"Pagi, Naa."
Suara merdu itu mengalun begitu saja, melewati telinga Nathan hingga menembus mimpinya. Nathan sejenak menggeliat, mencoba menajamkan telinga untuk mendengarkan suara lembut itu lagi.
"Bangun, Naa. Udaranya lagi enak banget nih. Seger."
Suara itu kembali mengalun, membuat Nathan kembali menggeliat. Perlahan, kelopak matanya terbuka, menatap ke arah jendela kamarnya. Gadis berambut panjang tengah berdiri di tengahnya, menyibakkan tirai dan membuka jendelanya.
Sepoi angin sejuk berebut masuk ke dalam kamarnya, memberikan suasana tenang dan damai yang selalu Nathan dapatkan setiap bangun tidur. Gadis itu kemudian berbalik, tersenyum manis padanya sebelum membelikan kecup hangat padanya.
"Mau sarapan sekarang? Gue cuma bikin sereal sih, lo kan gak pernah mau makan berat kalo pagi."
"Susu anget boleh?" Gadis itu tertawa pelan, memberikan kecup sekali lagi sebelum membuatkan apa yang Nathan minta sementara Nathan berjalan malas ke kamar mandi.
Air dari shower mengalir deras, mengguyur kepala Nathan yang berada tepat di bawahnya. Lelaki itu tidak bergerak sedikit pun. Membiarkan air dingin itu menyadarkannya. Hari ini, satu hari lagi ia lewati dengan baik. Satu hari lagi tanpa adik kembarnya. Penyesalan masih melekat kuat di hatinya. Membuatnya kehilangan seluruh cahaya dalam hidupnya.
"Naa? Are you ok?" Suara gadis itu kembali mengalun.
Gadis itu, andai dia tidak pernah ada dan menariknya dalam gelap, Nathan mungkin tidak akan ada di dunia ini lagi. Dia mungkin sudah mengakhiri nyawanya tepat setelah jantung Gabriel berhenti. Berkat gadis itu yang memeluk, menangis dan berduka untuknya, Nathan bertahan.
Entah sudah berapa kali Nathan berusaha mengakhiri hidupnya. Gadis itu pula yang selalu menemukan dan menariknya dari kematian. Mungkin, itu juga yang membuat gadis itu trauma. Dia selalu ketakutan saat Nathan tiba-tiba diam atau meninggalkannya sendirian untuk waktu yang lama.
"Naa, please. Say something. Are you ok? Are you there? You want me to come?" Gadis itu mulai panik. Menggedor pintu kamar mandi sambil berusaha membuka dari luar. Tidak bisa, Nathan menguncinya dari dalam. Tubuh kekar Nathan perlahan meluruh, bersama dengan air yang sudah berwarna merah gelap. Perlahan Nathan kehilangan kendali atas tangannya, begitu juga dengan kakinya.
"Maaf, Melody. Gue gak bisa hidup lebih lama lagi tanpa Gabriel."
Nathan memejamkan matanya, menikmati setiap rasa sakit yang tubuh itu rasakan sambil mengenang keceriaannya dengan Gabriel. Perlahan, bibir Nathan tertarik, membentuk senyuman.
"Naa, please. Jangan ngelakuin hal bodoh, Naa!" Melody terus menggedor pintu kamar mandi itu. Sayangnya, energinya tidak cukup kuat untuk mendobrak pintu yang didesain dari kayu jati itu.
"Minggir."
Melody membeku. Tubuhnya refleks menyingkir sesuai perintah dari orang di belakangnya. Ia bahkan membiarkan lelaki itu mencoba mendobrak pintu. Pandangannya tak lepas dari wajah lelaki itu. Matanya tidak mungkin menipunya. Matanya tidak pernah berbohong padanya.
"Naa!"
Pintu jati itu sukses terbuka. Tubuh Nathan sudah meringkuk di bawah guyuran shower. Pergelangan tangannya yang penuh sayatan masih mengeluarkan darah segar. Lelaki itu langsung melepaskan ikat pinggang yang ia pakai, mencoba menghentikan darah sambil terus meneriakkan nama Nathan.
"Buka mata lo, bego!" Nathan bergeming. Ia masih bisa mendengar suara air, tapi bagaimana bisa suara Gabriel terngiang di kepalanya.
"Naa, please. Buka mata lo. Gue di sini!" Nathan membuka matanya, menatap lelaki yang tengah memeluknya sambil menangis. Pandangannya mengabur, mungkin karena banyaknya darah yang ia keluarkan tadi.
"L?"
"Iya, gue di sini. Please, bertahan. Kita ke rumah sakit sekarang. Jangan tinggalin gue!" Nathan masih menatapnya kebingungan. Keningnya bertaut dalam, mencoba memisahkan angan dan kenyataan.
"L? Gabriel? Ini beneran lo?"
Tangan Nathan berusaha meraih wajah lelaki yang tengah memeluknya itu, sayangnya, tangan itu terlanjur mati rasa. Ia merasa tubuhnya diangkat dari posisinya sekarang dan dinaikkan di punggung lelaki yang tadi memeluknya. Lewat punggung itu, ia bisa merasakan detak jantungnya menyatu dengan detak jantung lelaki yang menggendongnya.
"L, kalo ini cuma khayalan gue sebelum ketemu lo, gue bersyukur banget. Itu artinya lo sendiri yang jemput gue, kan? Maaf gue gak bisa selametin lo waktu itu."
"Diem, Bangsat!"
"Love you, L. Always and forever."
^^^
Putih. Itu yang pertama kali Nathan lihat ketika membuka mata. Langit-langit dengan garis membosankan dan bau obat-obatan membuat Nathan kembali mengerang pelan. Lagi-lagi ia gagal mengakhiri hidupnya. Nathan kembali memejamkan mata, menikmati kesendiriannya.
"Berapa kali lo coba buat bunuh diri?" Nathan kembali membuka mata, kali ini sangat cepat hingga membuat bola matanya sakit. Tubuhnya membeku selama beberapa detik, mencoba menggabungkan setiap pecahan ingatan sebelum ia tiba di tempat ini.
"Lo bego, ya?" Lelaki itu mendudukkan diri di kursi samping ranjangnya. Nathan seketika bangkit, mengabaikan pening dan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Lo?" Nathan tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Otaknya bahkan seperti tidak bekerja sekarang ini.
"Gue berusaha hidup selama dua tahun ini buat lo, dan ini yang gue dapet pas gue balik? Lo yang berusaha mati? Lo bener-bener bego, ya?"
Nathan masih membeku. Tatapannya menatap lurus pada wajah yang begitu mirip dengannya itu. Tubuh itu begitu kurus, tapi juga terlihat kuat, tidak seperti saat terakhir ia melihatnya. Wajahnya berseri, tidak ada lagi rona pucat di wajahnya. Dan yang paling penting, lelaki itu hidup, jantungnya berdetak, dia bernapas seperti dirinya.
"I'm back, brother."
"Welcome home, lil bro."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nathaniel ✔
Teen FictionDia Nathaniel, laki-laki yang akan melakuan apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, laki-laki yang akan berkorban apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, satu-satunya alasan Gabriel ada di dunia ini Apa yang membuat Nathaniel bertahan di dunia ini? Gabriel ...