Adrian menurunkan tangan seorang wanita yang melingkari lehernya. Ia menyudahi kecupan bibir wanita tersebut lalu menjauhkan dirinya.
Tanpa mengatakan apapun, Adrian lantas berjalan menuju sudut lain di dalam ruangan. Ia beranjak ke depan sebuah meja dimana terdapat botol minuman keras berjejer. Tangan kirinya lalu meraih satu botol tersebut dan menuang scotch yang ada di dalamnya.
Sambil meneguk scotch-nya, Adrian melamun. Ia menerawang sembari berpikir; mengapa usai beberapa kali bermesraan dengan Tiara, lubang di hatinya masih saja menganga. Rasa hambar lebih mendominasi dirinya. Seolah tak ada percikan api gairah yang membakar raganya, tubuhnya tak bereaksi lebih, tak ingin mengeksplorasi lebih. Bahkan tak ada kebahagiaan hangat yang menyelimuti kalbunya. Anehnya hal ini adalah hal yang sama yang sering ia rasakan dengan mantan kekasihnya terdahulu.
Adrian menimang dalam. Ia sempat menduga Tiara akan berbeda. Apa ini karena hubungan yang ia jalani dengan Tiara harus diam-diam di belakang dan membuatnya merasa tak tenang? Atau karena ia dan Tiara sudah sama-sama dewasa sehingga tidak ada romansa berbunga-bunga ala remaja? Atau sesuatu yang lain... mungkin karena Tiara hanya sekedar....?
Adrian memejamkan mata. Masih mencari apa yang salah. Namun kemudian ia tampak terkesiap dan buru-buru menghalau sekelebat renungan aneh di benaknya. Dan kemudian ia memilih mengalihkan perhatian pada Tiara.
"Aku tau kamu lagi banyak pikiran" Adrian menggerutu rendah, mengucapkan kalimat yang justru mengesankan Tiara-lah yang sedang mengalami kegamangan. Padahal ia sendiri juga mengalami hal serupa.
Bola mata Adrian bergerak ke sudut kiri, melirik singkat pada Tiara yang masih terduduk di atas sofa.
Tiara menoleh dan ditatapnya Adrian dengan raut segan.
"Bukan begitu... maaf, aku kepikiran-" Tiara menjeda. Lagi-lagi kemesraan dengan Adrian malam itu berjalan membosankan. Seolah ada pagar tak kasat mata yang ada di tengah-tengah mereka dan membuat keduanya tak bisa memadu kasih dengan lepas.
"Elia?" Adrian tiba-tiba menyela menyebutkan satu nama. Ia lalu memutar badan secara penuh untuk berhadapan dengan Tiara. Tatapannya terpaku menusuk. Ia juga memasang ekspresi kesal.
"Sejak dia pulang semua semakin jelas di mata aku. Kamu pikir aku gak notice? Your face shows it!" Adrian mendesis, memberikan penekanan pada ujung kalimat pertanda bahwa sangat yakin dengan apa yang ia ucapkan. Ia terdiam sambil terus menelisik Tiara.
"Adrian..." Tiara berbisik lembut ingin mendamaikan perasaan gundah Adrian. Sebenarnya ia tadi ingin beralasan sedang memikirkan pekerjaan. Tapi tampaknya Adrian terlalu pintar untuk ia kelabui.
"Aku udah bilang sama kamu-" Adrian berucap lagi. "Aku punya rencana untuk publikasikan hubungan kita. Cuma karena adik kamu pulang - apa? Rencanaku berantakan kan? Kamu justru pikirkan dia terus" pria itu berkata ketus.
Tiara masih berupaya menanggapi dengan tenang. "Nanti pasti aku akan kasih pengertian ke Elia. Tapi sekarang Elia baru senang-senangnya pulang ke rumah dan - akhirnya bisa ketemu kamu lagi" Tiara melirih dengan sorot mata yang berubah sedih.
Adrian sempat memandang Tiara ragu namun kemudian ia menggeleng pelan. "No, no, no! Aku gak mau tau gimana caranya kamu bilang sama dia!" desak Adrian.
"Tapi- aku enggak bisa" Tiara buru-buru memberi penolakan.
"Gosh, bite the bullet, Ti! Dia itu adik kamu! Kenapa justru kamu yang takut?!" Adrian menyahut lantang. "Apa gak seharusnya kebalik, hm? You have no control over her. Kenyataannya - she's the one controlling YOU!" Adrian berkata sembari menunjuk Tiara gemas dengan jari telunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Me With Your Lies [END]
General FictionElia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adrian diam-diam mempunyai hubungan khusus dengan kakaknya sendiri yang bernama Tiara. * Dicintai oleh...