L

2.5K 281 143
                                        


Nathan merapikan kemeja dan jasnya untuk kesekian kalinya. Tangannya mulai dingin, sedingin es. Dia gugup bukan main, meskipun wajah dan postur tubuhnya hampir tidak bisa dibedakan dengan Gabriel, dia tetap saja takut. Ini pertama kalinya dia bertemu orang-orang itu secara langsung. Orang-orang yang terus menghisap tenaga dan pikiran adik kembarnya.

Nathan membaca tulisan Gabriel sekali lagi, memastikan dirinya paham betul dengan apa yang Gabriel tulis. Dalam hati, Nathan geleng-geleng kepala sambil membaca keterangan yang diberikan Gabriel di setiap bagian kertas itu. Dia baru sadar adiknya itu benar-benar jenius. Bahkan jika diberi waktu satu bulan dirinya sendiri tidak yakin bias membuat konsep sematang dan sedetail ini dan adiknya hanya butuh waktu beberapa jam untuk menyelesaikannya, lengkap dengan hitungan matematis dan perkiraan untung-rugi tertinggi dan terendah yang mungkin bisa dialami perusahaan. Tidak salah jika semua orang mengandalkan Gabriel, memuja Gabriel dan melupakannya. Dirinya bahkan tidak ada setengahnya dari Gabriel.

Lakukan yang terbaik Naa, lo pasti bisa!! batin Nathan, menyemangati dirinya sendiri. Matanya sempat bertatapan dengan Max yang berdiri tepat di depan pintu, menatapnya lekat-lekat. Nathan menarik napasnya panjang-panjang, sebelum menganggukkan kepala pada Max dan membiarkan lelaki itu membukakan pintu untuknya.

"Saya tunggu di sini, Pak."

"Ready for your presentation, Prince?" Sambutan dari orang yang berdiri di balik pintu itu membuat Nathan membeku di tempatnya. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya dia mendapatkan sapaan seramah itu, lengkap dengan senyuman yang begitu hangat, juga tatapan yang sarat kebanggaan.

Jangan terbawa perasaan Naa... Mereka anggap lo Gabriel dan itu berarti acting lo berhasil, lanjutkan! Demi lo, demi Gabriel!

Nathan berdiri paling depan, lengkap dengan layar monitor di sampingnya yang hanya menampilkan judul. Setelah menarik napas dalam-dalam, Nathan menyampaikan presentasinya, persis seperti apa yang dituliskan oleh Gabriel di kertas-kertas yang dia pelajari selama ini. Sesekali dia juga memanfaatkan papan tulis di belakangnya dan menuliskan grafik-grafik, persis seperti yang digambarkan Gabriel di kertas tadi. Semua orang memandangnya intens, jenis pandangan yang tidak pernah Nathan dapatkan sebelumnya.

Nathan mengakiri presentasinya dengan sangat baik. Tidak ada satupun pertanyaan yang terlontarkan dari bibir mereka yang biasanya mencibir dan mencercanya habis-habisan. Kali ini tatapan mereka begitu bangga. Seolah itu adalah presentasi terbaik yang pernah mereka dengar.

Memang, Nathan mengakui itu adalah materi terbaik yang pernah dia bawakan. Sangat baru, sangat menggugah minat dan pastinya dirinya yakin proyek ini akan berhasil. Orang-orang yang biasanya hanya bisa mencelanya itu kini berebut menjabat tangannya bahkan memeluknya sebelum mereka pergi, hal yang sudah lama Nathan harapkan. Hingga tinggal satu orang saja yang belum beranjak dari ruangan ini selain dirinya. Orang itu kini tengah berdiri di depannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu bukan Gabriel, 'kan?" Nathan terdiam mendengar pertanyaan lelaki di hadapannya ini. Dia yakin sudah melakukan yang terbaik, bahkan orang-orang memberikannya tepuk tangan dan sorot mata yang begitu bangga persis seperti tatapan mereka pada Gabriel. Tatapan yang selalu ia harapkan.

"Presentasi kamu kaku. Materinya bagus memang, dari Gabriel 'kan? Sayangnya cara kamu membawakan berbeda dengan Gabriel. Gabriel selalu mengaitkan semua presentasi yang dia bawakan dengan kehidupan. Jadi kita semua bisa dengan mudah menyetujui keinginannya tanpa harus menjelaskannya secara menggebu-gebu seperti yang kamu lakukan tadi."

Nathan mengepalkan kedua tangannya yang berada di samping tubuh sambil menatap tajam lawan bicaranya, namun bibirnya menyunggingkan senyuman. Nathan benar-benar emosi kali ini. Dia merasa tengah dibanding-bandingkan dengan Gabriel, lagi.

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang