"Than, lo gak mau turun? Cewek-cewek seksi ini udah nungguin lo nih!" teriak Stevan yang tengah asik menari dengan 3 wanita yang meliuk-liuk indah di depannya. Nathan menatapnya sekilas sambil tersenyum, kemudian pandangannya kembali pada gelas kosong yang sedari tadi dimainkannya. Stevan mendengkus pelan ketika kembali diacuhkan oleh sahabatnya itu. Beberapa menit kemudian, bukan Nathan yang turun bersamanya, justru seorang lelaki bermata hazel dengan senyum yang sangat mempesona.
"Enough man, I miss you..." bisik lelaki itu di telinga Stevan. Stevan tersenyum nakal, kemudian menarik lelaki yang tengah menatapnya penuh cinta itu ke dalam pelukannya.
"Dance with me Darl," bisik Stevan mesra. Begitu keduanya masuk ke dalam sana, tidak ada satu orang pun yang mampu mengusik mereka kecuali mereka benar-benar kelelahan.
Nathan tetap bergeming, memutar-mutar gelasnya yang sudah kembali berisi hampir penuh, mendekatkannya di dekat hidung, mencium aromanya yang begitu kuat sebelum menempelkan tepi gelas itu di bibirnya dan meminumnya perlahan seperti tengah meminum susu.
"Tambah?" tanya bartender di depan Nathan sambil mengacungkan sebotol vodka yang ada di genggamannya. Nathan tak berekspresi, namun dia membiarkan saja bartender itu menuangkan minuman keras itu ke dalam gelasnya. Dipandanginya gelas kecil yang kini sudah terisi kembali itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Perlahan ia meraih gelas itu dan menenggak habis isinya dalam satu tegukan.
"Hai, sendirian aja nih?"
Seorang wanita cantik menghampiri Nathan yang tengah asik menekuri gelas kosongnya. Tanpa aba-aba tangan gadis itu sudah meraba paha Nathan dengan senyuman menggoda. Lagi-lagi Nathan hanya menatap wanita itu tanpa ekspresi, persis seperti tatapannya pada wanita-wanita yang lain. Wanita itu tiba-tiba sudah menempelkan bibirnya dan mencumbu Nathan dengan panas. Semakin panas saat wanita itu menyadari Nathan membalas ciumannya, tangannya bahkan meraba-raba tubuh Nathan dengan agresifnya untuk merangsang Nathan. Namun, tidak ada hal yang terjadi. Ciuman itu hanya sampai di bibirnya, matanya tetap kosong, begitu wanita itu melepaskan ciumannya, Nathan segera merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya pada wanita itu tanpa ekspresi.
Nathan memaki dalam hati. Dia sudah menghabiskan puluhan gelas, namun dirinya tidak juga mabuk. Jangankan mabuk, pikirannya teralihkan pun tidak. Padahal Stevan sekarang mungkin sudah berakhir di kamar hotel dengan Bryan, kekasihnya. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah pukul 4 pagi. Dengan langkah gontai, dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju mobil putih yang setia menemaninya ke mana pun ia pergi.
Begitu sampai di mobilnya, sudut mata Nathan terpaku pada botol-botol plastik bening di atas dashboard dengan puluhan pil di dalamnya, sedikit menoleh ke kiri, ia menemukan tabung oksigen lengkap dengan maskernya. Emosi Nathan kembali meninggi. Dia mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobil itu dengan sangat keras. Tubuhnya bergetar hebat. Tanpa sadar ia berteriak sekencang-kencangnya, berkali-kali hingga dadanya sesak dan napasnya terengah-engah. Air mata merebak di kedua matanya, bahkan sudah mengaliri kedua pipinya. Dengan kasar, ia menghapus air mata itu. Tubuhnya merosot begitu saja di samping mobil. Tangannya menjambak rambut kecoklatannya dengan beringas, sesekali bibirnya berteriak, mencoba menghilangkan sesak di dadanya.
Satu jam kemudian mobil putih Nathan bergerak mendekati sebuah rumah dengan pagar coklat yang terbuat dari kayu berdesain klasik seperti mansion-mansion Eropa. Begitu mobil Nathan mendekat, pagar itu otomatis terbuka. Seorang pria paruh baya menyambutnya di depan pos satpam dengan senyum lebarnya seperti biasa.
"L aman?" tanya Nathan tanpa harus turun dari mobilnya. Pria paruh baya itu mengangguk, namun tatapannya terlihat sedih. Nathan mengerutkan keningnya bingung.
"Semalaman L nungguin di depan." Nathan menghela napas berat. Dia mengangguk sekilas pada satpamnya itu dan kembali melajukan mobilnya di depan pintu rumah, kemudian melemparkan kunci mobilnya pada penjaga yang sudah menunggunya. Ia menata rambutnya yang acak-acakan, mengganti pakaiannya dengan yang baru, menyemprotkan parfum banyak-banyak di tubuhnya dan mengunyah permen beraroma mint untuk menghilangkan aroma alkoholnya. Cukup yakin tampilannya tidak terlalu berantakan, Nathan memutuskan untuk memasuki rumah megah yang sudah 20 tahun ini ia tinggali.
Seorang lelaki dengan wajah sama persis dengan Nathan tengah berdiri 10 langkah di hadapan Nathan sambal menatapnya dengan tatapan tajam dan membunuh, tepat saat Nathan membuka pintu rumah. Tangan lelaki itu terlipat di depan dada. Kantung mata yang menghitam di wajahnya jelas menandakan lelaki itu tidak tidur sama sekali. Nathan lagi-lagi menghela napas berat sambil memejamkan matanya sejenak.
"Ke mana aja?" tanya lelaki itu ketus. Alih-alih menjawab, Nathan justru malah menarik lelaki itu menaiki tangga rumahnya menuju lantai dua, tepatnya ke kamar mereka tapi segera ditepis oleh lelaki itu.
"Kali ini ke mana? Club? Balapan? Judi? Tawuran? Nidurin anak orang?" tanya lelaki itu sarkastis. Nathan hanya memandang wajah yang sama persis dengannya itu dengan tatapan lelah. Dia sudah berniat mendudukkan lelaki di hadapannya itu sebelum tangannya ditepis dengan kasar, bahkan sebuah pukulan keras mendarat mulus di pipi kiri Nathan.
"Lo ke mana aja, brengsek?!" Nathan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kepalanya pusing luarbiasa karena puluhan gelas alcohol yang ia minum dan pukulan keras milik Gabriel tadi, tapi ia tidak ingin menampakkannya pada adiknya itu karena pasti dia akan semakin marah dan panik.
"Gak bisa jawab pertanyaan gue? Mulut lo ke mana? Ilang? Gue nungguin lo semalaman! Gue udah hampir telpon polisi saking takutnya, bisa gak sih lo gak bikin orang khawatir!" teriak lelaki itu marah-marah, dadanya naik-turun tak beraturan. Sepertinya lelaki itu benar-benar marah. Tiba-tiba Nathan menarik saudara kembarnya itu ke dalam pelukannya.
"Maaf L." Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibirnya. Dia tahu adik kembarnya ini sangat mengkhawatirkannya, tangannya menepuk-nepuk punggung adiknya itu pelan, berusaha meredam amarah yang sepertinya sudah sampai di ubun-ubun.
"Dari mana?" tanya Gabriel pelan. Nathan menggigit bibir bawahnya pelan sebelum akhirnya berdeham pelan.
"Club sama Stevan, ada Bryan juga. Ngerayain ulang tahun Bryan." Nathan bisa merasakan tubuh Gabriel menegang. Bahkan tangannya yang melingkar di punggung Nathan terlepas. Dengan kasar, ia melepaskan pelukan Nathan dan menatap saudara kembarnya itu tajam. Namun niatnya untuk memarahi kakaknya itu ia urungkan begitu melihat wajah Nathan yang begitu kusut.
"Jangan sering-sering minum, lo harus jaga kesehatan," kata Gabriel akhirnya. Nathan mengangguk pelan. Kemudian menarik adik semata wayangnya itu ke tempat tidur dan mengajaknya berbaring di tempat tidur, begitu juga dengan Nathan.
"Ngantuk banget, lo juga 'kan? Tidur yuk. Mumpung gak kuliah." Gabriel mengangguk pelan. Ia menarik selimutnya menutupi tubuhnya dan Nathan hingga sebatas dada sebelum akhirnya matanya terpejam, tidak perlu waktu lama bagi keduanya untuk masuk ke dunia mimpi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nathaniel ✔
Teen FictionDia Nathaniel, laki-laki yang akan melakuan apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, laki-laki yang akan berkorban apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, satu-satunya alasan Gabriel ada di dunia ini Apa yang membuat Nathaniel bertahan di dunia ini? Gabriel ...