36. "Bagaimana saya hidup tanpa Icha, Abi?"

257 40 1
                                    

Mobil Ambulance yang membawa Icha sudah tiba didepan rumah sakit. Ia menurunkan brankar dengan segera. Sebenarnya tak ada yang bisa dilakukan lagi sebab Icha sudah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Wildan mengekori mobil ambulance itu berharap ada hal baik nantinya. Sekalian Wildan membawa Caca untuk segera di infus. Wildan menggendong Caca tanpa melirik siapapun yang melihat kearahnya.

"Tolong, wanita ini kehabisan cairan. Tolong diinfus." Jawab Wildan.

Para perawat langsung berhamburan ketika melihat Wildan menggendong seorang wanita. Mereka membantu Wildan untuk menginfus Caca. Baju Wildan sudah penuh dengan darah dari Icha. Ia mencoba melangkahkan kakinya ke ruangan sebelah. Melirik Dokter mengelilingi Icha. Bahkan EKG dilakukan, namun nihil.

Tiba-tiba Hasan sudah sadar. Ia sudah berdiri disamping Wildan dengan mata memerah dan tangan penuh bekas luka lecet. Ia menangis sejadinya disamping Wildan.

Dokter keluar, pandangan Wildan masih melirik wajah Icha yang sudah benar-benar pucat pasi. Ia menghela nafasnya panjang karena benar-benar tak bisa melakukan banyak hal lagi. "Apa yang harus kulakukan, Cha?"

"Bagaimana, Dok?" tanya Hasan yang segera menghadang para Dokter.

"5 April 2019. Annisa Asyifa Bakhrie saya nyatakan meninggal dunia." Dokter hanya memberikan informasi tersebut sambil menggeleng tak bisa membantu banyak hal.

"Innalilahi Wa Inna Ilaihi Raji'un." Jawab Hasan dan Wildan bersamaan. Perawat masih membereskan beberapa barang agar tidak diinjak oleh pasien lainnya nantinya dan mensterilkan beberapa barang yang sudah dipakai oleh Icha.

Hasan melangkahkan kakinya dengan kaku. Ia masih tak menyangka, kedua kalinya dalam hidupnya harus kehilangan orang-orang yang ia sayangi dan cintai.

"Hasan." Panggil Wildan yang tak dihiraukan oleh Hasan.

"Icha," Panggil Hasan dengan tersendat. "Bagaimana bisa? Ha.. Bagaimana bisa? Kamu meninggalkan saya begitu saja?"

Wildan hanya minggir. Ia membiarkan Hasan untuk melampiaskan perasannya. Padahal perasaan yang sedang ia rasakan juga saat ini benar-benar ingin menyakitkan.

"Cha, saya benar-benar berterima kasih. Untuk," Kata-kata Hasan tersendat. "Untuk bisa menemui saya, dan untuk menjadi kekasih saya. Saya benar-benar berterima kasih. Saya benar-benar beruntung bisa memilikimu. Bisa mendapatkan cinta darimu," ucap Hasan dengan menangis sejadinya didepan Icha. Wildan hanya memalingkan wajahnya berpura-pura tak mendengar itu.

"Jika kepergianmu ini adalah karena saya, saya benar-benar minta maaf. Terima kasih sudah menemui saya sebelum waktunya kamu pergi meninggalkan saya. Saya benar-benar bersyukur bisa memilikimu." Hasan hanya mengelus pipi Icha dengan lembut.

Sedangkan Faisal masih duduk dikursi luar ruangan, Elina sudah terkulai tak berdaya di samping Faisal. Sudah beberapa kali dia pingsan karena anaknya yang meninggal. Echa dan Acha sudah terduduk dilantai tak berdaya.

"Ini salahku, ini semua salahku. Seandainya, aku tak menyuruhnya membeli beberapa barang dan pulang kerumah, ini tak akan terjadi." Ucap Echa.

"Semuanya sudah takdir." Jawab Faisal sambil memejamkan matanya dengan tangan disilangkan dibawah dada. Menahan tangisan yang bisa kapan saja pecah.

"Bagaimana ini bisa menjadi takdir? Sedangkan, andai saja dia tidak pulang. Ini semua tak kan terjadi!" Echa berdiri sembari menangis sejadinya menatap Ayahnya yang tak bergeming sedikitpun itu.

Mendengar penuturan Echa, Wildan terdiam didalam ruangan. Ia mencoba untuk keluar dan menenangkan suasana. Namun, Echa sudah menangis sambil berteriak tidak rela atas kepergian Icha.

"Ikhlaskan, Bagaimana kakak mu bisa tenang, jika kamu saja begini?" Faisal melembut. Ia mencoba menenangkan Echa, namun mata Echa meredup. Ia tak sadarkan diri. Badannya lemas dan air matanya masih mengalir sedikit demi sedikit.

Elina terbangun. Ia masih menangis meratapi bahwa Icha sudah tidak ada lagi, Ia terjatuh lemas dari atas kursi sambil menangis. Wildan yang melihat itu langsung membantu Elina untuk duduk lagi. Perawat sudah membantu Echa yang terbaring lemah di lantai.

"Istighfar. Ikhlaskan," Ucap Faisal yang masih menahan dirinya. Faisal berdiri dan masuk kedalam ruangan. Didalam ruangan sudah ada Hasan yang masih menatap Icha terbaring pucat pasi tanpa nyawa lagi.

"Kau masih disini?" Tanya Faisal ke Hasan yang tak bergerak dari tempat ia berdiri sedikitpun.

Hasan mengangguk. Ia benar-benar tak rela kehilangan Icha seperti ini. Padahal kaki dan tangannya penuh luka lecet. "Sembuhkan lukamu," Perkataan Faisal tak didengarkan oleh Hasan.

"Abi, bagaimana cara mengobati luka hati yang benar-benar menyakitkan?" Hasan mengalirkan air matanya tanpa ditahannya. Matanya benar-benar sembab. Ia benar-benar mencintai Icha melebihi rasa cintanya ke Nanas. Dirinya ke Nanas hanyalah perasaan bersalah. Namun, saat ini benar-benar perasaan cinta.

"Bagaimana saya bisa hidup tanpa Icha?" tanya Hasan menangis sejadinya didepan Faisal. Tangan Faisal sudah meremas pundak Hasan untuk menenangkannya.

"Kirim Al-fatihah untuk anak saya, itu yang akan membuat anak saya menjadi lebih baik."

ALEANO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang