AWAL MULA PENDEKATAN

53 8 4
                                    

Tiga puluh menit sudah lamanya aku duduk menunggu di halte depan sekolah, tapi jemputanku belum juga datang. Jam di pergelangan tanganku pun kini sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Aku mencebik kesal, bangkit berdiri dan kembali melebarkan pandangan mengamati kendaraan yang lewat. Tapi tiba-tiba seseorang dengan mengendarai motor honda Beat singgah di hadapanku.

“Belum pulang?” tanyanya dari balik helm bogo berwarna hitam dengan kaca penutup riben, tak memperlihatkan wajah si pemakai dengan jelas.

Keningku mengerut dalam karena tak mengenalinya. Orang itu kemudian membuka helm dan tersenyum ramah.

“Sepertinya jemputanmu tidak datang, sudah mau hujan. Ayo kuantar pulang.”

Aku menggeleng cepat. “Aku tak bisa ikut dengan orang asing,” tolakku.

“Hei aku ketos-mu bukan orang asing.”

Kembali ku gelengkan kepala. “Tapi aku baru mengenal kak Fadhil.”

“Salah!”

Kedua alisku refleks terangkat, menatapnya dengan bingung.

“Kita sudah saling kenal sejak dua minggu yang lalu,” ucapnya, membuatku semakin menatapnya aneh. “Basket ...” lanjutnya lagi mengingatkan.

Aku hanya membulatkan mulut membentuk huruf O tanpa mengeluarkan suara.

“Bagaimana?”

Kugelengkan kepala sekali lagi. “Terima kasih, kak. Tapi aku menunggu di sini saja.”

"Yakin? Kalau sore, di sini banyak pengamen yang ngumpul. Bahaya buat cewek cantik sendirian,” godanya.

Aku hanya meliriknya lewat ekor mata tanpa berbicara sedikit pun. Tetap bergeming di tempat, dan dia pun masih tetap di posisinya menunggu. Kemudian entah dari mana, dua laki-laki dengan wajah penuh tindik dan gambar tato di lengannya sambil membawa gitar tiba-tiba sudah berjalan ke arahku. Didera kepanikan, refleks kakiku berlari dan langsung melompat naik ke boncengannya.

“Sudah di bilangin tak percaya,” ledeknya, terkekeh menertawaiku. Membuatku menyengir malu padanya.

“Aku turun lagi nih.”

“Eh, jangan!” serunya, lalu membuka jaket bomber berwarna Navy yang di pakainya dan memberikannya padaku. Tanpa pikir panjang, aku langsung memakainya.

“Hei, bukan untuk dipakai,” tegurnya, membuatku salah tingkah.

"Terus buat apa dikasih padaku? Suruh aku memegangnya?” ketusku sambil membuka kembali jaket yang baru saja kupakai.

Fadhil mengusap tengkuknya, kemudian menunjuk ke arah pahaku yang sedikit terbuka karena rok seragam yang kupakai tertarik ke atas.

"Buat tutup itu,” ucapnya dengan menjaga pandangan.

Oh, buat itu, Bilang dong!

Segera kututup kedua pahaku menggunakan jaketnya. Setelah memastikan dudukku sudah nyaman Fadhil pun memakai helm kembali lalu melajukan motor dengan pelan. Sangat-sangat pelan. Bahkan orang yang bersepeda mungkin bisa melambung laju motornya.

“Kak, kakak bisa ‘kan bawa motor?” tanyaku skeptis.

“Ya, bisalah. Aku sudah punya SIM juga.”

“Tapi kenapa ....”

“Jalannya pelan?” potongnya, “Aku Cuma takut kamu nanti jatuh,” lanjutnya.

“Tapi 'kan tidak begini ju-”

“Aku tahu kamu tak pernah naik motor," potongnya lagi.

Kedua alisku saling menaut. Refleks memajukan wajah mendekat ke pundaknya.

“Tahu dari mana?” tanyaku.

Bersamaan itu, Fadhil juga menoleh. Mata kami bersirobok, tapi hanya sebentar karena Fadhil dengan cepat memalingkan wajah kembali ke depan.

“Adalah...” ucapnya kikuk.

“Tapi kapan sampainya kalau seperti ini? Percepat sedikit bisa ‘kan?”

“Bisa, kalau kamu mau pegangan. Tapi aku tahu kamu tak akan mau pegangan dengan orang asing. Jadi begini saja untuk lebih amannya."

“Siapa bilang?” Aku langsung melingkarkan tangan ke pinggangnya. Kurasakan tubuhnya tersentak, rambut-rambut halus yang ada di belakang lehernya terlihat meremang.

Ternyata cowok ini masih polos.

Kukulum bibir ke dalam, menahan tawa di belakangnya.

“Kalau begini aku tak akan jatuh. Jadi sudah bisa percepat sedikit ‘kan? Sudah hampir hujan tuh!” lanjutku, dan selang beberapa detik setelah ucapanku barusan, hujan pun turun dengan derasnya tanpa aba-aba.

“Kita singgah berteduh yah, aku tak bawa mantel,” teriaknya. Tanpa menunggu jawabanku, Fadhil langsung membelokkan motor maticnya ke ruko kosong di samping minimarket dengan logo berwarna merah, biru, kuning.

“Apa kubilang,” sindirku, melompat turun dari motor dan  mengembalikan jaketnya.

“Pakai saja.”

“Tak perlu. Buat kak Fadhil saja.”

Fadhil pun menerima jaketnya tapi malah menyampirkannya di pundakku. “Kamu lebih perlu.”

“Aku tidak kedinginan.”

“Itu ....” Fadhil menggaruk kepala yang kupastikan tidak gatal. “Pa-pakaian dalammu mengintip,” lanjutnya dengan terbata-bata. Refleks kupakai jaketnya dan memasang zipper-nya sampai batas leher. Semerbak aroma parfum di jaket itu kini menyeruak ke dalam indra penciumanku.

Hmmm... wangi, hangat, rasanya seperti dipeluk sama cowok... Batinku menggumam dan tersenyum-senyum sendiri.

“Sepertinya hujan bakal awet,” ucapnya canggung sambil memandangi tetesan hujan. Membuyarkan pikiran kotorku sesaat.

“Harusnya tadi bisa sampai rumah. Kak Fadhil sih bawa motornya dodong sekali,” ledekku.

“Kan bawa anak gadis orang,” ucapnya terkekeh.

Aku hanya melirik kesal padanya lalu menengadahkan tangan menangkap hujan. Memainkan ke sepuluh jari-jariku pada tetesan air hujan yang terjatuh.

Dari ekor mata, aku menangkap Fadhil tersenyum mengamati kegiatan yang kulakukan. Tapi saat kepalaku menoleh untuk memastikan, dengan cepat dialihkan pandangan dengan canggung ke jam kulit yang terpasang di pergelangan tangannya.

“Sudah Ashar. Kamu sudah makan siang?” tanyanya seolah-olah mengalihkan perhatianku.

Kugelengkan kepala cepat. “Memangnya kalau belum kenapa?”

“Tunggu sebentar,” ucapnya lalu berlari ke minimarket yang ada di sebelah bangunan tempat kami berteduh.

Tidak lama kemudian Fadhil muncul dengan membawa dua cup mie instan yang sudah di seduh air panas.

“Ambil cepat, panas nih,” ujarnya berlari ke arahku.  Segera kuambil satu Cup dari tangannya.

“Panas...!” keluhku.

“Taruh disini,” ucapnya sambil meletakkan cup mie instan-nya pada tembok pembatas ruko. Aku pun mengikuti.

“Mau duduk?” tanyanya.

“Begini saja, kak.”

“Tidak baik makan berdiri.”

“Terus mau duduk di mana?”

Tanpa menjawab Fadhil langsung mengubah standar samping motornya menjadi standar dua.

“Nah, duduklah,” ucapnya sembari mengeluarkan buku tebal dari dalam tas. Begitu aku sudah duduk, Fadhil melemparkan buku tersebut di atas pangkuanku, belum sempat bertanya, cup mie sudah di letakkannya di atas buku.

Astaga, perhatian juga nih cowok.

“Makan cepat, kalau mie nya mengembang sudah tidak enak," tegurnya melihatku hanya diam tertegun.

“I-iya kak. Terima kasih. Kak Fadhil duduk juga disini,” tawarku, menggeser-geser duduk ke ujung Jok.

Sejenak Fadhil terdiam, tapi akhirnya ikut duduk di sampingku. Namun tidak benar-benar duduk, hanya sekedar bersandar setengah terduduk pada jok di sampingku. Mungkin sedikit takut aku akan jatuh atau apa. Yang jelas kulihat daun telinganya memerah.

Kemudian kami berdua pun menikmati mie cup itu dengan lahap sambil duduk berdampingan, sesekali melihat luapan hujan yang masih turun dengan derasnya. Kami baru pulang setelah hujan benar-benar reda.

Sejak hari itu, aku selalu berjumpa dengannya di halte depan sekolah tempatku selalu menunggu jemputan.

“Kak Fadhil motornya mana?” tanyaku suatu hari ketika menyadari beberapa hari belakangan ini dia sering ikut duduk di halte bersamaku.

“Dipinjam sama Aco, teman kelasku. Ini lagi nunggu.”

“Ohh ...,” ucapku singkat kemudian berlari ketika mobil jemputanku sudah berhenti tepat di depan halte. Dari balik kaca jendela mobil kulihat ia tersenyum kecut. Segera kuturunkan kaca jendela dan mengibaskan tangan. Senyum manis langsung terpancar di wajah tampannya.

Astaga, senyumnya bikin klepek-klepek ...

Esoknya, kembali aku bertemu dengannya di tempat yang sama. Yakni, di halte depan sekolah.

“Motor kak Fadhil dipinjam lagi?” tegurku berbasa basi.

Fadhil menoleh, tersenyum tipis. Manis, sangat manis menurutku. Ada lesung pipi yang terlihat samar di kedua pipinya.

“Ban-nya kempes, belum sempat kutambal kemarin,” jawabnya santai.

Lagi-lagi aku hanya ber-Oh ria. Ikut duduk di sampingnya dengan santai sambil balik kanan kiri mengamati mobil-mobil yang berlalu lalang. Dari ekor mata, kulihat Fadhil mengeluarkan dua bungkus snack dan dua kaleng minuman bersoda dari dalam tas.

“Mau?” tawarnya.

Aku menggeleng pelan dan mengulas senyum. Ekspresinya seketika terlihat kecewa. Merasa tidak enak hati, akhirnya kuterima pemberiannya. Lumayan, kebetulan lagi haus dan snack yang ditawarkan adalah cemilan kesukaanku.
Tanpa sadar, percakapan terus mengalir hingga mobil jemputanku datang dan mengakhiri pertemuan kami itu.

Esok harinya lagi, Fadhil kembali juga ada di sana. Duduk sambil memainkan bola basket di antara dua kakinya.

Aku berjalan pelan menghampiri. “Ban motornya masih kempes?” tegurku tuk ke sekian kalinya.

Fadhil menoleh, memandangiku dan lagi-lagi tersenyum dengan lebar.

Alamak bisa diabetes aku tiap hari melihat senyummu kakak ketos-ku ....

“Motorku masuk bengkel,” ujarnya sambil menghentikan men-dribble bola dan menggeser duduk. Mungkin berharap aku duduk di sampingnya.

Dengan senang hati kak, gumamku langsung duduk di sampingnya. Kulirik lagi ke arahnya, lagi-lagi dia merogoh sesuatu di dalam tas dan hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Keningku mengernyit, menunggu apa yang dia bawa.

“Kemarin nyokap bikin kue kering. Mau coba?” tawarnya sambil menyodorkan setoples kecil kue nastar ke hadapanku.

“Wah, nastar. Kesukaanku,” pekikku sumringah. Langsung mencomot dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Wah kalau begini, kamu gampang diculik,” tegurnya yang membuatku menahan kunyahan dan menatapnya heran.

“Kalau kue itu ada obat tidurnya bagaimana?” tanyanya yang langsung membuatku tersedak dan terbatuk-batuk.
Fadhil mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya dan tanpa pikir panjang aku langsung merampas dan meneguk air yang masih tersisa di dalam botol tersebut.

“EEEHHH.....” pekiknya.

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang