PROLOG

1.2K 43 19
                                    

$$_______________________$$

(Cerita ini belum saya revisi. Masih banyak kesalahan penulisan dan dialog dalam satu paragraf)
__________

Soraya Kamalia, dengan sorot mata tajam membelah jalanan Jakarta yang super macet menggunakan motor jadul ayahnya, bibirnya komat-kamit menyumpahi mobil dan kendaraan lain yang menghalangi jalan di depannya. Siang itu, hari yang cerah tampak muram untuk kesekian kali bagi gadis itu, lagi, lagi, dan lagi.

Setelah sampai di rumah, dilihat tak ada satu jiwa pun yang hadir di tempat itu, ia berjalan menuju kamar dengan malas. Tangan kanannya menenteng tas warna grey tanpa corak apapun sedang tangan kirinya memijit kepala yang terasa sedikit pusing, bukan karena migrain atau vertigo tetapi karena hal lain.

Lalu ia segera menutup pintu dan telentang di kasur seperti remaja jompo yang butuh 100 koyo atau istilah medisnya patch transdermal untuk menghilangkan pegal-pegal, nyeri otot ataupun persendian pada tubuhnya.

Selang beberapa menit, seseorang datang membuka pintu kasar dan melempar sepatu Ventela yang terlihat baru dibeli beberapa hari yang lalu ke Soraya dengan teramat kesal. Soraya ber-Aduh mengusap kepalanya yang terasa sakit. "Gila kali kamu-!"

"Kaka yang gila-!" ujar gadis itu sambil mengepal kedua telapak tangannya. "Aku nungguin kaka diparkiran satu jam sebelum kelas 11 pulang," timpalnya geram dan mengusir semua beban yang mengganjal dihati.

Namun, dengan tatapan malas Soraya mengabaikannya dan malah fokus dengan benda persegi panjang yang lebih terlihat menarik dibanding meladeni hal yang tidak jelas seperti itu. Luna, menarik napas dalam dalam lalu berkata dengan perasaan yang amat lelah, "niat jadi kaka ga sih?" Yang ditanya tetap bungkam setengah jengah. Luna pun tetap memandangi kakaknya dari pintu kamar.

"Ribut lagi?" tanya seseorang kembali, menyelundup masuk tanpa izin juga berbaring seenaknya disamping Soraya. "Gini aja deh, didapur banyak pisau mau aku ambilin terus aku kasih satu satu terus perang disini sekalian atau gimana, deh, daripada cape adu mulut dari pergi sekolah dan pulangnya masih ribut juga, bisa depresi aku kalo kalian begini terus."

Luna membuang tasnya ke lantai dengan sembarang, membuka kasar dasi lalu mengganti baju rapih. "Mau kemana lagi?" tanya Arum penasaran.

"Mau ambil motor dibengkel, lagian bukan urusan kakak juga," cetus Luna, ia sekalian hendak pergi ke rumah temannya untuk menenangkan diri, setiap ada masalah gadis itu memang lebih memilih untuk curhat dan berdiam diri dengan temannya.

"Udah makan belum kamu?" tanya Arum kakak tertua mereka sekali lagi. "Makan dulu atau gak usah pergi sekalian," sambungnya dengan tegas.

Luna berdecak kesal, ia mengacak rambutnya frustasi. "Aku udah besar-! Aku tau mana yang baik buat aku atau engga." Arum memandangi adiknya sampai pergi dari pandangan. Ia benar benar heran dengan tingkah Luna yang benar benar aneh hari ini.

"Kamu apain adikmu sampai dia sekesal itu, Ray. Kamu itu gak pernah ya nyenengin adikmu barang sekali aja." Arum menunggu Soraya membuka kata, namun, gadis itu tetap bungkam dan malah asyik membalasi pesan diaplikasi ponselnya.

"Ray."

"Hmm."

"SORAYA-!!"

Arum mengambil paksa ponsel Soraya. "Kalau orang ngomong itu diliat bukan ham hem ham hem doang, anj."

"Apasih, orang Luna tuh yang salah, emang anaknya suka playing victim kaya gitu."

Arum menghela. "Iya, emang gimana kejadiannya coba cerita ke kakak kaya gimana kronologi sampe dia sekesal itu tadi," ucap Arum mencoba bernada tenang.

"Ban motor Luna bocor tadi pagi jadi kami goncengan ke sekolah, terus tadi kelas 10 pulang satu jam lebih awal, tadi pagi tuh anak bilang kalo bakal balik sama si Freya sobat freaknya tapi nyatanya Freya pulang bareng abangnya."

"Terus gimana?"

Soraya berdesis. "Ya karna aku ngira dia udah pulang sama Freya ya tadi aku pulang aja lah, orang anak kelas 10 juga keliatan gak ada lagi, dan Luna juga gak ada ngabarin kalo dia lagi nungguin aku diparkiran belakang sekolah, minimal chat atau call aku dari sebelum pulang sekolah atau apa kek biar aku tau kalo ternyata dia gak jadi pulang sama Freya, atau kan tinggal pesen gojek kayak yang aku bilang pas pagi, emang dia ribet anaknya," jelas Soraya membela diri. "Dia malah chat aku pas aku udah setengah jalan dan mau sampe rumah, mana nyuruh aku buat balik lagi ke sekolah buat jemput dia, manja banget," sambungnya dengan memutar bola mata di akhir kata.

Arum menghela napas gusar sekali lagi, tak habis pikir dengan kedua adiknya yang benar benar keras kepala satu sama lain. "Ya kamu gimana, sih, apa susahnya coba buat balik kesekolah jemput Luna lagi, mana tau dia emang lagi gak punya uang buat bayar gojek atau ada hal lain yang bikin dia milih nunggu pulang sama kamu."

"Jakarta macet, kak. Dia punya uang, orang tadi aja dia pulang naik angkutan umum, kok, udah deh masalah kaya gini gak usah dibesar besarin, kakak bikin nambah badmood tau gak," cetus Soraya.

"Kamu tau kan adik kamu dari kecil ga pernah pengen hidup susah. Dia paling anti banget naik angkutan umum kaya gitu, naik motor ayah aja mungkin dia udah males apalagi naik angkutan umum yang dari kecil belum pernah dia naikin sama sekali, mungkin itu pertama kalinya buat dia."

Soraya mengambil paksa kembali ponselnya dari tangan Arum. "Lah, terus gimana? Emang dia anak konglomerat yang apa apa harus serba sempurna untuk dia, siapa sih yang pengen hidup susah. dia itu ntar makin lama makin ngelunjak tau gak sih dimanja mulu."

"Kamu sayang gak sih sama Luna?"

Percakapan itu semakin memanas, Soraya muak dengan semua perdebatan ini, dia hanya ingin tenang menikmati heningnya siang hari sembari mendengarkan playlist Spotify. Namun, kedua saudaranya terus merusuhi dan tak mengindahkan harinya.

"Sayang, aku sayang ke dia melebihi aku sayang diri aku sendiri," yakin Soraya.

"Bullshit, mana ada sayang tapi terus terusan bikin kesel kayak gitu, kamu tuh menjengkelkan buat dia, kamu tuh mikirin dirimu sendiri terus."

Berniat menyudahi percakapan tetapi malah naik pitam. "Sekarang gini deh, kak, kakak sayang gak sama aku?" Soraya menaikkan intonasi suaranya.

Tak kalah emosi, Arum menempeleng kepala Soraya agar sadar bahwa dia sangat menyayanginya. "Kalo aku gak sayang aku gak bakal nanyain kamu kenapa, aku gak akan ke kamar kalian, aku gak bakal dengerin masalah kalian dan aku bakal lebih milih buat gak ngecampuri urusan kalian," emosi Arum membuat wajahnya merah.

"Kaka disini karena Luna bukan karena aku."

"SORAYA-!"

Soraya menggelengkan kepalanya frustasi, sorot matanya amat terluka dan itu membuat Arum sakit sekali.

Membuang napas pelan. "Kakak mending keluar deh dari kamar aku, aku cape mau istirahat," pinta Soraya memelankan nada suara berharap kakak semata wayangnya kali ini mengerti lelahnya.

"Maaf." Arum menatap adiknya beberapa detik dengan perasaan bersalah namun juga sedikit jengkel, lalu iya mengelus pucuk kepala Soraya dan langsung bangkit untuk membiarkan Soraya menenangkan diri, dia pun sepertinya jika tetap dikamar itu malah semakin depresi. Arum pun melangkah pergi tanpa kata. Selepas itu tangis Soraya pecah, tangis yang sudah ia tahan sejak tadi, tangis tanpa suara yang benar benar menyiksa batin, berharap bunda datang memeluk dan menenangkan, tapi itu semua hanya larut dalam angan.

toh, bunda Rummana mana pernah se-romantis itu, lagian anak tengah mana mungkin diperlakukan se-spesial itu.

Soraya menangis sampai ketiduran.


______________________Sen, 07 Maret 2022__________

DEGRITLY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang