21. "Contoh yang buruk dari Keluarga Baskara."

195 42 0
                                    

Malam harinya dikediaman keluarga Baskara. Shiwa sudah terduduk di sofa sambil memijit kepalanya sedikit demi sedikit dengan minyak angin. Ia benar-benar kebingungan dengan apa yang dilakukan oleh anak-anaknya. Wildan juga ikut duduk ditengah mereka.

"Saya merawat kalian semua tidak untuk agar kalian bisa melawan saya, kenapa sangat sulit membuat kalian menuruti permintaan saya?" Shiwa masih menunduk dengan serius.

"Saya sudah berpikir panjang, saya tak pernah menentang segala perkataan dan serta-merta malah menuruti segala perkataan, tindakan, dan suruhan yang diberikan baik oleh Papa dan Mama. Namun, masalahnya sekarang dimana? Hanya karena satu perintah yang tidak saya turuti. Kalian seakan-akan membuat saya begitu buruk?" Wildan semakin membela dirinya. Benar saja, ini bukan salah dirinya.

"Saya tidak membuat kamu untuk memutuskan. Menikah itu atas izin kami berdua, kamu hanya perlu mengikuti."

"Mengikuti? Bagaimana kalau saya mengikuti berselingkuh? Huh?" Wildan terkekeh dengan perkataannya yang semakin membuat Shiwa geram.

"Kamu tau?! Kamu sudah kehilangan partner kerja Papa. Harusnya kalau kamu bisa menikah dengan Icha. Papa bisa melebarkan Pesantren kita, Pesantren As-Syifa lebih luas dan megah. Kita bisa menambah pasokan. Kamu benar-benar anak yang semakin membangkang."

Wildan menghela nafasnya begitu frustasi. "Uang? Yang Papa pikirkan hanya uang? Bagaimana dengan kebahagiaan saya? Pernah kah terbesit kalian bertanya ke saya, apakah saya terbebani dengan perintah kalian? Apakah saya senang dengan perintah yang diberikan? Bahkan pernah nggak kalian sekali saja bertanya pada saya soal Apakah saya lelah dan capek? Apakah kalian pernah bertanya kepada saya tentang bagaimana hari-hari saya sebagai Mahasiswa kedokteran yang kalian dambakan dari dulu?" Wildan menghentikan ucapannya. Ia masih menatap Shiwa dan Ameena dengan begitu menggebu-gebu.

"Kalian hanya memikirkan perasaan kalian, perasaan saya bahkan tidak begitu penting." Wildan menaruh gelas yang dia pegang tadi keatas meja. Ia segera berjalan menuju ke kamarnya tanpa memikirkan apa yang keluarganya itu lakukan. "Soal Teteh, jangan memarahinya. Emang cowoknya yang salah, jangan terlalu menyalahkan dirinya. Ada masa dimana semuanya nggak berjalan sesuai rencana." Sambungnya yang langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Wildan,"

Langkah Wildan terhenti ketika mendengarkan ucapan Shiwa. Ia tak menjawab hanya menghentikan langkahnya. Tak tahu apa yang akan dikatakan oleh Shiwa.

"Orangtua tidak memberikan contoh buruk kepada anaknya. Kenapa orangtua terkadang marahan atau selingkuh diam-diam? Karena mereka tak ingin memberikan contoh yang buruk kepada anaknya jika harus diungkapkan secara terang-terangan. Papa pikir kamu sudah cukup dewasa, namun pikiranmu ternyata tidak membuatmu cukup dewasa."

Wildan hanya tersengeh. Ia tetap tidak membalikkan badannya, kepalanya hanya menoleh sedikit kearah Shiwa. "Itu tetaplah kesalahan. Mau diam-diam hingga bertahun-tahun, yang namanya kesalahan tetaplah kesalahan. Papa tidak bisa mengelak atau mencari alasan lagi. Jika memang Papa merupakan panutan bagi saya, pikiran Papa tidak akan pernah membuat Papa untuk melakukan kesalahan seperti itu." Wildan kembali melanjutkan langkahnya dengan tatapan wajah yang begitu dingin.

Caca yang mendengar adiknya mengungkapkan banyak kata-kata yang sungguh dingin. Ia segera berdiri untuk menghampiri Wildan. Lagi-lagi langkahnya dihentikan oleh Shiwa.

"Kau berdua sama-sama pembangkang."

Caca ikut tertawa. Bagaimana bisa seorang panutan baginya sejak beberapa tahun silam kini sudah berubah? Bisa-bisanya seorang Papa bisa tidak menjadi bijak hanya karena terlalu buta akan perselingkuhan sebelumnya?

"Tidak perlu membangkang. Alasan kami membangkang adalah karena ajaran kalian. Terlalu membangkang atas apa yang sudah ditegur. Membangkang dengan berlandaskan bahwa kalian selalu benar. Ya, emang benar. Buah takkan jatuh jauh dari bawah pohon. Bahkan, Buahnya tidak jatuh hanya menggantung. Makanya sifat kami mirip sekali dengan kedua orangtua yang melahirkan kami." Caca mengatakan itu dengan ketus.

"Jangan mengajak saya berdebat. Sejak kapan ada anak yang membangkang, membantah dan menceramahi orangtuanya?" tanya Shiwa dengan tatapan tajamnya.

"Ada. Sejak saat ini. Dirumah ini. Siapa yang mengajarkan? Yang mengajarkan adalah Papa." Jawab Caca sembari berjalan menaiki anak tangga untuk menemui Wildan. Baginya sekarang, sudah cukup untuk membiarkan kesalahan. Caca sangat ingin Papa nya sadar bahwa yang dilakukan oleh mereka adalah salah.

"Bahkan anakmu saja menyetujui bahwa tindakan yang kau lakukan adalah salah." Ujar Ameena yang mulai berdiri dan kembali masuk kedalam kamarnya. Shiwa sudah duduk sendirian diluar, dia menghela nafasnya. Memang Shiwa adalah seorang lelaki yang susah untuk diberitahu. Karena baginya apa yang dia tahu dengan apa yang oranglain ketahui itu berbeda. Dia lelaki yang berprinsip dengan 100% benar.

--------

Wildan sudah membereskan barang-barangnya. Saat ini ia tengah memasukkan banyak baju kedalam koper. Caca yang melihat itu segera masuk kedalam kamar Wildan.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Caca yang kebingungan melihat tingkah Wildan yang hanya diam tanpa berusaha mengatakan apapun seperti biasanya.

"Kenapa kau diam saja?" sambung Caca yang tak menemukan balasan dari Wildan. Wildan yang mendengar itu hanya memejamkan matanya sebentar sambil menghela nafasnya panjang. Ia menghentikan memasukkan baju kedalam koper.

"Ini bukan urusan Teteh," jawab Wildan dengan ketus.

"Pasti ada urusannya dengan saya, kenapa? Kamu marah? Marah karena saya gagal menikah? Marah karena saya hanya diam saja?" tanya Caca ke Wildan yang sampai saat ini tak membuat Wildan menjawab semua pertanyaan Caca.

"Kau benar-benar marah."

Wildan berdiri dan segera mengumpulkan beberapa buku nya untuk dimasukkan kedalam kotak. Ia tetap tak menghiraukan apa yang dikatakan oleh Caca. "Bahkan kesalahanmu sendiri, kau tidak memahami itu." Batin Wildan.

Caca melirik ke arah dinding kamar Wildan. Ia menaruh bingkai foto Icha menggantung disana. Caca tetap merasa sedih karena adiknya tak mau mengatakan beberapa kata padanya. "Kau harus baik-baik saja disana, saya tidak mau mendengar beberapa perkataan buruk nantinya." Caca mencoba untuk keluar dari kamar Wildan, namun tangannya ditahan oleh Wildan.

"Menatapku menjijikan, bukan? Sebaiknya lepaskan saja. Demi apapun saya berjanji tidak akan mengganggumu lagi."

Tiba-tiba, Caca sudah berada dipelukan Wildan. Adik lelakinya itu menyembunyikan wajahnya di pundak Caca. Caca tahu Wildan sedang menangis saat itu. "Menangislah sepuasnya, kau tahu? Ini kesempatanmu untuk melampiaskan rasa pedih, kesal, sedih, sakit dan penatmu. Menahan tangis juga tidak akan merubah apapun." Caca mengelus punggung Wildan dengan begitu perlahan. Wildan diam didalam pelukan itu.

"Jika mereka masih mengganggu Teteh, bilang ke saya, demi apapun saya berjanji akan membalas apa yang mereka lakukan terhadap Teteh."

Caca hanya mengangguk. Ia sadar bahwa adiknya itu hanya mengkhawatirkannya bukan marah. Caca tersenyum terharu, sebab dari kecil Caca sudah membela dan menyayangi Wildan melebihi apapun.

ALEANO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang