BUKAN DIA YANG KUHARAP

31 6 0
                                    

Akhirnya pesta yang digelar dengan mewah dan glamour itu berjalan sukses. Beberapa pejabat kota dan orang-orang penting turut hadir memeriahkan. Senyum dan tawa kedua orang tuaku bahkan tak pernah surut saat menyapa rekan-rekannya.

Sama sekali tak ada yang mengerti dengan keadaan hatiku yang hancur berkeping-keping. Aku betul-betul diperlakukan layaknya boneka yang dipajang pada etalase toko agar mengundang takjub orang-orang yang melihat.

Hingga pesta usai, tak pernah sedikitpun aku berinteraksi dengan siapapun, apalagi laki-laki yang mendampingiku. Jangankan berinteraksi dengannya, melihat wajahnya pun aku begitu enggan. Aku terus menerus hanya menatap kedepan. Mencari keberadaan seseorang yang mungkin saja masih melihatku dari kejauhan.

Terlebih saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Terdiam membisu layaknya patung. Dan orang itu, laki-laki yang katanya suamiku itu juga tak sedikit pun mencoba untuk membuka pembicaraan denganku. Mungkin syok dengan kelakuan ajaibku. Atau mungkin menyesal telah menikahiku.

Ya, setidaknya biar dia tau diri kalau kehadirannya sama sekali tidak kuharapkan. Tidak untuk saat ini, besok dan di masa mendatang.

Begitu mobil sampai di halaman rumah orang tuaku yang megah, aku langsung turun dari mobil tanpa meminta ataupun menerima bantuan siapa pun. Kutinggalkan sepatu heels pernikahan berlapis payet swarovski teronggok begitu saja di dalam mobil, lalu berlari dengan menyeret pakaian pengantin menuju kamarku. Mengabaikan seluruh mata yang memandang aneh diriku.

Terdengar derap langkah beberapa orang ikut berlari mengejar tapi tak kupedulikan sama sekali.

BRAKK’

Kubanting keras pintu kamar, hingga dinding sekitarnya ikut bergetar. Kukunci pintu dengan cepat. Berharap tak ada seorang pun yang masuk dalam wilayah pribadiku.

Kusandarkan tubuh pada daun pintu itu, hingga perlahan tubuhku luruh jatuh meringkuk di lantai.

ARRRGGGHHH...!

Teriakku frustasi. Tangisan yang sedari kutahan-tahan akhirnya kulampiaskan. Meluapkan semua kekecewaan hati yang begitu hancur lebur dan porak-poranda.

Kembali kulepas semua aksesoris yang melekat di kepala dan tubuh lalu melemparnya begitu saja. Menghapus make-up yang menjadi topeng di wajah dengan kedua tangan. Setelahnya, ku benamkan wajah diantara lutut dan menangis sejadi-jadinya. Meraung-raung dengan hebatnya.

Suara ketukan pintu di balik tubuhku terus-menerus terdengar tanpa henti, diikuti suara mamaku serta beberapa orang di luar sana.

“Ri ... Buka nak!”

“Ri ....”

“APALAGI YANG KALIAN INGINKAN DARIKU? AKU SUDAH MENGIKUTI KEINGINAN KALIAN. MAHAR YANG KALIAN INGINKAN SUDAH KALIAN DAPATKAN. PESTA YANG KALIAN INGINKAN JUGA SUDAH BERAKHIR DENGAN LANCAR BUKAN?” teriakku dengan suara parau.

“Ri, itu bukan untuk kami, Nak. Itu untukmu. Semua itu untukmu.”

Hah? Untukku katanya? Apa aku harus tertawa dengan lelucon ini?

Aku tertawa sambil terisak, bangkit berdiri lalu menghambur seluruh yang tertata rapi di atas meja rias.

PRANGG'

PRANGG'

PRANGGG'

Semua barang yang mengisi kamarku terhempas dan hancur berhamburan di lantai, seiring dengan teriakan di luar sana dan suara dobrakan pintu yang semakin intens.

“RI ... BUKA SAYANG. JANGAN BERBUAT MACAM-MACAM. ISTIGHFAR NAK, ISTIGHFAR!" teriak mamaku memelas, terdengar sangat khawatir.

Aku menyunggingkan senyum miris. Khawatir? Tuluskah mereka khawatir padaku?

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang