Fadhil POV,
Aku menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya mengetuk pintu cokelat berbahan kayu jati.
Seruan dari dalam sana sebagai isyarat mempersilahkanku masuk, membuatku akhirnya menyentuh handle pintu dan mendorongnya bersamaan dengan langkah kaki yang ikut masuk ke dalam.
“Assalamualaikum,” lirihku mengucap salam.
Udara dingin langsung menyeruak begitu tubuhku masuk sempurna dalam ruangan berdesain modern futuristik itu. Suhu pendingin udara yang berembus memenuhi ruangan itu serta kegugupan yang menderaku membuatku sedikit bergidik.
"Waalaikumsalam, masuk nak," jawab laki-laki paruh baya bertubuh tambun duduk dibalik meja kerja berbentuk persegi berbahan kaca hitam mengkilat. Tersenyum ramah padaku dengan sorot mata yang teduh. Tampak sangat berbeda dengan ekspresi yang terekam dalam ingatanku.
Orang tua itu bangkit berdiri dari kursi kebesarannya lalu menghampiriku. Dengan segera aku meraih tangan kanannya, dan mencium punggung tangannya itu.
“Maaf nak, tadi ada urusan sedikit. Sudah menunggu lama?” tanyanya sembari menepuk pelan punggungku. Layaknya orang yang betul-betul mengharapkan kedatanganku.
“Baru juga, Om. Tadi sempat sholat Ashar dulu,” jawabku canggung.
“Tak usah tegang begitu.” Kembali menepuk pelan punggungku. “Silahkan duduk,” lanjutnya.
Aku mengangguk dan mengikuti instruksinya. Mendudukkan tubuh pada sofa tamu berwarna abu gelap. Sementara beliau memilih duduk pada sofa single yang berada tepat di depanku yang di antarai dengan sebuah meja putih berbahan kaca.
Menunduk sembari meremas kedua tangan guna meredam rasa gugup, sementara dalam hati terus berdoa agar apa yang ada dalam pikiranku tidak benar-benar terjadi.
Hening selama beberapa detik diantara kami. Hanya suara detakan jarum jam yang terdengar memecah kesunyian. Hingga seorang office boy masuk membawa nampan berisi dua cangkir teh lalu meletakkannya di atas meja dan kembali keluar tanpa berkata-kata.
“Minum nak,” ucapnya mempersilahkan dengan ramah.
“Makasih om.” Ku raih cangkir putih itu lalu menyesap isinya sedikit.
“Maaf kalau selama ini saya terkesan dingin padamu. Terus terang saya bersikap seperti itu bukan karena membenci atau tidak menyukaimu. Kalau saya tidak menyukaimu sudah dari dulu-dulu saya meminta kamu menjauhi putri saya. Tapi itu tak pernah saya lakukan bukan?”
Aku mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Saya tahu betul kalau kamu anak yang baik dan sopan. Kamu laki-laki yang bertanggung jawab, jujur dan dapat dipercaya,” ungkapnya sembari menatapku lekat.
“Terima kasih, om,” balasku singkat.
“Hanya saja ..." Orang tua itu menghela napas sesaat. "Sebagai orang tua dari putri satu-satunya yang saya miliki. Saya juga punya standar untuk laki-laki yang akan mendampingi anak saya di masa depan.”
Ya Allah, kuatkan hatiku.
Ku telan ludah ku susah payah dan memberanikan diri berbicara. “Apa saya betul-betul sudah tak punya kesempatan? Saya berjanji akan membahagiakannya seumur hidup.”
“Saya membesarkan putri saya itu dengan banyak cinta dan hidup yang serba berkecukupan selama ini. Bukannya saya meragukanmu. Hanya saja, sebagai orang tua saya merasa berat menyerahkan hidup dan masa depan putri saya padamu.”
Kuanggukkan pelan kepala merespon ucapannya.
“Dari kecil dia sangat dimanja hingga akhirnya menjadi gadis yang sedikit pembangkang. Saya butuh laki-laki yang bisa membimbingnya menjadi lebih baik. Kamu laki-laki yang baik, bahkan sangat baik. Tapi menurut pengamatan saya selama bertahun-tahun kamu bersamanya, kamu masih belum mampu membimbingnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...