5. "Entahlah."

708 154 15
                                    

Di kampus Wildan.

Pertama dalam sejarah bahwa Wildan telat 15 menit. Konsekuensi kampusnya jika ia telat lebih dari 15 menit. Maka ia harus di hukum atau di alpa kan. Wildan dihukum untuk segera membawa buku praktek anak-anak ke kantor. Ia menyesali perbuatannya. Banyak anak-anak yang melirik ke arahnya karena ini benar-benar pertama dalam sejarah pertelatan. "Buk, ini ditaruh dimana ya?" Tanya Wildan.

Dosennya menunjuk ke meja tempat biasa anak-anak menaruh buku praktikum. Wildan segera menaruh buku praktikum yang dibawanya ke atas meja dosen tersebut. "Wildan. Ini pertama kali kamu telat. Jangan diulang, kamu bisa candu nanti,"

Wildan mengangguk. "Iya, Buk. Maafkan saya."

------

DIKELAS

Bahkan di kelas pun Wildan tampak lesu. Hasan yang melihat itu langsung mendekati Wildan. "Are you okay bro?" ia menepuk pundak Wildan sembari memberi ketenangan.

Wildan mengangguk. Ia menulis banyak rumus-rumus matematika di print hand-out miliknya. Hasan tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sensitif. "Dan,"

Wildan berdehem menandakan dia mendengarkan.

"Lo nggak suka sama Icha, kan?" sebenarnya Hasan agak ragu untuk menanyakan itu. Namun, lama kelamaan dia merasa benar-benar penasaran dan harus banget menanyakan hal itu agar perasaannya lega.

Wildan yang sebelumnya memejamkan matanya sambil menggosok dahinya dengan jari telunjuk segera membuka matanya, Ia melirik Hasan. "Kamu mau ngapain?"

"Kamu suka atau enggak? Jawab itu nggak susah, kan?" Hasan masih menunggu Wildan untuk menjawab. Namun, sangat lama menunggu Wildan menjawab hal itu.

Meski berat. Wildan hanya mengangguk. Mungkin ini jalan satu-satunya untuk kebahagiaan sababat satunya ini.

"Dan, Gua mau serius sama Icha. Tampaknya Icha anak baik-baik. Sebenarnya gua udah sudah selidiki latar belakangnya, kemarin gua kirim banyak makanan ke rumah dia," Jelas Hasan sambil tersenyum seperti orang gila.

"Padahal kamu sudah kenal Icha dari SMA." Wildan mengalihkan pandangannya. Ia kembali menyadarkan tubuhnya ke belakang dan memejamkan kepalanya sambil melipat kedua tangannya dibawah dadanya.

"Hah?" Hasan bingung karena Ia benar-benar tak ingat kejadian beberapa waktu silam. "Kapan?" Sambung Hasan kebingungan.

"Waktu ada pembullyan. Kita bantu teteh dan disamping teteh ada wanita. Masa kamu nggak ingat?" Wildan menghela nafas dan matanya masih memejam.

"Lah, iya benar. Gua nggak ingat, serius. Dulu gua cuma fokus belajar sama basket. Jadi nggak bisa fokus ke cewek. Gak kelihatan sumpah." Hasan membela diri. Ia tak sadar, bahwa dia pikunan. "Pantas Icha cuek pas gua ajak kenalan kemarin." Gumam Hasan.

Wildan hanya menggeleng bingung sama manusia satu itu. Wildan kemudian membuka perlahan matanya, menatap lekat wajah Hasan dan bertanya dengan serius. "Kamu benar serius sama Icha?"

Hasan mengangguk. "Benar. Gua benar-benar serius."

"Kamu siap lahir dan batin? Siap untuk menghalalkannya dan menikahinya?" Tanya Wildan menatap Hasan.

Dibalas dengan anggukan kepala Hasan. "Sangat siap! Bahkan saya bisa menikah dengannya tahun depan jika dia mau."

"Sekarang mau pacaran?" Tanya Wildan yang bingung.

"Ya enggak. Temanan dulu. Kalau Icha setuju nanti saya kerumah Icha untuk tunangan. Kali ini gua serius, Dan. Lo harus dukung gua kali ini. Gua janji ini terakhir kalinya. Ya sejak, kejadian sama Na-" Perkataan Hasan dipotong oleh Wildan.

ALEANO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang