"L!" teriak Nathan begitu dia memasuki rumah yang sudah berhari-hari tak ia injak. Seorang pelayan berlari kecil mendengar teriakan Nathan, dengan kepala menunduk ia membiarkan Nathan mengenali wajah dan namanya sebelum kembali menunduk.
"L mana?" tanya Nathan panik. Salah satu pelayan yang menunduk dalam-dalam itu mendongak pelan, memberikan isyarat pada Nathan bahwa dia yang akan menjawab, setelah mendapatkan perhatian Nathan pelayan itu kembali menunduk.
"Ada di kamar Nathan. Dokter Samuel sedang memeriksanya," kata Pelayan itu. Bibirnya sedikit bergetar saat menyebut Nathan langsung menggunakan nama, peraturan aneh yang ada di rumah ini selain harus memberikan isyarat dan mengenalkan diri saat akan berbicara.
"Dia udah makan?" tanya Nathan lagi, kali ini sambil melangkah menuju kamarnya. Pelayan dengan name tag bertuliskan Lucinda itu bergerak pelan mengikuti Nathan di belakangnya, tetapi tidak terlalu jauh agar Nathan masih bisa mendengarkan suaranya.
"Clark sedang membuatkan bubur dan susu." Nathan menghentikan langkahnya dan berbalik, menatap Lucinda.
"Temui Clark, tunggu bubur dan susunya. Kalo udah siap, langsung anter ke kamar." Lucinda mengangguk patuh, setelah mengucapkan kata permisi Lucinda segera pergi ke dapur untuk melaksanakan perintah Nathan.
Nathan berdiri tepat di depan pintu kamarnya yang tertutup, sejenak menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pintu kamarnya pelan. Dokter Samuel yang sedang memeriksa Gabriel langsung tersenyum ramah saat melihat Nathan masuk. Nathan membalas senyuman itu dengan senyuman tipis. Tubuhnya mendadak lemas tak bertulang saat melihat tubuh adiknya yang entah bagaimana terlihat lebih kurus hanya dalam satu minggu. Tidak lupa dengan wajah yang sangat pucat dengan mata menghitam.
"Dia belum sadar?" tanya Nathan yang dibalas gelengan pelan oleh Samuel. Dokter muda itu menaikkan sebelah alisnya melihat keanehan dari raut wajah Nathan. Tanpa permisi dia menarik pergelangan tangan Nathan sambil melirik jam tangannya. Tangan yang tidak menggenggam tangan Nathan itu kemudian membuka baju Nathan dengan paksa.
"Apa-apaan ini? Rusuk lo patah dan paru-paru lo luka?" Nathan hanya memutar matanya, percuma berbohong pada dokter satu ini. Bahkan tanpa melakukan pemeriksaan khusus dokter muda ini bisa mengetahui masalah kesehatannya. Genius!
"Kenapa? Lo adu tinju lagi? Gue tebak pasti gara-gara berita itu?"
"Berasa konyol banget kalo lo yang ngomong."
"Emang, konyol banget lo! Dan ini alasan lo ninggalin L?" Lagi-lagi tepat sasaran, membuat Nathan hampir berpikir untuk kabur dari tempat itu lagi. Sayangnya kakinya tidak mau bergerak sedikit pun. Dia benar-benar merasa bersalah pada kembarannya yang sedang terbaring lemah di tempat tidur itu.
"Berapa lama lo ninggalin dia?" tanya Samuel lagi, kali ini dengan nada yang serius bertanya, bukan menghakimi.
"Seminggu."
"Pantes L sampe kayak gini. Coba lebih lama. 10 hari mungkin, dan lo bakal nemuin adek lo di pemakaman, bukan di kamar kayak gini." Samuel sudah tidak berminat lagi memperpanjang kalimatnya. Dia kembali fokus pada pasiennya yang belum juga menunjukkan tanda-tanda membaik.
"Sorry."
"Gak guna, Than. Kenapa minta maaf sama gue? Minta maaf sama L tuh. Dia yang menderita." Nathan hanya bisa mengangguk. Dia selalu kehabisan kata-kata di depan orang-orang genius seperti Gabriel dan Samuel ini.
"Lo ada obat yang harus diminum, kan? Jangan nambahin kerjaan gue." Nathan melirik jam tangannya. Sudah lebih dari waktunya minum obat, tapi dia tidak merasakan sakit sama sekali. Nathan berniat menganggukkan kepalanya sebelum dokter muda di depannya itu merebut tas yang dia bawa, mengambil sesuatu dari dalamnya dan memberikannya pada Nathan, lengkap dengan air minum.
"Kalo gak bias ngurus kembaran lo, minimal urus diri lo sendiri, jangan nyusahin." Nathan menghela napas berat, tapi tangannya tetap menerima obat pemberian Samuel tanpa mengatakan apa pun. Lidah Samuel selalu tajam seperti biasa, tapi entah bagaimana selalu tepat sasaran, membuat Nathan tidak bisa mengelak sedikit pun.
"Than, tabung oksigen masih ada isinya, 'kan?" tanya Samuel tiba-tiba, nada bicaranya berubah panik. Beberapa detik kemudian Nathan mengerti kenapa Samuel menanyakan itu. Kondisi Gabriel mendadak menurun. Dia terlihat tidak bisa bernapas dengan baik, bahkan sampai membuka mulutnya dan mencengkeram selimut erat, padahal dalam kondisi tidak sadar.
Tanpa banyak bertanya, Nathan mengambil remote control yang sekilas mirip remote AC itu dan mengarahkannya pada almarinya. Detik kemudian pintu paling kiri dari 5 buah pintu almarinya terbuka dan tabung oksigen berukuran besar keluar secara otomatis. Samuel buru-buru memeriksa sisa oksigen dalam tabung itu dan memasangkannya pada Gabriel.
"Sam, kita bawa ke rumah sakit!" Nathan panik.
"Gue udah panggil ambulance, bentar lagi pasti mereka dateng."
"Dia baik-baik aja, 'kan?"
"Dia gak akan mati kalo itu yang lo takutin."
***
Nathan benci rumah sakit. Entah sudah berapa kali dia mengatakan itu. Sialnya, tempat itu justru sangat sering ia datangi, terlebih akhir-akhir ini. Tidak banyak rumah sakit yang bisa ia dan Gabriel datangi dan hanya milik Bryan. Dia dan Gabriel tidak mungkin ke rumah sakitnya sendiri. Orang-orang akan tahu selemah apa mereka, dan itu akan membuat mereka lebih mudah diserang.
Nathan sudah berkali-kali berdiri di depan ruang rawat Gabriel lebih dari satu jam, tapi Sam masih belum juga keluar dari ruangan itu dan Bryan melarangnya masuk. Hanya ia dan Stevan yang duduk di luar, sekaligus berjaga.
"Than, duduk. Ada yang mau gue omongin sama lo."
"Apaan? Ada yang lebih penting dari Gabriel sekarang?"
"Joffey nyamperin Bryan lagi hari ini, berusaha bikin Bryan berubah pikiran dan mau kerjasama sama mereka. Mereka nawarin keuntungan yang lumayan."
"Bidang apa?"
"Gue gak bisa bilang." Nathan melirik Stevan singkat, kemudian tertawa miring. Jawabannya tidak pernah berubah sejak awal mereka kenal. Nathan tidak akan pernah tahu apa pun dari kedua temannya itu. Yang ia tahu, keduanya setia pada Gabriel lebih dari apa pun.
"Bryan gak akan nusuk L dari belakang, lo juga."
"Urusan duit beda lagi, man. Semua harus diitung untung-ruginya."
"Gue gak tau apa yang kalian rencanain sebenernya, kayaknya kalian juga gak ada rencana ngobrolin itu sama gue. Kenapa? Karena gue gak seberharga itu?"
"Stop! Lo tau pasti kenapa kita semua ngelakuin ini, buat lo!"
"Bullshit! Kalo semua ini buat gue, harusnya gue dilibatkan, harusnya gue pengambil keputusan utamanya. Nyatanya kalian belum percaya gue bisa ambil keputusan tepat, 'kan? Kalian sama aja kayak orang-orang itu."
Stevan tanpa sadar menghela napas panjang. Mulutnya sudah terbuka, hendak menanggapi emosi Nathan. Sayangnya, pintu ruang rawat Gabriel lebih dulu di buka. Sam dan Bryan keluar dari ruangan itu dengan wajah lelah.
"Masuk, dia nyariin lo."
"Dia udah sadar?!"
Nathan segera bangkit, lupa dengan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun. Sementara Stevan hanya bisa menatap Bryan dan Sam sambal menggeleng pelan, mission failed.
"L, apa yang lo rasain? Butuh sesuatu?" tanya Nathan panik saat melihat Gabriel berusaha bangun dari tidurnya. Gabriel seketika diam. Tatapannya mengarah lekat-lekat pada Nathan, beberapa detik kemudian dia tersenyum meskipun tertutup masker oksigen.
"Lo pulang," kata Gabriel pelan. Perasaan bersalah langsung menyusupi hati Nathan. Andaikan dia tidak meninggalkan Gabriel sendirian, mungkin adiknya tidak akan seperti ini.
"Maafin gue, ya?" Gabriel lagi-lagi tersenyum. Dia menyuruh kakaknya itu untuk naik ke tempat tidurnya, Nathan menurut. Ia bahkan mengangkat kepala Gabriel pelan dan membaringkannya lagi di lengannya, hal yang paling Gabriel sukai.
"Dingin, peluk." Nathan langsung menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Gabriel kemudian memeluk adiknya itu dari samping. Nathan bisa melihat Gabriel tersenyum dengan matanya yang masih terpejam, wajahnya terlihat damai. Entah apa yang ada di pikiran Gabriel tapi Nathan yakin adiknya itu senang melihatnya, seperti dirinya yang lega melihat Gabriel membuka mata.
"Cepet sembuh, king."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nathaniel ✔
Teen FictionDia Nathaniel, laki-laki yang akan melakuan apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, laki-laki yang akan berkorban apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, satu-satunya alasan Gabriel ada di dunia ini Apa yang membuat Nathaniel bertahan di dunia ini? Gabriel ...