Masih POV Fadhil.
Matahari telah condong ke barat, berada tepat di garis meridian langit. Memancarkan sinar terik yang membuat mata memicing karena silaunya, dan terpaan panas yang cukup menyengat kulit.
Setelah singgah melaksanakan sholat Dhuhur, aku melenggang masuk dari toko mebel satu ke toko mebel lainnya, dari jalan satu hingga ruas jalan lainnya. Dari batas kota Makassar hingga ke dalam kota. Sesuai lini area garapanku. Menawarkan beberapa produk-produk mebel dari brand perusahaan tempatku bekerja, sekaligus menagih nota tagihan yang telah jatuh tempo.
Beginilah pekerjaanku sehari-hari. Berkeliaran di jalan dengan sepeda motor di bawah terik sang mentari hingga kembali ke peraduan. Pekerjaan yang membutuhkan kesabaran, kejujuran, serta public speaking yang baik. Terlihat santai tapi begitu melelahkan.
Namun, tak pernah sekalipun aku mengeluh atau menyesalinya. Semua kujalani dengan ikhlas dan penuh syukur. Menikmati setiap apa yang ada dihidupku. Apalagi pendapatan bekerja dibidang ini cukup lumayan. Terutama bila target bulananku tercapai.
Tapi biarpun begitu, dimata orang kelas atas seperti orang tua Tenri mungkin ini pekerjaan yang tak layak dibanggakan sebagai calon menantunya. Apalagi bila disandingkan dengan gelar kedokteran putrinya.
Kecewa itu sudah pasti, tapi aku cukup tau diri dan memahaminya.
Bukannya aku tak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi. Bahkan berkali-kali kesempatan itu datang padaku. Beasiswa untuk melanjutkan S2 pernah kudapatkan. Tapi aku lebih memilih untuk bekerja pada perusahaan yang mempunyai jam kerja fleksibel. Tujuan awalnya, agar punya waktu luang yang memudahkanku untuk mengantar jemput Tenri serta membantunya mengurus segala keperluan saat masa kepaniteraan dan prekliniknya dulu. Sampai akhirnya aku terbiasa dan merasa nyaman dengan pekerjaanku itu sampai detik ini.
Ya, semua kulakukan hanya untuknya. Walau pada kenyataannya justru mengorbankan masa depanku sendiri.
Bodoh memang. Cinta membuatku menjadi buta. Hingga tak memikirkan akibat ke depannya. Sama sekali tak ada dalam pikiran kalau akhirnya status pekerjaan menjadi salah satu penghalang diriku mempersunting dirinya.
Tapi sekarang, menyesalinya pun sudah tak guna lagi. Semua telah terjadi. Itu mungkin sudah menjadi takdirku.
Sesuai permintaan Ettanya Tenri semalam. Aku meluangkan separuh waktu kerjaku hari ini untuk menemuinya. Walau dalam hati telah yakin kalau usahaku ini hanya akan sia-sia, tapi setidaknya aku sudah berusaha.
Sejurus kemudian aku sudah sampai di halaman luas kantor kontraktor yang cukup besar di kota ini.
“Bismillah.” Ku tarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian kuayunkan langkah, berjalan memasuki bangunan depan dari kantor tersebut.
“Assalamu’alaikum, Pak Haji Andi Hartawan ada mbak?” tanyaku pada seorang wanita berhijab biru muda yang duduk di meja resepsionis.
“Waalaikumsalam, Puang masih di luar," ucapnya sambil mengamatiku. “Apa Anda yang namanya Fadhil?”
Refleks kepalaku mengangguk. “Iya, tadi saya sudah buat janji dengan beliau.”
“Tadi Puang sudah berpesan untuk meminta Anda menunggu sebentar.” Wanita itu tersenyum ramah. “Tunggu meki dulu di’ mungkin setengah jam lagi.”
Kubalas senyum ramahnya dengan tersenyum tipis lalu hendak mendudukkan tubuh di kursi, tapi urung kulakukan begitu suara adzan sholat Ashar berkumandang.
"Mbak, saya ke mesjid salat dulu," pamitku. Wanita itu hanya tersenyum mengangguk.
Aku pun beranjak menuju mesjid yang letaknya bersebelahan dengan kantor itu. Kubuka sepatu di teras mesjid, lalu bergegas ke tempat wudhu. Kuletakkan jaket beserta tas ransel di atas tembok pancuran kran air kemudian berwudhu di sebelah seorang laki-laki berkulit putih dengan wajah yang sedikit brewokan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...