🦋 Halohai! 🦋
Asik, walaupun seminggu sekali, setidaknya ngga ngilang kaya kemarin, ya, hihi.
Part ini agaknya kebanyakan gula kalo kata aku, sih.
Ngga ada chit-chat panjang, intinya lagi dan lagi aku mau mengucapkan terima kasih banyak buat kalian semua yang ngga bisa aku sebut satu-satu.
Kalau udah bosen bilang, ya, jangan ngilang.
Naladhipa; jantung hati yang selalu menerangi.
-
16.30
Setelah Bian selesai mandi, Bian pun bersiap menunaikan salat asar dengan mengenakan baju dan sarung yang telah disiapkan oleh Nara sebelumnya. Lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah itu melihat istrinya tengah duduk di depan meja rias sambil menggulir ponselnya.
"Ra, tapi kamu ngga cape, kan? Ngga papa kalau kita pergi sore ini?" tanya Bian memastikan.
Nara yang tengah menunduk pun mendongak. "Ngga papa. Kakiku udah ngga sakit, kok, Mas," jawab Nara.
Mendengar penuturan istrinya itu Bian pun hanya mengangguk. "Saya salat dulu, ya. Kamu udah siap?" tanya Bian sambil menggelar sajadah.
Nara mengangguk. "Iya. Aku tunggu di bawah, ya? Sekalian pamit sama Mama," kata Nara meminta persetujuan.
"Hati-hati turun tangganya," ujar Bian.
Nara pun berjalan ke arah pintu bersamaan dengan takbir pertama yang digemakan oleh Bian. Tujuan awal Nara sebenarnya ke dapur karena tenggorokannya terasa kering. Nara berniat untuk minum dan setelahnya menuju kamar Hanna untuk berpamitan.
Mbok Nah yang tengah mencuci piring di wastafel pun sedikit terkejut dengan kedatangan Nara. "Eh, Mba Nara, mau ke mana, Mba? Kayaknya rapi banget," ujar Mbok Nah menyeringai.
Nara pun ikut tertawa kecil. "Diajak jalan-jalan sore sama suami, Mbok," jawab Nara sambil mengambil gelas.
Mbok Nah pun lekas mengangguk. "Udah lama ngga pergi berdua, ya, Mba?"
Nara terlihat berpikir sejenak. Benar juga, sepertinya sudah lama dia dan suaminya itu tidak menghabiskan waktu bersama. Sering pergi berdua, namun setelahnya pasti bertemu orang lain. "Iya, Mbok. Terakhir kapan, ya, aku juga lupa," jawab Nara sambil tertawa kecil.
"Hati-hati, ya, Mba," ujar Mbok Nah.
"Iya, Mbok. Aku duluan, ya, mau ke kamar Mama," pamit Nara. Mbok Nah pun hanya mengiyakan perkataan Nara.
-
Sampai di depan pintu kamar mertuanya itu, Nara lekas mengetuk tiga kali. "Ma, ini Nara."
"Masuk, Sayang. Pintunya ngga dikunci," jawab Hanna di balik pintu.
Dengan cekatan Nara pun membuka pintu dan langsung masuk. Dia mendapati mertuanya tengah duduk di meja kerja menghadap ke balkon sambil membuka laptop dan buku catatan kecil di depannya. Mertuanya ini memang benar-benar perempuan yang produktif. Bahkan di usianya yang sudah senja sesekali masih melakukan hal-hal yang menurutnya amat sangat bermanfaat.
"Loh, kamu mau ke mana?" tanya Hanna.
Nara yang mendengar lagi pertanyaan itu pun hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Aku ngga tahu, Ma, diajak Mas Bian pergi," jawab Nara. "Aku ke sini mau pamit sama Mama, takutnya Mama nyariin," jelas Nara.
Hanna mengangguk. "Tumben banget anak Mama ngajak jalan. Sama Kaila juga?"
Nara menggeleng ragu. "Kayaknya engga, Ma, tapi ngga tahu. Soalnya Kaila masih tidur, kan?" tanya Nara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...