Sudah beberapa hari terlewati begitu saja. Sejak itu pula aku belum lagi bertemu Fadhil karena kesibukan di rumah sakit. Jangankan bertemu, untuk menelfon pun tak sempat karena ponselku berada di dalam loker di ruang ganti. Aku hanya sempat mengirim pesan pada Fadhil, mengabarkan kalau aku sibuk dan tak akan sempat menghubunginya.
Beberapa malam berturut-turut ini kuhabiskan dengan berjaga di ruang OK, menyelesaikan beberapa kasus bedah bersama residen bedah lainnya dan koas yang sedang bertugas di stase bedah, serta tentu saja dipimpin oleh konsulen yang mengepalai pada divisi bedah.
Selepas jaga pagi tadi pun aku masih harus melanjutkan melakukan tugas rutin lainnya. Padahal aku hanya sempat tidur selama tiga jam dalam dua malam kemarin.
Bawah mataku sudah sangat berkantung dan berwarna gelap karena kurang tidur. Bahkan setelan scrub masih melekat di tubuh sejak semalam. Rambut sudah kucepol asal-asalan, hanya sempat cuci muka dan sikat gigi lalu lanjut kembali hingga sepertiga hari ini berlalu begitu saja.
Harusnya siang tadi juga aku sudah pulang sesuai permintaan mamaku yang menyuruh untuk pulang ke rumah di hari sabtu, karena minggu sudah dimulai prosesi adat pernikahan. Tapi hingga sore ini aku masih betah di ruang bangsal. Masih ada beberapa pasien yang bermasalah yang belum ada keputusan karena masih perlu konsultasi dan pemeriksaan lanjutan, dan itu semua merupakan tanggung jawabku.
Jadi tidak mungkin bukan aku meninggalkan mereka begitu saja? Belum lagi jurnal yang harus kuselesaikan sebelum cuti selama seminggu penuh. Kalau tidak semua akan keteteran saat masuk kembali.
Kuayunkan langkah dengan malas melewati koridor rumah sakit menuju ruang residen sembari mengirim pesan pada Fadhil. Mengabarkan kalau malam ini aku sudah bebas. Baru beberapa detik pesan itu terkirim, ponselku langsung berbunyi.
“Ya, Dhil?”
“Masih sibuk?”
“Hm ....” Aku hanya sanggup berdehem. Mataku betul-betul terasa berat.
“Pesanku belum kamu baca?”
“Belum sempat. Sudah dulu ya, aku mau tidur sebentar baru lanjut lagi.”
“Capek sekali, ya?”
“Hm ...."
“Apa tidak bisa bicara sebentar lagi?” pintanya di ujung sana dengan nada setengah memelas.
Aku sedikit menautkan alis. “Ada apa?”
“Aku merindukanmu ... Please, jangan matikan dulu. Aku ingin mendengar suaramu.”
“Apa sih, Dhil?” tanyaku heran, “Sebentar malam kita ketemu. Sudah ya?”
“Ri, aku ... Aku ingin berbicara sesuatu padamu.”
Aku menghela napas, kakiku kini telah sampai di depan ruang residen. “Harus sekarang, ya?”
Hening, hanya terdengar suara helaan nafas Fadhil di ujung sana.
“Dhil?” panggilku karena dia hanya terdiam.
“Dhil, aku betul-betul lelah. Mau istirahat dulu," ucapku sambil mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan.
Kembali kudengar helaan nafas berat darinya.
“Baiklah, aku tunggu sebentar ya?”
“Hm...” balasku singkat lalu mematikan sambungan telepon, kemudian menghempaskan tubuh ke atas sofa yang ukurannya sangat minimalis, berbaring meringkuk di atasnya. Aku sudah tak perduli lagi bagaimana posisi tidurku saat ini, yang penting mataku dapat terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...