IJAB KABUL

35 5 0
                                    

Pukul lima subuh di hari minggu, akhirnya aku pulang ke rumah orang tuaku. Ya, setelah mamaku betul-betul datang menjemput ke rumah sakit. Aku sempat terkejut mendapati sosok nyonya besar itu begitu aku keluar dari ruang operasi, yang tanpa basa basi langsung menyeretku pulang ke rumah.

Sesaat aku terkesiap dengan keadaan rumahku yang sudah hampir sebulan lebih ini kutinggalkan. Di depan gerbang pagar sudah berdiri kokoh ‘Lasugi’ yang begitu besar. Yakni bilah-bilah bambu yang di anyam dan dibentuk seperti gerbang ataupun gapura yang di pasang sebagai penanda bahwa ada pernikahan pada rumah itu. Salah satu simbol budaya adat Bugis-Makassar.

Tenda-tenda kerucut berwarna putih juga telah berjejer rapi di atas halaman rumahku yang lumayan luas dengan deretan kursi yang terbungkus kain satin putih berhiaskan pita berwarna gold. Belum lagi dekorasi-dekorasi penuh bunga di setiap penjuru rumah tiga lantai berdesain klasik eropa itu.

Sesampaiku di rumah, aku bahkan tidak dibiarkan beristirahat lebih dulu dan langsung bersiap-siap untuk prosesi ‘Mappasili’. Sebuah prosesi berupa acara siraman.

Aku sama sekali tidak menyangka kalau acara pernikahanku akan betul-betul diadakan dengan cukup mewah seperti ini. Aku sendiri heran, sejak kapan orang tuaku menyiapkan semua ini? Apa benar dalam waktu kurang dari seminggu orang tuaku bisa menyulap semua ini?

Yah, tapi di jaman sekarang apa yang tak mungkin kalau uang sudah berjalan bukan?

Layaknya boneka, aku hanya pasrah mengikuti semua rentetan prosesi dengan khidmat seharian penuh. Saking lelah dan mengantuk aku bahkan sampai tertidur saat di rias oleh para make-up artist.

Sebelum betul-betul terlelap aku masih sempat melihat ponselku menyala dengan sebuah notifikasi pesan masuk dari Fadhil. Tapi kantuk yang teramat sangat membuatku mengabaikan pesan itu, dan baru terbangun saat suara ‘gandrang bulo’ yang di tabuh serta bunyi instrumen ‘puik-puik’ yang terdengar begitu sakral dan menggema menyentakku dari alam mimpi.

Sejenak aku terdiam mengamati keadaan kamarku yang sudah begitu ramai dengan ornamen-ornamen khas kamar pengantin. Karena begitu lelah aku tidak sempat mengamati keseluruhan kamarku ini pagi tadi.

Kini pandanganku turun dan berfokus pada ranjang di mana aku terduduk di atasnya. Seketika pikiran kotorku terlintas begitu saja, membayangkan aku dan Fadhil akan segera tidur dalam ranjang yang sama. Membayangkan hal itu membuat hatiku berdebar-debar, dan seketika teringat dengan notif pesannya.

“Ponselku mana, Ma?” tanyaku saat tidak menemukan keberadaan benda pipih itu.

“Mama simpan, takut tercecer. Sudah, jangan pikirkan itu dulu. Keluarga sudah berkumpul dan menunggumu. Ayo cepat siap-siap!" tanpa memberiku kesempatan, dua orang dari bridal salon langsung memakaikanku pakaian adat.

Malam itu, dengan busana adat Baju Bodo’ berwarna hijau aku pun melaksanakan beberapa prosesi lanjutan. Prosesi yang dimulai dari Barasanji yang merupakan panjatan doa-doa yang dilafalkan dengan nada tertentu. Selanjutnya ritual khatam Al-Quran, kemudian ditutup dengan prosesi Mappacci, yakni pemberian daun pacar pada telapak tangan oleh keluarga yang dituakan.

Semua prosesi sakral itu ku lakukan dengan khidmat disertai senyum yang tak luntur-lunturnya dari bibir. Bayangan akan segera halal bersama Fadhil terus terbayang dalam pikiranku.

***

Aku terduduk di atas ranjang yang telah dibalut dengan sprei pengantin bernuansa gold berhiaskan bunga, dengan penuh suka cita.

Busana pengantin adat Bugis-Makassar pun telah terbalut sempurna di tubuhku beserta seluruh aksesoris pelengkap dari ujung kepala hingga ke bawah kaki.

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang