39. "Aku pembawa sial."

281 41 1
                                    

-----

Hari ini aku tak memiliki jadwal rumah sakit atau jadwal dimana saja. Jadi, aku akan menuju ke lokasi pemakaman umum. "Saya akan ke tempat Icha, jadi saya tidak akan sempat dirumah." Aku memberikan pesan ke Bibi.

Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Aku heran, ini kan rumah baru dan tak banyak yang tahu dengan alamat ini kecuali keluargaku sendiri. Aku segera membuka pintu rumah, ku perhatikan dari bawah hingga atas kepalanya. Ia menatapku, "Apa yang kau lihat?"

Wanita itu masuk kedalam rumahku. Aku tertawa geli. Ya, dia adalah kakak kesayanganku. Siapa lagi kalau bukan Teh Caca.

"Ada hal apa wahai tuan putri menghampiri saya?"

Teh Caca tak menjawab pertanyaanku. Ia duduk di sofa, menyandarkan kepalanya sembari menghela nafas lelah. "Ada masalah?"

Teh Caca menggeleng.

"Terus ada apa?"

Teh Caca mulai meminum sebotol L* Miner*l yang sudah terduduk rapi diatas meja. Ia meneguknya cepat hingga habis. "Kau masih galau?"

Aku tertawa setelah mengetahui pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

"Kenapa tertawa?"

"Hanya geli." Jawabku.

"Jawab saja, kau galau? Ini hari kematian Icha. Kamu benar-benar aman?"

"Saya akan selalu aman." Jawabku menenangkan Teh Caca. Aku duduk disampingnya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Yang bertahan harus terus bertahan?" Pertanyaan Teh Caca membuatku tersenyum.

"Bisa tidak kita tidak perlu mengungkit hal ini lagi. Bukan apa-apa, tapi saya benar-benar tidak mau memikirkan hal ini berlarut-larut. Sedangkan saya punya kehidupan. Tidak seterusnya hidup saya harus terus galau memikirkan hal ini. Kehilangan adalah hal lumrah yang terjadi pada siapa saja. Saya tidak bisa menentang takdir. Ya emang saya siapa harus mengatakan bahwa takdir itu adalah salah? Harusnya kita sebagai seorang hamba hanya harus bersyukur dan menikmati jalan hidup."

"Namanya manusiawi jika kamu galau, Idan."

"Ya mau gimana lagi, saya hanya sedang ingin berdamai dengan diri saya sendiri. Saya sangat yakin, jika Icha hadir dia tidak benar-benar mau melihat saya hanya terbaring lemah. Sedangkan dia membutuhkan Al-fatihah dari saya."

"Idan,"

"Dalem Teh."

"Menangis dengan nggak menangis sama saja. Mau kamu menangis, keadaan akan terus begini. Mau kamu nggak menangis, keadaan juga akan begini. Jadi, jangan dipaksa untuk menangis atau tidak menangis," Ucap Teh Caca sembari menenangkanku.

"Kau tahu satu hal?"

"Apa itu?"

"Jangan menunggu dunia dan keadaan berubah. Mereka tidak akan berubah. Mau kamu tunggu sampai ribuan tahun, dunia dan keadaan tidak akan berubah. Jadi berubahlah agar dunia dan keadaanmu berubah,"

Deg. Kali ini perkataan Teh Caca membuatku tak banyak berbicara. Aku terdiam sembari memperhatikan luar kaca.

"Kamu masih ingat perkataan Mama?"

"Yang bagian?"

"Hidup itu seperti roda. Akan ada masa dimana kamu bisa dibawah dan kamu bisa diatas. Jadi, jika kamu sudah berdiri diatas jangan lupa bahwa kamu juga bisa berangsur merasakan dibawah juga."

"Saya sangat ingat." Jawabku sambil mengangguk paham.

"Hidup juga pasal kehilangan dan pertemuan. Jika kamu bertemu, kamu akan kehilangan. Paham kan?" Tanya Teh Caca padaku.

Aku mengangguk. "Tapi, kalau saya sedikit protes apa boleh? Saya mau protes dan menyampaikan keluhan bahwa saya ingin agar saya tidak memikirkan hal ini lagi. Saya benar-benar merindukannya,"

"Teteh paham,"

"Saya benar-benar merindukannya sampai saya pikir saya mau gila saat ini,"

"I know," Teh Caca memelukku dan menepuk pelan pundakku. Aku menunjukkan kepadanya tentang bagaimana gengsi seorang pria yang tak mau menangis didepan seorang wanita.

"Tidak perlu malu, sedangkan Teteh sering sekali melihat kamu menangis. Idan, untuk menjadi kuat kamu harus merasakan hatimu hancur dulu, baru kamu bisa berbangga hati untuk kedepannya bahwa kamu tidak akan merasakan rasa sakit yang baru lagi. Kamu akan berpikir bahwa rasa sakit yang kamu lalui sudah pernah kamu rasakan jadi kamu tidak akan merasakan rasa sakit yang asing lagi."

Aku memeluk erat kakak perempuanku itu. "Aku tidak beruntung soal mencintai,"

"Semua orang beruntung,"

"Buktinya aku kehilangan Icha dua kali, satu di dunia dan satu lagi di hidupku."

"Itu takdir." Jawab Teh Caca yang terus menerus menenangkanku.

"Aku pembawa sial."

"Jangan mengatakan hal itu." Teh Caca mencubit pundakku. Ia segera mengatakan sesuatu lagi. "Pada dasarnya, semua orang sudah memiliki takdir masing-masing. Meskipun semisalnya bukan denganmu, Icha juga pasti akan meninggal dengan orang lain. Semuanya terorganisir begitu. Jadi, jangan terus menyalahkan dirimu bahwa kamu penyebab segalanya. Ingat, kamu hanyalah orang yang diperkenankan untuk melihat itu dan merasakan itu. Karena kamu sanggup. Kamu tidak akan terpilih jika kamu tidak sanggup, Idan."

Iya benar, jika tak terpilih, tak mungkin kita akan sanggup.

"Jangan terlalu sering menyalahkan semesta. Semesta tidak tahu apa-apa. Yang harus kamu salahkan adalah kenapa kamu tidak melakukan hal yang baik sebelum hal itu terjadi? Minimal memberikan kenangan yang baik atau hal apapun yang baik."

Aku mengangguk. Ya, semua perkataan itu benar.

"Teteh mau pergi lagi,"

Aku bingung. "Loh, baru sampai sudah mau pergi?"

"Hanya mampir untuk melihatmu. Setidaknya Teteh sudah melihatmu bernafas itu sudah lebih dari cukup." Ia terkekeh sebelum melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkanku.

"Hati-hati dijalan."

Ia mengangguk dan melambaikan tangannya.

-----

ALEANO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang