28. "Bicara empat mata dengan Icha menyenangkan."

230 42 3
                                    

"Oh iya, apakah saya boleh menelpon keluargamu untuk memberikan kabar soal ini?" tanya Wildan sembari menaruh makanan yang ia pesan tadi diatas meja.

Icha menggeleng. Ia kembali berbaring di bed pasien. "Jangan kemana-mana." Ia juga menatap tulisan di tiang infus. "Kama ahabak Allah akthur mimaa tuhibuni. Allah mencintaimu lebih dari kamu mencintaiku. Wildan Pratama," Ia tersenyum sambil membaca itu.

"Apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Kamu yakin ingin sendirian disini? Kita nggak bisa berduaan lebih lama, Cha. Bisa zina. Apa saya harus menelpon Teh Caca?" tanya Wildan.

"Tidak perlu. Jangan menelponnya. Kau boleh pulang, InsyaAllah siang ini aku pun sudah boleh pulang," jawab Icha sembari menggangguk yakin karena ini ke-9 kalinya ia masuk rumah sakit.

"Jangan berbohong. Dari Tes MRI yang kau lakukan beberapa waktu lalu, sudah sepatutnya kau istirahat total dan berobat," Wildan mengeluarkan beberapa botol minuman. "Kau mau minum?" Icha menggeleng tak selera makan. "Apa makanan yang ingin kau makan saat ini?" tanya Wildan kemudian.

Icha berpikir, Apa ya? Tapi, emang Wildan mau ngasih makanannya kalo aku bilang mau makan Nasi Goreng dan Mie Tumis? Icha menggeleng, ia pasti yakin, Wildan akan memarahinya jika dia bilang ingin memakan kedua itu. "Tidak ada."

"Jangan takut, saya akan memberikan apapun yang kau mau tanpa memarahimu." Jawab Wildan sambil meneguk air minum yang ia dongakkan kedalam mulutnya.

"Aku mau Nasi goreng sama Mie tumis." Jawab Icha sambil membasahi bibirnya dengan lidah. Ia benar-benar menginginkannya.

"Baiklah!"

Icha tersentak kaget. Bagaimana bisa Wildan akan segera memberikannya Nasi goreng dan Mie tumis? Biasanya dia tak pernah mau memberikan makanan yang penuh dengan minyak. Ada apa dengannya? Padahal penyakit jantung Icha tak segitu parahnya.

"Jangan membuatnya banyak pikiran. Dia bisa Stress." Kata-kata dari dokter itu masih terngiang di pikiran Wildan. Yang benar saja, kata-kata itu adalah kata-kata untuk Icha.

Wildan menarik kursi roda dan membantu Icha untuk duduk diatas sana. Ia menyuruh Icha untuk memeluk cairan infus miliknya. Wildan mendorong kursi roda milik Icha menuju ke dapur rumah sakit.

"Permisi, apakah disini saya boleh masak? Nanti saya ganti untuk bahan pakan yang sudah saya gunakan," ucap Wildan. Salah satu staff yang tak mengenal Wildan langsung mempersilakan Wildan untuk memasak sendiri. Karena sebenarnya disini ada fasilitas untuk Bumil yang ingin dimasakkan oleh suaminya sendiri.

"Pasti Mas ingin memasak untuk istrinya." Ucap Staff tersebut sembari mempersilakan Wildan mendorong kursi roda milik Icha. "Untuk Pasien jangan terlalu dekat dengan kompor ya, jangan terlalu dekat dengan api atau asap."

"Baiklah saya mengerti." Jawab Wildan yang melirik Staff tersebut sudah keluar sembari mendorong trali makanan.

"Kita akan masak disini," Wildan melirik sekeliling dengan perasaan lega. Ia akan masak mie dan nasi goreng disini.

"Jangan repot-repot harusnya, kamu bisa membelinya. Kita punya fitur Go-Food di handphone yang bisa membeli makanan apa saja." Jawab Icha.

Wildan mengunci kursi roda Icha agar tidak mundur atau bergerak dengan sendirinya. Ia menaikkan lengan bajunya untuk segera memasak beberapa makanan. "Bahkan makanan orang diluar sana tidak begitu sehat. Saya akan memasak Nasi Goreng dan Mie tumis untukmu yang tidak memiliki banyak minyak."

Wildan menyiapkan beberapa nasi dan sudah mengupas bawang merah dan putih, ia sudah mengirisnya menjadi irisan yang sangat tipis melebihi Chef Arnold. "Kau kira dirimu itu Chef?" teriak Icha yang membuat Icha tertawa terbahak-bahak melihat cara masak Wildan yang berlebihan.

ALEANO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang