Nick menyetir mobilnya sambil memikirkan pertanyaan Garnetta. Apa yang bisa dia janjikan pada Garnetta agar Garnetta tidak menikah dengan Andrew. Nick menggeleng. Tidak ada yang janji yang bisa dia berikan pada Garnetta. Menikahi Chloe berarti dia akan menjadi pemimpin tunggal perusahaan keluarganya yang mencakup berbagai bidang mulai dari teknologi, perhotelan, restoran, mall, batu bara hingga multimedia. Pemilik tunggal itu artinya, dia akan jadi penguasa.
Tapi... jika dia memilih Garnetta, tamatlah riwayatnya. Dia hanya akan dikenang sebagai Nick yang tak ada artinya karena kekayaan keluarga akan jatuh pada Andrew. Perlu diakui kalau Nick adalah kesayangan kakeknya.
Pernikahannya akan diadakan sebentar lagi dengan tamu dari berbagai negara karena bisnis keluarganya yang menyebar bukan hanya di Eropa tapi juga di Amerika dan Asia. Chloe semakin pasrah dengan nasibnya begitu pun dengan Nick. Mereka tidak memiliki kuasa apa pun untuk menentukan pilihan mereka.
Sehari sebelum pernikahan mereka, Nick kembali menemui Chloe. Dia menanyakan tentang Chloe dari seorang pelayan yang bekerja untuk melayani Chloe. Olivia. Wanita dua puluh tiga tahun yang jadi mata-mata untuk Chloe.
"Apa saja yang dia lakukan?" tanya Nick.
"Membaca buku, menonton film dan dia juga sering melukis. Tuan, aku juga melihatnya berkirim surel. Tapi, aku tidak tahu pada siapa. Dia mengunci laptopnya. Aku tidak bisa membukanya. Kalau Tuan ingin tahu isi surel itu, kita bisa memanggil Jade."
"Tidak usah. Aku yakin dia tidak berkirim surel pada Andrew. Kamu terus awasi saja dia."
"Baik, Tuan."
"Di mana dia sekarang?"
"Di teras belakang. Dia sedang melukis."
Nick melangkah menuju teras belakang. Chloe sedang duduk sambil menyapukan kuasnya.
"Seharusnya kamu tidak ke sini." Kata Chloe tanpa menatap Nick yang berdiri di sampingnya.
Pria itu membenamkan tangannya pada saku celananya. "Kamu melukisku?" Nick cukup terkejut melihat lukisan Chloe yang menyerupai dirinya dengan senyum sinis yang tergambar jelas di mata Nick. Tapi, Nick bisa menyembunyikan keterkejutannya dengan seringainya yang menyebalkan di mata Chloe.
"Ya, aku lumayan merindukanmu sehingga aku melukis wajahmu." Chloe mendongak. Tersenyum mengejek pada Nick.
"Bisakah sesekali," Nick menarik kursi kosong mendekati Chloe dan duduk di samping Chloe. "kamu bersikap manis pada calon suamimu ini?" Sebelah alisnya terangkat tinggi.
"Dengan melukis wajahmu bukankah aku sudah bersikap manis. Bahkan lebih dari kata 'manis' karena Garnetta tidak akan bisa melukis wajahmu seperti aku."
"Haruskah aku mengakui betapa senangnya melihat calon istriku melukis wajahku?"
"Kamu senang, Nick?"
Sebelah sudut bibir Nick tersenyum.
"Untuk meluapkan amarahku, aku melukis wajahmu dan aku juga akan membakar lukisanku itu. Berharap wajahmu lenyap bukan hanya dari pandangan mataku tapi juga dari hidupku selamanya. Andai waktu bisa aku putar aku akan kabur saat tahu pria yang akan menikahiku itu adalah dirimu." Chloe selalu berkata dengan nada suaranya yang khas. Lembut juga dingin dan kadang terkesan tegas.
"Kenapa keinginanmu berbanding terbalik denganku?" Nick menatap Chloe dengan tatapan yang selalu ditujukannya pada Chloe saat dia tidak marah. Tatapan menginginkan untuk menyentuh Chloe.
Chloe dan Nick mungkin tidak akan saling membenci kalau saja hati mereka kosong dan tak ada tuntutan untuk menikah. Untuk saat ini cinta memang tidak berpihak pada mereka.
"Apa yang kamu inginkan dariku? Tubuhku atau sikapku yang manis dan manja? Atau wanita yang selalu menuruti keinginanmu?" Chloe menghela napas berpura-pura lelah. "Aku bukan Garnetta, Nick. Aku tidak bisa bersikap manis, manja, menuruti perintahmu atau apa pun itu yang biasa Garnetta lakukan." Chloe memiringkan kepala dengan sikap wanita manja sebagai sindiran untuk Nick dan Garnetta.
Biasanya emosi Nick akan terpancing setiap kali Chloe berusaha menjatuhkan Garnetta. Tapi, dia mencoba untuk menahan kekesalannya pada Chloe, dengan harapan Chloe bisa bersikap lebih baik dan berura-pura sangat mencintainya di hari pernikahan mereka nanti.
"Jangan terlalu membenciku, Chloe. Nanti kamu pasti jatuh sejatuh-jatuhnya."
"Aku suka terjatuh, Nick."
"Kamu tahu, kamu punya bibir yang indah." Jari Nick menempel di bibir Chloe. Membelai lembut bibir itu. Chloe tidak berkutik untuk beberapa saat.
"Mata yang indah." Mata Nick menatap mata Chloe.
"Aku tidak akan luluh dengan hanya mendengar omong kosongmu itu." Chloe melepaskan jari Nick dari bibirnya.
Nick tersenyum. "Sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini padaku? Aku khawatir kalau kakekku akan memergoki kita. Dia pasti akan kecewa."
"Kecewa atau karena kamu takut kalau kakekmu menunda penyerahan kepemimpinan perusahaannya kepadamu?"
"Oh, ini ya tipe yang disukai Andrew. Pemberontak."
"Aku suka memberontak." Chloe melanjutkan lukisannya.
Nick menatap lukisan wajahnya. "Jujur saja aku lebih suka kalau kamu melukisku dengan wajah tersenyum tulus. Bukan senyum dingin seperti itu."
"Aku tidak pernah melihatmu tersenyum tulus padaku. Dan aku tidak yakin kamu bisa tersenyum tulus. Yang aku lukis adalah senyumanmu yang khas. Aku akan memberi nama lukisan ini dengan nama; Tuan Sampah." Chloe tersenyum dingin pada Nick.
Mata mereka saling menatap satu sama lain.
"Terserah apa pun yang kamu lakukan. Asal jangan ada yang tahu soal ini. Soal dirimu yang membenciku dan aku yang tidak menyukaimu."
"Tidak perlu berkata halus begitu. Faktanya, kamu membenciku, tetapi juga menginginkan tubuhku." Chloe kembali tersenyum. Mengingat Nick yang membencinya tetapi juga menginginkan tubuhnya.
"Kalau kamu terus begini, aku tidak bisa bersabar lagi menunggu waktu untuk menyentuhmu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect CEO (21+)
Romance*** Di saat semua wanita memuja Nicholas Dean Willis hanya Chloe yang berani menyebutnya 'sampah'dan itu membuat Nick tertantang untuk membuat Chloe bertekuk lutut padanya. mampukah Nick membuat Chloe bertekuk lutut ataukah yang terjadi malah sebal...