V

439 35 2
                                        

"Pak, seluruh orang kita di markas pusat dilaporkan menghilang satu jam yang lalu."

Ucapan Rudi menggema di ruang kerja Joffey, membuat pemilik ruangan yang tadinya menikmati segelas wine sambil menatp ke luar jendela itu membeku sejenak. Ia mengerutkan keningnya. Sejam yang lalu? Ia masih berhubungan dengan pemimpin di markas besar. Bagaimana bisa?

Rudi mengerti kebingungan atasannya. Ia segera menunjukkan video CCTV di mana orang-orang itu terakhir terlihat, juga komunikasi terakhir yang mereka jalin. Joffey tak lagi bisa menyembunyikan amarahnya. Gelas wine yang tadi sempat ia mainkan di tangan kini sudah mendarat kasar di lantai setelah menabrak dinding. Pun dengan barang-barang di meja kerjanya.

"Sampai sekarang kalian belum bisa melacak mereka?" tanya Joffey geram. Tak mungkin sesulit itu mencari hampir seratus orang. Pasti ada satu atau dua orang yang bisa mereka temukan. Atau paling tidak ada jejak yang bisa mereka lacak.

Rudi hampir menggeleng, menjawab pertanyaan Joffey, sebelum sebuah gambar masuk ke ponselnya. Rudi buru-buru membukanya. Sedetik, ia terkesiap melihat apa yang ada di layarnya itu.

"Pak, orang-orang kita..." Rudi tak sempat melanjutkan kalimatnya. Joffey sudah merebut ponsel itu sebelum Rudi sempat menyerahkan gambar-gambar yang baru saja ia terima.

Darah Joffey semakin mendidih melihat puluhan mayat bertumpuk-tumpuk dalam satu ruangan. Sepertinya orang-orang itu membiarkan wajah mereka tak terluka agar ia bisa dengan mudah mengenalinya. Tanpa sadar Joffey mengepalkan tangannya erat-erat. Hanya ada satu orang di dunia yang bisa melakukan semua ini.

"Pak, kabar buruk!" teriak Andi, salah satu orang kepercayaannya yang ia beri tugas untuk memonitoring pergerakan baik kolega maupun musuknya.

"Apa lagi?!" teriak Joffey geram.

"Seluruh saham yang dipegang oleh orang-orang kita di NY dan UK secara legal menjadi milik keluarga Sander.  Dengan begitu, menjadikan Stevan Sander pemilik saham terbesar."

Shit!

Tepat seperti dugaan Joffey. Memang hanya ada satu orang yang sekeji itu, keluarga Sander yang saat ini dipimpin oleh Stevan Sander. Dia tidak akan bisa mempengaruhi pimpinan mafia itu untuk berada di pihaknya. Sejak awal, Stevan Sander selalu berada di pihak Gabriel. Dia pikir menggunakan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi pemegang saham akan memudahkannya untuk menguasai Dimitry Kingdom. Sialnya dia lupa, Dimity Kingdom dimiliki oleh orang jenius yang bahkan tidak bisa sedikitpun ia sentuh.

Ah! Benar!

Joffey hampir melupakan keponakannya yang satu lagi. Keponakan bodohnya yang bisa dengan begitu mudahnya ia hasut. Joffey tersenyum tipis. Setidaknya ada yang bisa melegakan hatinya dan menyelamatkan hidupnya.

"Lupakan saham-saham itu. Di mana Nathan sekarang?"

"Sepertinya masih ada di Beverly Corp. Dia tidak pergi ke mana pun seharian ini. Satu lagi, Dominic terpantau meninggalkan bandara sekitar dua puluh menit yang lalu."

"Ke mana?"

"Dari data imigrasi, dia dan keluarganya terbang ke NYC."

"Dan di mana Gabriel sekarang?"

"Sejak tiga hari yang lalu beliau ada di NYC bersama Max."

Shit!

Dominic jelas sudah masuk ke dalam perangkap Gabriel. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Dalam hitungan jam, pasti akan ada kabar duka dari pebisnis kotor itu. Joffey tidak perlu menghabiskan waktunya untuk menyelamatkannya. Sekarang yang terpenting adalah membuat Nathan memindah namakan seluruh sahamnya.

"Panggil pengacara Kim, kita ke Beverly Corp sekarang!"

^^^

"Naa."

Suara lembut dan merdu itu mengalun begitu saja, memasuki indera pendengaran Nathan, membuatnya yang sejak pagi sibuk berkutat dengan dokumen dan bisnis-bisnisnya perlahan mendongak. Beberapa kali ia mengerjapkan mata, seperti tidak percaya dengan pandangannya.

Di ambang pintu, seorang perempuan dan pakaian sederhana dan rambut yang digerai lurus itu tersenyum lebar ke arahnya. Tangannya terentang saat melihat Nathan mendongakkan kepalanya, seolah meminta Nathan untuk datang dan memeluknya.

Nathan tentu saja balas tersenyum lebar. Tanpa pikir panjang, ia meninggalkan mejanya yang penuh dokumen dan berlari memeluk perempuan yang memang sudah lama ia rindukan itu. Pelukannya semakin erat saat perempuan dalam pelukannya itu membalas erat pelukannya.

"Miss you so much, Aunty." Perempuan itu tertawa pelan mendengar kalimat manja yang keluar begitu saja dari Nathan. Dalam benaknya, Nathan memang selalu menjadi anak berusia delapan tahun yang menangis tersedu-sedu ketika ia tinggalkan di bandara.

"Miss you too, Naa. Always." Nathan tanpa sadar menangis dalam pelukan perempuan itu. Tidak hanya merindukannya, Nathan lebih merindukan pelukan hangatnya. Sudah sangat lama ia tidak merasakan pelukan hangat seperti ini, pelukan seorang ibu.

"Aunty kenapa ada di sini?" tanya Nathan begitu sadar. Perempuan itu tidak seharusnya ada di Indonesia, apa pun alasannya.

"I'm coming home, Naa. Aunty capek sembunyi. Udah saatnya kami pulang. Kalian butuh kami. Iya, kan?" Nathan tidak mengiyakan atau membantah kalimat itu. Entahlah, melihat Ficha ada di hadapannya membuatnya bingung. Setengah hatinya berharap, setengahnya lagi takut.

"Udah-udah. Aunty laper, nih. Pas banget masuk jam makan siang. Naa gak mau ajak Aunty makan dulu? Kangen makan nasi padang, nih." Nathan tersenyum lebar. Seketika melupakan masalah yang berkecamuk di pikirannya. Ia segera meraih jas dan kunci mobilnya dan menggandeng Ficha keluar ruangan.

"Yuk, kita ke rumah makan Padang biasanya. Rasanya gak pernah berubah, kok. Aunty tenang aja!" Ficha tertawa renyah mendengar kalimat Nathan. Dalam hati berharap Gabriel akan segera seceria Nathan lagi. Karena itulah ia kembali, karena ia harus menyelamatkan Gabriel.

^^^

Mobil Joffey berhenti tepat di depan Beverly Corp, bersamaan dengan satu mobil lagi yang berhenti tepat di belakang mobilnya. Dari kursi kemudi, seorang pengacara bernama Kim keluar dan tersenyum tipis pada Joffey. Ia sudah sepuluh tahun ini dipercaya sebagai kepala pengacara pribadi Joffey. Ia sempat mendengar dari Rudi sekila alasan kenapa ia dipanggil, karena itu ia buru-buru datang, melupakan beberapa client nya yang menunggu di firma hukumnya.

"Ayo, saya mau ini segera selesai." Pengacara Kim mengangguk. Meski berdarah Korea asli, pengacara Kim cukup fasih berbahasa Indonesia, mengingat sebagian besar client nya adalah pengusaha di Indonesia.

Beriringan dengan Rudi, pengacara Kim berjalan tepat di belakang Joffey yang sudah melangkah lebih dulu dengan terburu-buru. Ia bahkan mengabaikan beberapa kepala bagian yang menyapanya dengan sopan ketika melintas.

"Lulu, Nathan ada di dalam, kan? Jangan biarkan siapa pun masuk sebelum saya keluar ruangan." Lulu baru akan membuka mulut, tapi Joffey sudah lebih dulu beranjak pergi dan membuka pintu ruang kerja Nathan.

Seketika, tubuh Joffey membeku di depan pintu. Kakinya tak lagi mau menuruti otaknya untuk melangkah. Bahkan, tangannya masih berada di udara. Seorang lelaki duduk samping menautkan kedua tangannya di depan wajahnya, membuat Joffey hampir tidak bisa melihat wajah yang tengah menunduk itu. Namun, aura yang ia pancarkan jelas tidak salah lagi. Matanya semakin melebar melihat lelaki yang tengah duduk di balik meja kerja itu menurunkan tangannya dan menyunggingkan senyum di bibir kirinya tipis.

"Hai, brother," sapa lelaki itu dengan suara rendah yang anehnya sanggup membuat Joffey terkesiap dan tubuhnya bergetar.

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang