017

623 68 70
                                    

Syifa dan Nurna duduk beralaskan tikar. Mereka memperhatikan Echa dan Alex yang sedang mengobrol di depan sana. Entah apa yang dibicarakan sampai kedua orang itu tampak serius.

"Becanda lo tadi gak lucu sama sekali, Nur," katanya pelan, namun terdengar di telinga Nurna.

Setelah menuduh Echa berkemungkinan pembunuh dan dia berpura-pura tak mengerti clue itu, Nurna tertawa keras. Lalu, mengatakan hanya becanda.

Suasana yang sempat bersitegang berubah menjadi membagongkan saat itu juga.

Nurna menoleh sekilas. "Becanda enggaknya, dia mencurigakan di mata gue," balasnya, menimbulkan kernyitan bingung di dahi Syifa.

"Mencurigakan gimana?" tanya Syifa penasaran.

"Banyak," jawab Nurna cepat. "Salah satunya, kenapa dia selalu ada di tempat kejadian? Terakhir dia bilang, kita harus hati-hati karena bisa aja pembunuhnya pasang jebakan. Dari mana dia tau ada jebakan? Dia bahkan bersikukuh supaya kita gak pulang,"

Syifa geleng-geleng kepala mendengar itu.

"Normal bagi seseorang selalu waspada di kondisi kayak gini, Nur. Itu insting dasar manusia. Jangan terlalu cepat menyimpulkan," pesan Syifa.

"Sebenernya ada beberapa yang gue curigai, bukan cuma Echa." Syifa semakin menatap Nurna intens. "Enggak, enggak. Lupain. Mungkin bener kata lo, gue yang terlalu su'udzon sama orang,"

Syifa tak habis pikir dengan jalan pikiran Nurna. Jadi maksud gadis itu, pembunuhnya adalah salah satu dari mereka? Syifa bahkan tak pernah berpikir demikian.

"Kita kenal udah lama, Nur. Kita tau seluk-beluk dan kekurangan masing-masing. Kalau pembunuhnya salah satu dari kita, itu gak mungkin. Buat apa coba?"

"Gak ada yang gak mungkin, Syif. Ada banyak kasus orang tua bunuh anak, anak bunuh orang tua. Suami istri saling bunuh. Apalagi kita cuma sebatas temen," sanggah Nurna tak setuju dengan pendapat Syifa.

"Motifnya apa?" kata Syifa pada akhirnya.

Nurna mengendikan bahu.

"Nahkan. Lo bahkan gak tau motifnya. Sekali lagi gue bilang, jangan terlalu cepat menyimpulkan."

Nurna hanya diam. Kali ini pandangannya tertuju pada Selvi dan Manda yang tampak becanda di dekat danau.

Setelah meratapi Fadil setelah sekian jam, Selvi sadar bahwa semua yang ada di dunia ini datang dan pergi. Ia tidak bisa menahannya apalagi menuntutnya kembali.

Dan Manda berhasil menghiburnya dengan lelucon-lelucon bapak-bapak yang sebetulnya terdengar garing dan menyebalkan, namun justru membuat Selvi tertawa.

Selvi memang calon bapak-bapak.

"Manda juga. Dia sus. Dia nyari hapenya padahal hapenya ada saku belakang,"

"Lo tau darimana?" tanya Syifa yang kali ini menghadapkan badannya pada Nurna.

"Gue liat sendiri. Gue gak sempet bilang karena kepikiran sesuatu dan dia keburu pergi," jawab Nurna.

"Kenapa gak sekalian lo tuduh orang berjas hujan yang diceritain Selvi itu Manda?" timpal Dika sinis seraya berjalan ke arah mereka.

Laki-laki itu baru selesai memasang tenda bersama Rangga. Sedari tadi ia mendengarkan percakapan Nurna dan Syifa.

"Bisa jadi," balas Nurna setuju.

Dika berdecak kesal. "Jangan lupa tupperware bersianida punya lo. Lo juga orang yang patut dicurigai, Nur," telaknya.

Nurna membuang muka. Ia bangkit seraya merapikan bajunya, kemudian menabrak bahu Dika dan pergi begitu saja.

Nurna sempat berpapasan dengan Rangga yang membawa beberapa roti yang sudah dibuka bungkusnya dan hendak memberikan satu kepada Nurna.

Death ReunionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang