Covernya saja manusia, aslinya nenek lampir. Soraya menarik lututnya ke dalam rengkuhan tangan, ia menangis pelan sambil menarik kain dari baju untuk mengelap air mata.
"Lo kenapa?" Bak pangeran kodok yang khawatir gagal mendapatkan cinta sejatinya.
Arsel menyadari rasa sakit mengitari lingkaran hitam sedikit kecoklatan yang kemudian terserap pada pupil hitamnya, penampilan seseorang di depannya tampak berantakan.
"Lobus oksipital lo masih berfungsi, kan?" Arsel membelai pucuk kepala Soraya sehalus sutra. "Ayo coba tatap gue. Cerita, Ray," ucapnya panik. Tak berlangsung lama, ia mengukuhkan tangannya di antara kedua pipi Soraya. "Hey, are u okey?"
Soraya tak bicara, hanya menggelengkan kepala sambil menangis tersedu-sedu. Ia bukan seseorang yang pengadu, sepertinya ia hanya butuh di temani.
"Gue boleh ga meluk lo?" pinta Soraya terbata-bata. Ia menimbun semua gengsi dan menghiraukan jawaban 'iya' atau 'tidak' dari Arsel. Gadis itu memeluk dengan erat, ia dapat menghirup aroma baccarat yang Arsel pakai dengan penuh penghayatan.
"Lo abis jatoh dari kamar mandi, kan. Soalnya baju lo lembap," Arsel berucap dengan suara seraknya.
Soraya mengangguk, ia membiarkan Arsel jatuh ke dalam asumsinya sendiri. Tak ada yang perlu tau tentang masalahnya, karena terkadang beberapa insan hanya penasaran bukannya peduli, Soraya takut Arsel menjadi salah satu dari insan tersebut.
Tangisnya mereda, ia melepas pelukannya. "Makasih, Sel."
"Eh, tadi banyak tugas ga? Aduh, bisa-bisanya gue ga masuk kelas sampe istirahat," sesal Soraya di selingi dengan sedikit tawa dalam upaya mengubah topik pembicaraan.
"Tenang aja, tadi gue udah permisiin lo, kok. Ga ada tugas apa-apa, cuman nulis catatan kimia doang."
Mereka terdiam satu sama lain, saling berpandangan selama kurun waktu 30 detik. Kemudian Arsel menarik ikat rambut warna merah yang di kenakan Soraya.
Soraya tersentak kaget karena gelagatnya yang tiba-tiba. Anakan rambutnya yang berevolusi rinci menjadi sebuah poni seakan bersatu dalam helaian-helaian indah.
"Gue ga pernah liat rambut lo panjang."
Soraya menggaruk tengkuk lehernya, tak tahu harus berekspresi bagaimana. "Pusing gue kalo rambut panjang, kalo pendek begini kan kaya ngerasa enteng aja."
Arsel mengerutkan keningnya. "Lagi ada masalah, yang di potong bukannya ego malah rambut," ejeknya, ia menghela panjang sampai Soraya mendengarnya.
Soraya tersenyum masam untuk kesekian kalinya. "Ya ga papa juga. Btw lo liat Karin ga? Handphone gue mati tuh abis batre." Soraya menunjuk bukti ponselnya yang sedang mengisi daya.
"Gue liat sih tadi dia lagi di kantin makan nasi uduk. Sendirian aja, tuh. Lo ga mau nyamperin Karin?"
"Ya pasti udah balik ke kelas lah dia."
"Iya sih."
Arsel menaruh ikat rambut merah tadi ke telapak tangan Soraya. "Lo cantik, lebih cantik lagi kalok rambutnya di gerai kayak gini."
Jika bisa di gambarkan perumpamaan wajah Soraya yang memerah karena terbawa perasaan, mungkin pipinya seperti sebuah tomat, matanya seperti lingkaran sempurna yang menjadikannya sangat kikuk tak bisa berkata.
Baru kali ini seseorang berucap 'cantik' padanya. Ayah dan bunda saja tak pernah mengatakan sepatah kata tersebut walau hanya untuk menyenangkan hatinya.
"Baper ya?"
Soraya menyelundupkan wajah di antara jari-jemarinya yang lentik. "Iya," jawabnya singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEGRITLY (Tamat)
Roman pour AdolescentsIni tentang sebuah keluarga, bagi sebagian orang keluarga adalah tempat bersandar paling nyaman, tempat penerimaan yang tulus, tempat belajar paling pertama, tempat untuk menuntun kita dalam mengambil keputusan, tempat cerminan diri, tempat yang pal...