W

463 43 2
                                    

"Hai, Brother."

Kaki Joffey mendadak lemas melihat lelaki yang duduk di balik meja itu. Otaknya masih tidak percaya dengan apa yang matanya lihat. Namun, bulu kuduknya yang meremang membuat hatinya yakin dia tidak sedang berhalusinasi. Terutama ketika lelaki itu perlahan berjalan menghampirinya dengan senyum dingin khasnya, Joffey tidak mampu lagi menahan keterkejutannya.

"Kenapa berhenti?" Pengacara Kim sejenak ikut berhenti, menatap Joffey keheranan sebelum matanya mengikuti arah pandang Joffey. Beberapa detik ia habiskan dengan diam, mencoba meyakinkan diri dengan apa yang dilihatnya sekarang.

"Leo?" bisiknya pelan. Lelaki yang dipanggil Leo itu tersenyum simpul sambil menyilangkan tangan di dada dan mengangkat dagunya.

"Bagus juga ingatanmu sampai bisa mengenaliku dalam sekali lihat." Joffey refleks mundur, bahkan hingga membentur pintu yang sudah tertutup otomatis. Suara itu, persis seperti yang ada dalam ingatannya. Juga gaya berdirinya, memang hanya Leo yang mampu memandang rendah orang-orang di sekitarnya, siapa pun itu.

"Kalian semua ada perlu dengan Nathan? Atau dengan pemilik perusahaan ini? Mau duduk dulu? Kita bisa bicara dan menghabiskan sebotol wine." Leo sudah bergerak mengambil sebotol wine dari lemari rahasia yang sebelumnya hanya keponakan kembarnya yang tahu. Ia sudah menggenggam wine termahal yang ada di lemari itu, lengkap dengan empat buah gelas.

"Duduk!" ucap Leo dingin. Jelas ia tidak ingin dibantah atau ditolak. Ketiga orang itu pun tanpa sadar mengikuti apa yang Leo inginkan. Bahkan, kaki mereka seperti bergerak sendiri mengikuti keinginan Leo sebelum otak mereka sempat memerintah.

"Bagaimana?"

Joffey belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Leo sudah meliriknya tajam. Tangannya menyerahkan segelas wine yang baru ia tuang, seolah memerintahkannya untuk minum dan diam. Lagi-lagi tubuhnya berkhianat. Tangannya bergerak tanpa disuruh, menerima gelas itu dan mendekatkan ke mulutnya.

"Jadi, apa yang kalian lakukan sampai keponakan kembarku menderita?" tanya Leo dengan nada dinginnya. Bahasa Indonesianya sangat kaku setelah berlasan tahun tidak menginjakkan kaki dan berbicara bahasa ibunya itu.

Dulu, semenjak ia hampir kehilangan nyawa karena keluarga bodoh ini, Leo berjanji tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi ke Indonesia atau berurusan dengan Dimitry Kingdom. Ia bahkan menyerahkan seluruh sahamnya pada Reza, kakak iparnya. Sayangnya, Reza meregang nyawa tak lama setelah orang tua Nathan-Gabriel meninggal. Saham milik Leo dan Reza akhirnya jatuh ke tangan Nathan dan Gabriel yang saat itu masih belum genap berusia 14 tahun. Sejak saat itu, keluarga bodoh ini mulai menguras pikiran, energi dan darah Gabriel, menjadikan tubuh ringkihnya semakin ringkih hingga sekarang.

"Pengacara Kim? Tidak ada yang ingin disampaikan?"

Entah setan apa yang merasukinya, tangannya tiba-tiba mengambil dokumen yang Joffey minta untuk siapkan dan menyerahkannya pada Leo tanpa banyak pikir. Joffey refleks menggeram melihat apa yang Kim lakukan. Sayangnya, ia pun tak dapat melakukan apa-apa.

Leo menerima itu, membacanya sejenak sebelum tertawa terbahak-bahak sambil melemparkan kertas itu ke hadapan mereka.

"Pengalihan nama saham? Kalian pikir semudah itu? Stupid!" Leo mengambil tabletnya di atas meja, kemudian menyerahkan itu pada Joffey.

"See, tidak ada nama Nathan di situ. Kenapa? Karena memang tidak pernah ada nama Nathan sejak dua tahun yang lalu. Itu semua milikku, Leonard! I'm back, to take what's mine!"

Wajah Joffey mendadak memucat. Otaknya mendadak memutar kenangan dua tahun yang lalu, saat Gabriel secara resmi menjadi calon pemegang Dimitry Kingdom. Sejak saat itu, ia selalu melihat nama Nathan di barisan pemegang saham tertinggi. Namun, keponakannya yang satu itu tidak pernah hadir di sana. Ia mengasumsikan Ayahnya lah yang melarang Nathan bergabung. Ternyata Nathan memang tidak pernah memiliki saham Dimitry Kingdom. Namanya hanya pinjaman di sana!

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang