"Pak, tolong dipikirkan sekali lagi. Bekerja sama dengan Dominic resikonya besar, Pak. Apalagi dia terkenal sebagai pengusaha yang licik, lebih licik dari Paul. Ditambah Pak Joffey yang jadi otaknya, ini bukan kerja sama yang menguntungkan. Selama ini saudara Bapak tidak pernah mau bekerjasama dengan dia karena itu. Tolong, Pak. Pikirkan sekali lagi."
Rasanya, telinga Nathan sudah sanggup untuk mendidihkan air saking panasnya mendengar ucapan sekretarisnya. Sepanjang hari ini, bahkan sejak kemarin, Lulu terus mengatakan hal yang sama, sekeras apa pun Nathan berusaha membungkam wanita cantik itu.
"Lu, diam atau angkat kaki dari perusahaan ini." Lulu awalnya menegang, tapi dia yakin Nathan hanya mengancamnya. Selama ini Lulu selalu berusaha untuk mengundurkan diri, tapi Nathan sendiri yang mencegahnya. Tidak mungkin sekarang Nathan dengan mudah melepas dirinya.
"Saya lebih baik dipecat daripada harus membiarkan Bapak menjalankan rencana itu. Tuan Gabriel juga pasti tidak akan setuju. Dan kalau kakek Bapak tau mengenai ini, bisa bahaya, Pak!"
Nathan berdecak kesal. Dia juga sudah tahu dengan segala resikonya, tapi dia tidak punya pilihan lain. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan pada mereka, dia juga bisa. Nathan bahkan sudah tidak peduli dengan sahamnya yang akan diambil alih oleh Joffey sepenuhnya di rapat pemegang saham depan.
"Karena itu, diamlah dan jangan biarkan siapa pun tau tentang ini, bahkan L sekali pun."
Lulu benar-benar ingin berteriak di depan lelaki ini. Entah bagaimana caranya untuk menghentikan lelaki ini bertindak ceroboh. Memukulnya pun tidak akan bisa membuatnya sadar. Baru saja Lulu ingin membuka mulut, pintu ruangan Nathan diketuk pelan. Lulu dan Nathan kompak menatap pintu itu tanpa ekspresi. Begitu pintu itu dibuka, ekspresi Lulu lah yang lebih dulu berubah.
"Saya permisi dulu, Pak." Lulu menganggukkan kepala pada Nathan, kemudian berbalik sambil menundukkan kepalanya. Begitu tubuhnya berpapasan dengan tamu tuannya, Lulu mengangguk tanpa menatap atau mengatakan apa pun.
"Bagaimana? Sudah pikirkan semuanya?" tanya orang itu tanpa basa-basi. Nathan yang semula diam di tempatnya mulai bergerak ke arah lemari es di sudut ruangan, mengambil minuman yang sengaja ia sediakan di sana.
"Minum?" tawar Nathan sambil mengangkat botol beer itu di tangan kanannya. Begitu melihat lawan bicaranya itu mengangguk, Nathan segera membawa dua buah botol dan duduk tepat di depan lelaki paruh baya itu.
"Oke, setuju."
"Tandan tangani kontrak perjanjian ini, dan kita akan mulai semua besok." Nathan menatap dokumen yang disodorkan padanya, membaca satu per satu kalimat yang ada di sana dengan seksama. Sesekali dahinya mengerut saat menemukan kalimat yang jelas-jelas akan menjadi bumerang untuknya suatu saat nanti, tapi Nathan tidak bisa menolak, dia benar-benar butuh kesepakatan ini.
Nathan meraih bolpen di atas meja, membuka tutupnya sebelum mengarahkan ujung bolpen itu ke atas kertas. Perlahan tapi pasti, tanda tangan Nathan tergambar jelas di atas kertas putih itu, tepat menyentuh materai yang membuat perjanjiannya terikat atas hukum. Sekarang, Nathan sudah benar-benar tidak bisa mundur lagi apa pun yang terjadi.
^^^
Joffey tersenyum penuh kemenangan sambil menatap layar laptopnya yang terhubung dengan kamera pengintai di ruangan Nathan. Ia sendiri yang meletakkan kamera itu di antara tumpukan buku di ruangan Nathan saat keponakannya pergi. Tujuannya hanya satu, mengontrol setiap pergerakan yang Nathan ambil. Dugaannya tepat, Nathan menggigit umpan yang ia berikan. Tidak hanya menggigit, dia menelan bulat-bulat tanpa berpikir panjang. Baguslah, dengan begitu dia akan semakin dekat dengan tujuannya, Gabriel.
"Rudi, ada info dari orang-orang kita yang mengikuti Gabriel?" Rudi, satu-satunya orang yang berdiri di sisi kanan Joffey sempat tersentak mendengar pertanyaan tuannya yang tiba-tiba itu. Dia buru-buru menjernihkan tenggorokannya sebelum menjawab dengan nada pelan.
"hampir sembilan puluh persen tim yang kita tugaskan untuk mengawasi Gabriel ditemukan meninggal tadi malam, sisanya tidak bisa dilacak keberadaannya."
"Apa?! Bagaimana bisa?! Di mana Gabriel sekarang? Apa kita masih bisa menyusup ke sistem informasi mereka?"
"TIdak lagi, seluruh sistem yang terhubung dengan Gabriel, juga dengan perusahaan yang berhubungan dengan Gabriel telah terputus tadi malam. Seluruh peralatan yang kita gunakan untuk menyusup ke sistem mereka juga rusak total. Saat ini kita tidak bisa menghubungi tim peretas. Saya curiga mereka juga bernasib sama seperti orang-orang yang mengikuti Gabriel."
"Sial! Cari tau apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai Gabriel tau kalau kita dalang di balik semua itu. Cari tau juga apa yang sedang direncanakan Gabriel!"
"Baik!"
Tanpa sadar Joffey mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mukanya Sudah merah padam karena marah. Bagaimana bisa orang-orangnya ketahuan bahkan kurang dari 48 jam sejak mereka bekerja? Siapa sebenarnya yang ada di balik Gabriel? Bagaimana bisa keponakannya memiliki kekuatan untuk melakukan semua itu? Joffey benar-benar tidak bisa menebak apa yang tengah terjadi.
Prang!!
"Sial! Sial! Sial!!" teriak Joffey emosi. Dia tanpa sadar membuang seluruh benda yang ada di mejanya, bahkan melemparkan vas bunga di depannya ke dinding.
"Tenang, everything's gonna be perfect!" Joffey mencoba menenangkan dirinya sendiri. Pandangannya tertuju pada layar laptop di lantai yang masih menyala, memperlihatkan Nathan yang tengah asik dengan dunianya.
"Kali ini, pasti berhasil. Pasti!"
^^^
Gabriel memasuki rumahnya dengan gontai. Tubuhnya lelah, terutama dengan tiga meeting dan dua kali presentasi setibanya di negeri Paman Sam ini. Di belakangnya, Max ikut masuk dengan membawa dua koper kecil miliknya dan Gabriel. Ia mendahului Gabriel naik ke lantai dua sementara Gabriel masih melepas lelah di sofa. Mencoba mengumpulkan napasnya untuk bisa menaiki tangga menuju kamar.
Tak butuh waktu lama, Max sudah turun dengan pakaian santai dan wajah yang sedikit lebih segar. Ia segera menuju pantry, membuat segelas teh kesukaan Gabriel juga kopi untuk dirinya sendiri. Dalam hati ia masih terheran melihat sebegitu kerasnya Gabriel bekerja. Dia yang hanya menunggu saja selelah ini, apalagi Gabriel.
"Tehnya, Pak." Gabriel melirik Max, sedikit tersenyum melihat teh itu. Tanpa menunggu lama, ia bangkit, menghirup aroma teh itu sebelum menyesapnya pelan.
"Thank, Max. Ada update dari Nathan?"
"Apa gak sebaiknya istirahat dulu, Pak?" tanya Max ragu. Mendengar pertanyaan itu, sebelah alis Gabriel langsung terangkat.
"Is that even a question?" Max tanpa sadar menggaruk tengkuknya pelan meski tak gatal. Ia tahu tidak bisa menyimpan apa pun dari Gabriel, sekeras apa pun dia coba.
"Max, gue gak minta dua kali, ya." Max tidak punya pilihan lain selain menyerahkan tablet yang tadi ikut ia bawa turun.
Di sana, Gabriel tengah melihat rekaman CCTV ketika Joffey datang menemui Nathan. Ekspresinya masih tak terbaca. Ia beberapa kali mempercepat rekaman itu hingga sampai di rekaman CCTV pertemuan Nathan sore tadi. Wajahnya fokus, sesekali keningnya berkerut sambil menjentikkan tangan beberapa kali. Hingga tinggal satu orang di sana, ekspresi Gabriel mengeras. Wajahnya bahkan sampai merah padam saat melihat rekaman selanjutnya. Tepat ketika Nathan menorehkan pena dari kertas yang diberikan lelaki itu,
Prak!!
Gabriel melemparkan tablet keluaran terbaru itu ke meja kaca di depannya yang langsung pecah berkeping-keping. Ekspresi marahnya terlihat jelas. Buku-buku jarinya sampai memutih saking kuatnya ia menggenggam.
"Joffey bangsat! Gue bunuh lo!" teriak Gabriel geram.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nathaniel ✔
Teen FictionDia Nathaniel, laki-laki yang akan melakuan apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, laki-laki yang akan berkorban apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, satu-satunya alasan Gabriel ada di dunia ini Apa yang membuat Nathaniel bertahan di dunia ini? Gabriel ...