H

2.6K 256 25
                                        


Nathan menggeliat pelan dari balik selimut sambil mengerang kesal. Dirinya masih mengantuk, sangat, tapi entah siapa yang dengan tega membangunkannya dengan tepukan halus di lengannya ini. Mau tak mau Nathan membuka mata juga, bersiap meneriaki orang yang berani mengganggu tidurnya.

"Morning sleeping handsome," sapa orang dengan wajah sama persis dengan Nathan itu sambil tersenyum lebar. Niatnya untuk memarahi siapa pun yang mengganggu tidurnya pun kandas, digantikan rasa khawatir yang berlebihan karena adiknya itu sekarang sudah rapi dengan setelan mahal yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Mau ke mana?"

"Kerja." Jawaban santai milik Gabriel sukses membuat Nathan melupakan kantuknya. Dia bahkan bisa melompat dengan sangat gesit dari tempat tidurnya dan berdiri di depan adiknya, mencari segala yang mungkin terlewat oleh matanya. Perlahan tangan Nathan terjulur, menyentuh pipi dan dahi Gabriel.

"Yakin? Lo baru sadar kemarin, L. Ini bahkan masih demam dan gue yakin ini masih lebih dari 38 derajat. Jalan lo aja masih sempoyongan gitu. Siapa yang berani cabut infus lo?!"

Mendengar kata-kata kakaknya itu, Gabriel justru terkekeh pelan. Senang bisa merasakan perhatian kakaknya lagi, tapi sayangnya perhatian itu datang di waktu yang tidak tepat karena pagi ini dia harus bertemu dengan dewan direksi, juga Opanya.

"Sam sendiri. Gue gak punya pilihan, Opa udah nungguin." Nathan tidak bisa mengatakan apa pun lagi. Kenyataan bahwa Opa hanya menunggu Gabriel selalu menampar hatinya telak. Dia iri!

"Gue pergi dulu. Susunya jangan lupa diminum," kata Gabriel sebelum mengambil obat yang Sam sediakan dan menelannya dengan bantuan air. Nathan menggeram marah pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia masih sempat iri sedangkan adiknya berjuang sekeras itu untuk perusahaan dan seluruh isinya.

"Take care, L. Kabari kalo ada apa-apa."

Gabriel tersenyum tipis saat keluar dari kamar Nathan, dia ingin tinggal lebih lama sebenarnya, tapi dia tidak bisa. Tidak pernah bisa. Terutama jika keputusannya akan berpengaruh pada jutaan pekerja di perusahaannya. Seluruh langkahnya selalu menjadi kunci dari kehidupan mereka semua.

Belum sempat Gabriel melangkah lebih jauh dari pintu ruang rawat yang baru saja dia tutup, tubuhnya mendadak oleng ke samping dan hampir membentur tembok jika tidak ada tangan yang meraih dan memegangi tubuhnya sekarang. Gabriel menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan dirinya untuk tidak mengerang kesakitan, kepalanya yang sejak tadi berdenyut menyakitkan kini semakin menyakitkan, lengkap dengan napasnya yang tersengal, dia seolah tercekik. Dadanya perlahan memanas, seolah tidak ada pasokan oksigen di dalamnya. Dia terbatuk pelan, berkali-kali, membuat kepalanya semakin berdenyut saja.

"L, bisa denger suara gue?" Gabriel memejamkan matanya erat-erat, mencoba meredam rasa sakit di kepalanya sambil menajamkan pendengaran, memastikan bukan Nathan yang tengah memegangnya sekarang dan sepertinya Gabriel bisa mengenali suara itu karena setelahnya Gabriel tersenyum lemah sambil mengacungkan ibu jarinya.

"Bisa bantu ke mobil? Max nungguin di sana," pinta Gabriel masih dengan mata terpejam dan dahi mengkerut dalam, menahan sakit. Lelaki yang tengah memegang Gabriel itu seketika mengumpat pelan, tetapi ia tetap membantu Gabriel berjalan perlahan hingga sampai lift khusus.

"Thanks," kata Gabriel saat dia mulai merasakan reaksi obat yang tadi sempat ia minum sebelum keluar dari ruang rawat. Gabriel bahkan sudah bisa membuka matanya dan tersenyum lebar melihat siapa yang berdiri di depannya dengan tatapan khawatirnya yang berlebihan.

"Lo yakin? Kita bisa cari alasan selogis mungkin buat mereka biar lo bisa istirahat lebih lama," saran Sam yang hanya dibalas gelengan pelan sambil tersenyum tipis.

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang