Pukul 19.00, mereka tampak menikmati makan malamnya bersama, tapi ada yang aneh dari gerak gerik si bungsu. Sedari tadi gadis itu seperti ingin bicara namun tak tahu harus memulainya bagaimana, ia menyusun kata demi kata di kepalanya agar tak salah bicara, makanan miliknya sudah habis deluan dari yang lain.
Saat ini Luna tengah menatap ayah dan ibunya bergantian. Ayo! Kamu pasti bisa Luna, benaknya, tapi tak kunjung bicara. Ayah dan bunda memperhatikan gerak gerik putrinya sejak tadi. "Ada apa sayang, kok mukanya tegang gitu," tanya bunda pada putrinya.
Luna menggaruk tengkuknya dan menunjukkan senyum terbaik yang ia bisa. "Ada yang mau adek omongin sama bunda dan ayah," ucapnya sedikit ragu. "Tapi nanti aja tunggu kalian selesai makan dulu."
"Just say what u wanna say st*pid." Soraya berani bilang begitu karena ia yakin ayah dan bundanya tak mengerti perkataan yang baru saja terlontarkan olehnya. Luna menghela, padahal tak ada yang mengajak Soraya bicara, tapi dia menyambar saja.
Setelah beberapa waktu dan akhirnya orangtuanya selesai menghabiskan makanan mereka, bunda menyusun piring-piring bekas mereka menjadi tumpukan, ia berniat langsung mencuci piring tersebut, saat bunda akan mengangkat tumpukan piring itu Soraya menghentikannya sambil berkata, "Udah ga usah, bun. Biar aku aja." Soraya mengangkat piring piring itu ke wastafel.
"Aduh Soraya, emangnya kamu ga belajar ya?" tanya ayah pada putrinya yang terlihat rajin itu.
Soraya tersenyum masam. "Cuma sedikit kok, yah, paling bentar doang ini mah." Kemudian gadis itu mulai mencuci piring dan benda bekas makan kotor lainnya.
Ayah mengangguk sambil tersenyum. "Oh, iya dek, tadi katanya kamu ada yang mau di bilang, mau bilang apa, nak," tanya ayah dengan suara khasnya.
Jantungnya tak normal, dag dig dug seperti ingin berlomba. "Tapi ayah sama bunda jangan marah, ya."
Ayah diam saja, tak bisa berjanji. "Emangnya soal apa?" kata bunda penasaran.
Luna menghela panjang. Sedangkan Soraya yang kesal melihat adiknya terlalu penakut itu mendadak nimbrung berkata seperti teriak sambil mencuci gelas, "Just say st*upid, ur so f*ck' pass the time, aku lempar nih pake gelas."
"Shut up," ucap Luna kesal pada kakaknya.
Luna menadah tangan seperti berdoa lalu mengusapkan tangannya sambil meng-aminkan do'anya tersebut, semoga ayah dan bunda paham akan perasaannya saat ini. "Jadi gini, ayah sama bunda kenal 'kan sama Freya, sahabat aku," ucapnya gemetar tanpa menunggu jawaban orang tuanya ia lanjut berkata, "Hari ini dia ulang tahun dan lagi ngadain acara di rumahnya, aku diundang-'
"STOP!" putus ayah tak mau mendengar kelanjutan dari cerita putrinya. "Kamu inget ga kejadian tahun lalu? Mau mengulangnya lagi, besok kamu sekolah, acara seperti itu cuma buat kamu capek besok," ayah berkata tegas dan membuat Luna menciut."
"Iya Luna, bunda setuju dengan ayah, kalau temanmu ulang tahun kan bisa ucapin melalui handphone saja, atau besok belikan dia hadiah, jangan lah pergi keluar malam-malam seperti itu, apalagi pesta-pesta begitu, haduh. Kamu itu masih kecil, sayang," ucap bunda dengan lembut.
Mata Luna berkaca-kaca. "Tapi kak Soraya tiap saat boleh tuh rayain ulang tahun temen-temennya, bahkan sampe tengah malam, aku cuma bentar doang kok, paling jam tengah sebelas udah pulang."
Soraya nyeletuk lagi, "ga usah bawa bawa aku, kamu sama aku tuh beda." Luna menunduk, apanya yang beda, umur mereka saja hanya berbeda satu tahun.
"Benar tuh yang kakakmu bilang, kalian tuh beda ga usah di sama-samain. Apa kamu ga ngerih ya dateng ke acara begituan, ini tuh metropolitan, elo ya elo dan gue ya gue. Haduh, ga usah ya, nak. Bahaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEGRITLY (Tamat)
Ficção AdolescenteIni tentang sebuah keluarga, bagi sebagian orang keluarga adalah tempat bersandar paling nyaman, tempat penerimaan yang tulus, tempat belajar paling pertama, tempat untuk menuntun kita dalam mengambil keputusan, tempat cerminan diri, tempat yang pal...