17 | Pelukan Hangat.

39 4 0
                                    

🌷 selamat membaca 🌷
_________

🦋🦋

Setelah bel istirahat berbunyi, Zira langsung dipanggil oleh Bu Sisil ke ruangan yang disiapkan sekolah khusus untuk murid dan guru, baik untuk bertanya lebih soal pertanyaan atau hal lain yang diperlukan. Ruangan itu mirip seperti ruang BK, tapi bedanya ruang itu bebas dipakai guru dan murid mana saja.

Zira menghela nafasnya tepat di depan pintu ruangan itu, dirinya harus siap mental karena guru yang akan ia temui adalah Mama dari anak yang sudah ia buat malu di depan teman-teman kelasnya tadi pagi. Ya, Bu Sisil adalah Mama Sesil --Bu Sisil mengajar Bahasa Inggris untuk kelas 10 IPA 1 sampai 10 IPA 5.

Zira menatap pintu ruangan itu lalu berucap, "lo gak salah, Azira, lo gak salah." ucap Zira sambil meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dengan ragu Zira mengetuk pintu kemudian masuk setelah mendapatkan sahutan dari dalam. Disana sudah ada Bu Sisil yang sedang duduk di kursi sambil memainkan ponselnya.

Bu Sisil menatap Zira, "duduk." ucapnya yang diangguki cepat oleh Zira.

Guru Bahasa Inggris itu menegakkan tubuhnya dan menatap Zira dengan serius.

"Apa yang sudah kamu lakukan ke anak saya? Kamu tidak malu sudah merebut tempat duduknya, bahkan merebut temannya?" tanya Bu Sisil yang berhasil membuat Zira mengerutkan keningnya sehingga kedua alisnya hampir bertautan.

"Ekspresi macam apa itu? Jawab saya!" tegur Bu Sisil.

"Tapi saya gak merasa merebut tempat duduk anak Ibu, saya juga tidak merasa merebut teman anak ibu." Zira mencoba membela diri.

"Oh ya? Terus kenapa kamu menjelek-jelekkan anak saya? Asal kamu tau, karena perlakuan kamu itu anak saya jadi tidak punya teman!"

"Asal kamu tau, karena ulah kamu itu anak saya jadi tidak memiliki teman di kelas!"

"Loh? Kan Sesil yang mulai duluan, dia yang dorong-dorong pundak saya dan bentak-bentak saya." jawab Zira memperjelas yang sebenernya terjadi.

"Jangan ngarang kamu! Masih anak SMA sudah jago memanipulasi keadaan!" bentak Bu Sesil yang membuat Zira melongo tidak percaya.

Kenapa jadi dirinya yang seolah-olah salah? Padahal sudah jelas-jelas Sesil yang membentakinya dan mendorongnya duluan.

"Saya tidak mengarang, Bu." jawab Zira penuh kejujuran. Kepalanya langsung menunduk sambil menarik nafas dalam-dalam agar tidak terbawa emosi.

"Sudah! Kamu memang benar-benar tukang bohong, sudah syukur sekolah disini gratis, pakek gaya-gayaan pengen rebut bangku sama temen anak saya segala lagi! Sadar diri dong!"

Zira mendongak menatap tak percaya guru yang saat ini ada di hadapannya, air mata gadis itu menggenang siap untuk keluar.

"Maksud Ibu apa ya? Saya sekolah disini gak gratis, Bu. Saya sekolah disini karena nilai saya, kalau nilai saya turun maka beasiswa saya juga akan dicabut. Saya mati-matian pertahanin nilai saya, dan ibu dengan seenaknya bilang kalau saya sekolah disini gratis?"

"Ya saya akui kalau saya memang tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk sekolah disini, tapi perlu ibu tau kalau saya sekolah disini penuh perjuangan supaya nilai saya tidak turun yang buruknya akan menyebabkan beasiswa saya dicabut. Mungkin soal biaya sekolah saya gratis, tapi soal beasiswa itu tidak gratis, Bu. Saya harus mati-matian pertahanin nilai saya."

Air mata Zira sudah mengaliri pipinya, sedangkan Bu Sisil hanya memalingkan wajahnya dan pura-pura tidak mendengar ucapan Zira.

"Dan ada beberapa hal lagi yang perlu Ibu tau, saya tidak berbohong soal ucapan saya tadi. Sesil, anak ibu, dia yang memulai pertengkaran dengan saya duluan. Dia juga menjelek-jelekkan nama Mei sampai membuat Mei tidak mau lagi duduk dengan dia. Banyak hal buruk yang anak Ibu lakukan di kelas. Dia seolah-olah menjadi orang paling berkuasa yang bisa menindas siapa saja semaunya."

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang