C

2.7K 292 40
                                    


"Kalian apa-apaan, sih?"

Dua orang lawan jenis yang tengah bersitegang itu refleks memutar tubuh. Dilihatnya sepasang mata lelah itu tengah menatap mereka berdua tajam. Nathan pun hanya bisa menghela napas sambil mengusap wajahnya kasar. Padahal sedari tadi dia sudah berusaha mengontrol diri untuk tidak naik darah, tapi segala sesuatu yang berhubungan dengan pemilik mata lelah itu entah mengapa mampu menaikkan darahnya dengan mudah.

"Kalian ada apa lagi? Melody kenapa nangis?"

Melody memegang pipinya, benar, kedua pipinya entah sejak kapan basah karena air mata. Melody tidak habis pikir, bagaimana bisa lelaki sedingin es yang duduk di sampingnya ini dengan mudah membuat air matanya keluar dari singgasana.

"Gue gak apa-apa kok L, makasi udah mau nganterin gue sampe sini. Gue jalan kaki aja," kata Melody getir. Tangannya yang bergetar hebat itu sibuk mencoba membuka pintu yang ternyata masih terkunci. Begitu pintu berhasil dibuka, Melody keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Gabriel menatap saudara kembarnya dengan tatapan yang begitu lelah. Lelaki yang lebih muda 20 menit dari Nathan itu segera mengejar Melody yang sudah berjalan menjauh.

"Melody, maafin Nathan, ya? Lo kan tau sendiri dia emang kayak es gitu sifatnya. Jangan diambil hati, ya?" pinta Gabriel yang berhasil menyamai langkah Melody. Melody berhenti, matanya mengunci mata hazel yang tengah menatapnya lekat-lekat. Setengah hatinya berharap Nathan yang tengah berdiri di hadapannya dan meminta maaf semanis ini, tapi harapannya sepertinya terlalu tinggi ketika dilihatnya Nathan bahkan tidak mengejarnya sama sekali.

"Balik ke mobil lagi yuk, kan masih jauh. Lagian bisa dimarahin tante Melisa nih kalo gue sama Nathan nurunin Melody di tengah jalan. Mau, ya?" pinta Gabriel dengan wajah memelas. Melody tersenyum samar sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Dengan wajah penuh senyuman, Gabriel menggandeng wanita yang sudah seperti kakaknya sendiri itu kembali ke dalam mobil. Sebelum membukakan pintu dan mempersilakan Melody masuk, Gabriel lebih dulu meminta Nathan untuk pindah ke belakang.

"Gue aja yang bawa mobil. Kayaknya lo masih mabuk deh, emosi lo gak jelas," tutur Gabriel yang hanya dihadiahi senyuman tipis oleh Nathan. Tanpa banyak bicara, Nathan keluar dari kursi kemudi dan memposisikan diri senyaman mungkin di kursi belakang. Ia tampak membuang muka saat Melody terang-terangan menatapnya ketika wanita itu masuk ke dalam mobil.

"Maaf Than, gak seharusnya gue ikut campur masalah lo," kata Melody pelan. Gabriel hanya menghela napas berat dan terbatuk ringan sedang Nathan justru tidak bereaksi sama sekali.

***

"L dingin, naikin AC nya." Gabriel mengerutkan keningnya bingung. Pasalnya sedari tadi dia tidak menurunkan suhu ACnya sama sekali. Gabriel buru-buru menepikan mobil yang tengah ia kendarai dan membalikkan badannya dengan kasar, matanya menatap saudara kembarnya lekat-lekat. Keringat dingin sudah membasahi wajah kakaknya itu. Dia bahkan bisa melihat tubuh Nathan yang bergetar, seperti menggigil. Jantungnya berdetak kencang, darahnya berdesir, buru-buru Gabriel membuka pintu belakang, memeriksa kondisi Nathan.

"Ya Tuhan Naa, lo demam tinggi. Kita ke rumah sakit, ya?" Nathan membuka matanya pelan, kemudian menggeleng lemah. Gabriel makin tidak tega melihat saudara kembarnya itu. Matanya terlihat begitu sayu dengan wajah pucat luar biasa, padahal sekitar satu jam yang lalu Nathan baik-baik saja. Gabriel menggigit bibir bawahnya, panik. Buru-buru ia mengeluarkan plaster kompres demam dari kotak P3K yang selalu mereka sediakan di mobil.

"Minum obat dulu Naa," kata Gabriel sambil membantu kakaknya itu duduk bersandar. Nathan menurut. Dia bisa melihat tangan Gabriel bergetar, mungkin takut, mungkin juga panik. Dari bahunya yang bergerak naik-turun tak beraturan, Nathan sangat yakin Gabriel ketakutan sekarang. Nathan tersenyum samar, mencoba menenangkan adiknya itu.

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang