tanganku yang tadi ditahannya. Lalu beralih dengan membuka satu persatu kancing kemejaku sendiri hingga apa yang ada dibaliknya kini tampak didepan matanya. Jakun Fadhil naik turun menelan ludah begitu melihat apa yang ada di hadapannya. Tapi itu hanya terjadi selama sepersekian detik, karena dengan cepatnya ia langsung menjaga pandangan.

"Astaghfirullah," lirihnya pelan namun masih bisa kudengar jelas.

Fadhil menghentikan aktifitas tanganku dan menggenggamnya erat. Tangannya terasa sangat dingin dan juga basah mungkin berkeringat dingin. Netranya kembali menatap mataku dalam selama beberapa detik, dan akhirnya menggeleng pelan lalu mengecup keningku dengan lembut.

"Please Dhil..., ini satu-satunya cara agar orang tuaku bisa menikahkan kita." Pintaku lagi dengan sangat memelas dan putus asa. "Kamu mencintaiku, 'kan? Kamu juga menginginkan diriku, 'kan?"

Fadhil membisu sesaat. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Aku sangat mencintaimu sayang. Sangat! Kamu tidak tahu betapa aku sangat menginginkan dirimu saat ini juga. Tapi tidak dengan cara seperti ini," ucapnya dengan suara serak menahan nafsu sembari mengancingkan kembali kemejaku dengan jari-jarinya yang gemetaran. "Aku menginginkanmu dengan cara yang halal," lanjutnya setelah kemejaku kembali tertutup.

Ya Tuhan, aku semakin mencintainya.

Netraku menatapnya bangga. Pengendalian dirinya begitu kuat. Walaupun mata Fadhil sudah dipenuhi kabut nafsu layaknya seorang laki-laki normal, tapi dia masih bisa berfikir jernih dan tetap teguh dalam prinsip.

Fadhil kembali mengecup keningku lalu memperbaiki posisi dudukku dan duduknya sendiri dengan sedikit memberi jarak diantara kami. Dia lalu mengusap kasar wajah dan mengancingkan kembali kemejanya yang tadi kubuka dengan jari-jarinya yang tampak masih saja bergetar karena gemetaran.

Tangan kanannya kemudian meraih kaleng minuman bersoda yang ada di dekatnya, meneguknya dengan cepat. Mungkin untuk meredam nafsunya yang tadi bangkit, atau sekedar menghilangkan kecanggungan diantara kami.

"Jangan pernah meminta dan memancing untuk berbuat seperti ini lagi sayang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau aku tak bisa menahan diri. Kita sama-sama tahu kalau perbuatan itu sangat dilarang oleh agama, dan aku tak mau ada penyesalan setelahnya. Jangan kotori cinta kita dengan nafsu semata," terangnya dengan suara yang masih serak tanpa melihat sedikitpun ke arahku.

"Diantara kita ada Allah yang melihatnya, di samping kiri dan kanan kita ada malaikat yang mencatat baik buruknya perbuatan kita. Jangan pernah lupakan itu!" lanjutnya pelan, namun tegas dan penuh penekanan ditiap katanya.

Aku terdiam sejenak merenungi perkataan Fadhil. Merasa tertampar dengan perkataannya.

Ya Tuhan, Bagaimana bisa aku tidak meleleh dan setergila-gila ini padamu, Dhil? kalau kamu memperlakukanku dengan sehormat ini. Inilah yang semakin membuatku cinta berkali lipat padamu.

Fadhil begitu sangat menghargai wanita dan berpegang teguh pada agama. Kalau bersama laki-laki lain, pastinya saat ini kami sudah melakukannya dan berakhir penyesalan kemudian.

Aku sedikit meringis membayangkannya lalu menunduk malu di hadapan Fadhil. "Maaf, aku sudah kehilangan akal sehatku."

Fadhil menghela nafas berat, memandangiku yang semakin menunduk, meraih tanganku dan menggenggamnya dengan kedua tangan.

"Baiklah, mari kita berusaha sekali lagi. Aku akan kembali menemui orang tuamu dan bicara pada mereka," ucapnya, membuat secercah harapanku yang tadinya padam kini kembali bersinar cerah.

Aku mengangguk cepat disertai senyum yang mengembang sempurna padanya. Fadhil pun ikut tersenyum bersamaku. Kembali kami beradu pandang tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibir kami berdua, seolah hanya sorot mata kami yang masing-masing saling berbicara.

Tidak lama kemudian Dara datang dengan menenteng berbagai bungkusan makanan, lalu menghidangkannya untuk kami. Mencairkan susana canggung yang ada. Aku dan Fadhil diam-diam kembali saling pandang dan sama-sama menghela nafas lega karena hampir saja melakukan dosa besar.

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang