Sejak meninggalkan lokasi proyek pembangunan kompleks perumahan, lelaki bernama Azad itu terus diam tertegun. Seakan tenggelam dengan pikirannya sendiri. Mungkin perkataanku sebelumnya agak sedikit menohok, hingga dia jadi kehabisan kata-kata seperti ini.
Diam-diam kulirik dirinya yang begitu fokus menyetir dengan pandangan terarah penuh pada jalanan di depan sana. Jari-jarinya yang teramat putih bersih memegang penuh kendali setir mobil. Dari sisi samping hidungnya terlihat begitu tegak lurus, bulu matanya panjang dan lentik, dan bibirnya tipis kemerahan. Sementara rahangnya yang dipenuhi rambut-rambut halus hingga turun ke bawah dagu terlihat begitu tegas. Seperti sebuah pahatan karya seni yang begitu sempurna. Sejujurnya kuakui tak ada cacat cela dalam dirinya. Kecuali satu, sifatnya yang menyebalkan!
“Kalau mau lihat, lihat saja langsung. Gak usah lirik-lirik begitu. Aku halal buat dilihat kok!” tegurnya yang membuatku langsung gelagapan salah tingkah.
Secepat kilat kualihkan pandangan ke sembarang arah. “Si-siapa juga yang melihatmu? Geer!”
“Itu tadi? Kamu pikir aku gak menyadarinya?” Menoleh sekilas dan tersenyum lembut padaku. “Baru sadar ya kalau suamimu tampan?”
Sontak mataku melotot sempurna. “Narsis!”
“Makasih." Dia tersenyum lebar dan mengedipkan satu matanya padaku dengan genit, membuatku bergidik geli melihatnya.
Aku bergidik geli melihatnya. “Ihh, siapa yang memuji?”
“Tapi bagiku, semua kata-kata yang keluar dari mulutmu itu seperti pujian,” balasnya.
“Dasar aneh!”
“Makasih lagi.”
Kembali kepalaku menoleh dan melirik kesal padanya. “Dasar gila!”
“Gila-gila begini suamimu loh.”
Kutarik napas dalam-dalam dan memilih diam saja. Capek rasanya meladeninya berdebat yang seakan tak ada ujungnya.
Sejenak kembali hening selama beberapa saat, hingga akhirnya ia kembali bersuara.
“Aku masih memikirkan perkataanmu tadi.” Menjeda lalu menoleh ke arahku. “Tentang harapanmu yang berbeda.”“Baguslah, kuharap kamu sudah mengerti.”
“Ya, aku mengerti. Sangat mengerti. Tapi itu ‘kan bukan finalnya.”Aku kembali menoleh dan menautkan kedua alis. “Maksudnya?”
“Setiap orang pasti memiliki harapan yang berbeda. Baik itu dirimu ataupun dengan diriku. Untuk saat ini harapan kita mungkin saja masih berbeda, tapi siapa yang tahu ke depannya?”
“Jadi kamu pikir harapanku bisa saja berubah?”
“Mungkin saja. Kita tak akan pernah tahu. Bisa saja suatu hari nanti harapanmu dan harapanku berada di satu jalur yang sama,” ujarnya percaya diri.
“Maaf, tapi sepertinya kamu salah. Dari dulu harapanku cuma satu, dan itu tidak bersamamu. Selamanya tak akan pernah berubah, baik untuk saat ini ataupun saat nanti. Jangan pernah berusaha ataupun memaksa mengubah takdirku untuk hidup bersamamu. Jadi jangan membuang-buang tenaga dan waktumu untuk melakukan hal yang sia-sia karena aku tak akan pernah goyah dengan apa pun itu.”
“Apa kamu Tuhan?”
“Hah?” Sontak aku membelalak dengan mulut yang menganga memandanginya.
“Kamu mengerti makna qada dan qadar?” tanyanya menoleh sekilas padaku. Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, belum mengerti arah tujuan pembicaraannya. “Iman kepada Qada dan Qadhar berarti percaya serta meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki kehendak, ketetapan, keputusan atas semua makhluk-Nya. Dan apa yang kamu katakan dengan tegas dan lantang tadi itu sama sekali tidak mencerminkan iman kepada Qada dan Qadhar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...