5 - Hutan kabut

39 9 9
                                    

"Untunglah kita selamat." Ucap Silvia.

"Tapi kita dihadapkan bahaya yang berbeda kembali." balas Camelia.

Silvia melihat hutan yang diselimuti kabut putih tebal, oksigen yang terlalu melimpah hingga hawa dingin tiap hembusan angin terasa menerobos hingga tulang-tulang.

"Apa kau tahu tentang jurnal Arkeolog kristal? Disitu tertulis pada bab lima tentang hutan berkabut." ucap Silvia.

"Oh itu." Camelia membuka tas selempangnya dan memperlihatkan jurnal usang berjudul arkeolog kristal yang baru disebutkan Silvia. Dia kaget tidak percaya jika Camelia pun memilikinya.

Camelia membolak-balikan halaman buku hingga berhenti pada bab lima tentang hutan kabut.

Tiba-tiba Silvia menarik tangan Camelia dan berlari, entah apa yang terjadi hingga Silvia tergesa-gesa. Hal itu membuat Camelia kaget dan menjatuhkan buku jurnalnya.

"Kau kenapa?!" pekik Camelia dan menepis tangan Silvia.

"Aku melihat seseorang membidik senjata ke arah kita." ucap Silvia sambil mewaspadai sekitar.

"Apa kau juga melihatnya rabbit?" tanya Camelia ke rabbit.

Rabbit hanya menggelengkan kepala. Camelia menatap Silvia kesal.

"Kita harus kembali mengambil buku jurnal ku yang jatuh tadi." ucap Camelia sambil berjalan kembali ke tempat semula.

Beberapa saat Camelia menemukan buku jurnalnya, dan Silvia masih berdiri mengawasi keadaan sekitar. Tanpa sadar ujung senjata sniper sudah menempel di kepala bagian belakang Camelia

"Bergerak, ku tembak." ucap seseorang di belakang Camelia.

Silvia kaget dan rabbit pun hanya mematung. Camelia yang ketakutan kini perlahan menelan salivanya.

"Apa kalian dari kelompok arkeolog kristal?" tanya seseorang tersebut.

"Bu-bukan." jawab Camelia.

"Lantas kenapa kau memiliki jurnalnya?" tanya lagi seseorang tersebut.

"Aku dapat beli dari pedagang asing," jawab Camelia.

Seseorang itu menurunkan sniper nya, kemudian menghembuskan nafas kasar. Camelia memutar tubuhnya, dia melihat sosok perempuan yang seumuran dengannya, dengan rambut pendek dan memiliki luka tembak di lengannya.

"Namaku Neko, aku diculik oleh rombongan arkeolog kristal untuk menuntun mereka menuju pulau naga ini. Beruntungnya aku berhasil lolos, tapi sayangnya aku tertembak oleh salah satu pemburu diantara rombongan tersebut ketika berhasil mencuri senjata ini." jelas Neko sambil mulai senyum ramah.

"Kita sedang-" ucap Silvia namun Camelia menutup mulut Silvia agar tidak membocorkan tentang pencarian orang tuanya yang diculik juga oleh rombongan arkeolog.

"Petualang, iyah petualang. Namaku Camelia dan ini Silvia, kami berdua adalah arkeolog pemula. Tidak sengaja bertemu disini dan kenapa tempat ini menyimpan banyak misteri, Begitu." jelas Camelia.

"Ikut aku, tempat ini tidak aman. Disini aku memiliki tempat untuk berlindung dari hewan dan gas-gas berbahaya yang tercampur pada kabut." ucap Neko sambil berjalan.

Camelia dan Silvia pun hanya mengikuti arahan Neko. Karena Silvia melihat luka yang begitu dalam pada lengan Neko, dia sudah percaya bahwa Neko adalah orang baik.

Tidak lama berjalan mereka pun sampai di salah satu pohon besar. Memanjat tidak begitu tinggi dan kebetulan pohon tersebut condong atau miring hingga mudah untuk dipijak. Dari bawah terlihat hanya dedaunan rimbun, namun setelah melewati dedaunan tersebut mereka melihat rumah kayu yang berdiri diatas dahan pohon.

"Masuklah, sepertinya saatnya untuk berlindung. Bentar lagi monster hutan kabut akan bersuara." ucap Neko.

Saat masuk kedalam rumah pohon tersebut justru suasananya berubah, membuat Camelia dan Silvia tenang kembali.

"Kalian disini aman, tapi kita tidak bisa selamanya disini." ucap Neko.

Camelia melihat sangkar burung, dia mendekatinya. Sedangkan Silvia mulai mengeluarkan semua jenis tanaman herbalnya, dan mulai meracik sesuatu yang baru lagi.

"Woodpecker? Untuk apa kau pelihara burung ditempat begini?" tanya Camelia.

"Datang! Datang! Datang!" suara burung tersebut.

"Wow, burung ini bisa berbicara." kagum Camelia.

Neko menarik lengan Camelia untuk melihat keluar jendela. Camelia kaget melihat sosok besar sedang berjalan diantara tebalnya kabut.

Silvia masih saja sibuk dengan obat herbal nya, disisi lain Neko mengeluarkan burung pelatuknya dan terbang hinggap di pundaknya.

"Kita harus bergegas meninggalkan tempat ini." ucap Neko.

"Bukannya kau bilang tempat ini aman?" tanya Camelia.

"Dia bukanlah monster biasa, dia naga kabut. Lubang dari tubuhnya mengeluarkan asap panas, semua disekitarnya hancur jadi abu kecuali pohon dari hutan ini sendiri." jelas Neko.

Mereka pun segera membantu Neko mengemas perlengkapan, begitu juga Silvia bergegas memasukkan kembali bahan herbal nya ke tas cangkang kura-kura.

Mereka berdua segera keluar dari rumah pohon tersebut, disusul Neko dengan burung pelatuknya. Namun sebelum mereka pergi Camelia tersadar sesuatu.

"Senapanmu mana?" tanya Camelia ke Neko.

"Sebenarnya senjata itu tak berpeluru. Aku merampasnya saat pelurunya tinggal satu." jelas Neko.

"Sudah kita tinggalkan tempat ini." ucap Silvia.

Mereka berlari menjauhi naga berasap tersebut. Seketika berhenti di sebuah hutan yang lumayan sedikit pohon, terdapat banyak bunga tulip mekar di bawahnya. Bunga berwarna biru dengan harum mirip sesudah hujan usai.

Terlintas dipikiran Silvia, sebuah ramuan baru. Kini Silvia memastikan bunga tulip tersebut tidak beracun.

"Kita kumpulkan bunga ini," ucap Silvia.

"Untuk apa? Kita tidak ada waktu untuk bermain-main." sela Neko.

"Kumpulkan yang warna biru saja." kata Silvia kembali.

Neko menghembus nafas kesel, namun tidak dengan Camelia. Dia memilih mencari bunga tulip bersama rabbit. Disaat mereka mengumpulkan bunga tersebut, Neko penasaran dengan kelinci yang membawa katana bersama mereka.

"Dimana kalian dapatkan hewan sekeren itu?" tanya Neko.

"Dia yang mengantarku menuju dalam pulau ini, dia salah satu prajurit tempur di area luar hutan ini."

Mereka pun beristirahat sejenak, kemungkinan naga tersebut juga sangat lambat dalam berjalan. Disamping itu Silvia kembali mengeluarkan peralatan herbal nya. Sebelum melakukan percobaan dengan bunga tulip biru, dia mendekati Neko.

"Lenganmu," ucap Silvia.

"Mau apa?" tanya Neko.

Tanpa basa basi lagi Silvia menempelkan bubuk putih di lengan yang terluka namun tertutup gulungan perban.

"Aku bukan dokter, tapi obat bisa menyembuhkan siapapun. Istirahatkan lagi tubuhmu." ucap Silvia yang kemudian kembali ke tempat peralatan yang dikeluarkannya tadi.

Camelia memperhatikan Silvia mencampur bahan-bahan aneh di dalam mangkuk, dan di hancur hingga lembut.

"Kita akan buat hujan badai." ucap Silvia tiba-tiba. Kedua orang yang sedang memperhatikannya terkejut dan sekaligus bingung.

"Apa kau juga akan buat bubuk seperti sebelumnya untuk menyerang lawan?" tanya Camelia.

"Tidak, kita akan keluar dari hutan ini dengan badai." jawab Silvia.

Beberapa menit kemudian akhirnya bubuk birunya berhasil dibuat Silvia.
Iya membungkusnya dengan daun tulip yang kecil, lalu melempar ke atas setinggi-tingginya.

Bubuk tersebut seketika meledak dengan ledakan berwarna biru. Saat meledak hujan deras seketika mengguyur disekitar mereka.

"Weh? Kau buat hujan? Apa hubungannya tempat ini dengan hujan?." tanya Neko dengan raut kesal.

Archaeologist  : Mysterious in island dragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang