P

355 45 4
                                    

Layar televisi di ruang rawat VVIP itu akhirnya menyala, menampilkan berita yang sama yang beberapa menit yang lalu disaksikan Nathan di ruang kerjanya. Gabriel menyaksikan berita itu tanpa ekspresi, ritme napasnya teratur, meski masih menggunakan nasal sebagai alat bantu pernapasannya. Di sampingnya, Sam menatapnya sambil tersenyum puas. Kerja Stevan dan Bryan selalu sebersih itu. Seluruh alibi yang mereka buat sangat kuat, tak terbantahkan.

"Gak sabar liat reaksi Nathan." Gabriel menatap Sam yang tengah tersenyum padanya. Sayangnya, Gabriel tidak bisa menarik sedikit saja senyuman di bibirnya. Ia tahu persis seperti apa Nathan. Ia sudah bisa membayangkan apa yang Nathan katakan saat melihat berita itu.

"Kenapa?" tanya Sam keheranan melihat ekspresi Gabriel. Pertanyaan itu hanya dibalas gelengan pelan.

"Jam berapa Stevan sama Bryan mau ke sini?" Gabriel justru mengalihkan pertanyaan, membuat Sam semakin mengerutkan keningnya. Ada yang aneh, tapi ia tidak bisa bertanya lebih lanjut. Sam melirik jam yang melingkar di tangannya.

"Harusnya gak lama lagi, mereka berdua bilang langsung jalan." Gabriel kembali menatap layar televisi tanpa minat. Ia sudah menghubungi Max, meminta sekertarisnya itu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan dan segera menemuinya setelah semua beres.

Brak!!

Pintu ruang rawat itu dibuka dengan kasar. Gabriel bahkan tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang membukanya. Lewat gerakan kepalanya, ia meminta Sam pergi, sementara dirinya mengerahkan seluruh tenaganya untuk bangkit berdiri. Sam dan Nathan sempat saling lirik, tapi tidak ada yang mengatakan apa pun. Sam lebih memilih untuk pergi dan menunggu di luar, terutama setelah melihat raut marah Nathan.

"Maksud lo apa, hah?!" Gabriel sama sekali tidak berekspresi saat tangan Nathan menarik kerah kemejanya dengan kasar, membuat tubuhnya yang masih sangat lemas itu oleng.

"Siapa bilang, gue butuh bantuan lo. Enggak! Gue gak butuh lo, atau temen-temen lo buat beresin masalah gue! Stop ikut campur dan bikin gue makin dipandang rendah orang!" teriak Nathan nyaring. Meski begitu, Nathan hanya menarik kerah Gabriel, tidak sampai melayangkan pukulan atau menyakiti saudara kembarnya meski ia sangat bisa melakukannya.

"Atau sebenernya lo sengaja ngelakuin itu? Seneng liat mereka ngerendahin gue dan muja-muja lo kayak dewa? Iya! Munafik lo!" Gabriel tetap bungkam, menerima setiap tuduhan Nathan tanpa sedikit pun melakukan pembelaan. Percuma, emosi kakaknya itu sedang di atas langit.

"Ini terakhir kalinya, mind your own business and leave me alone!" Nathan pergi setelah mengatakan itu, membiarkan adiknya yang tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya itu terjatuh begitu saja di lantai.

Bahkan tanpa menoleh, Nathan bisa mendengar debuman keras saat tubuh Gabriel terjatuh begitu saja di lantai. Alih-alih membantunya, ia justru mempercepat langkah kakinya, bahkan masih membanting pintu. Di balik pintu, pandangan matanya kembali bertemu dengan Sam yang kini menatapnya sengit. Hanya beberapa detik tanpa kata, Nathan memilih memalingkan tubuhnya dan berjalan menjauh.

"Lo bener-bener monster!" teriak Sam emosi. Meski hanya samar mendengar pertengkaran mereka, Sam bisa sepenuhnya membayangkan perasaan Gabriel. Bagaimana bisa saudara kembarnya sendiri berlaku seperti itu sedangkan Gabriel bahkan begitu membuka mata yang pertama kali disebut adalah Nathan.

Di dalam ruangan yang mendadak dingin itu, Gabriel hanya bisa memejamkan matanya. Dulu, Nathan akan menjadi orang pertama yang khawatir akan keadaannya. Dulu, Nathan akan menjadi orang terakhir yang bisa menyakitinya. Dulu.

"L!"

Gabriel menatap Sam nanar. Tubuhnya benar-benar lemas, terutama setelah apa yang Nathan lakukan padanya. Setiap tarikan napasnya menyakitkan, tapi ia bahkan tidak punya tenaga untuk mengangkat tangannya. Kedua tangan itu sibuk menyangga tubuhnya agar tidak terkapar di lantai. Dengan bantuan Sam, Gabriel kembali berbaring di ranjangnya, memakai nasal yang sempat ia lepas dan sembunyikan sesaat sebelum Sam berjalan menjauh. Napasnya terengah, nyeri di setiap tarikannya, tapi hatinya yang lebih sakit.

Di sampingnya, Sam memeriksa kondisi Gabriel tanpa kata. Ia tidak menyangka Nathan akan sekasar itu pada Gabriel. Ia bahkan sampai tidak berani berkomentar apa pun di hadapan Gabriel, takut itu akan semakin membuat Gabriel menderita.

"Sam, gue capek." Sam yang tengah memeriksa infus Gabriel seketika berhenti. Ditatapnya Gabriel yang ternyata tengah menutup mata itu. Dari sudut matanya, air mata mengalir begitu saja dan Gabriel tidak berusaha untuk menyembunyikannya. Untuk pertama kalinya, Sam melihat Gabriel sehancur ini.

"Harus gimana lagi buat bikin Nathan balik kayak dulu? Umur gue udah gak lama, Sam. Gue cuma mau nikmatin itu sama saudara gue. Salah?" Gabriel mengucapkan kalimat itu susah payah. Napasnya yang sudah pendek-pendek itu semakin diperparah dengan isakannya yang terdengar begitu getir.

"Mungkin emang dari awal gue gak seharusnya ada. Tanpa gue, Nathan gak akan jadi bayangan siapa pun. Paling enggak, bukan dari saudara kembarnya sendiri." Kalimat panjang itu jadi semakin menyakitkan untuk didengar, apalagi diucapkan di tengah batuk, isakan dan tarikan napas yang begitu sulit.

Sam tidak punya pilihan selain menyuntikkan obat penenang pada infus Gabriel, membuat lelaki itu perlahan berhenti terisak dan jatuh tak sadarkan diri. Baru setelah Gabriel benar-benar tenang, ia bisa menghela napas panjang sambil menjatuhkan diri di kursi samping tempat tidur.

"Tenang, L. Lo gak sendiri. Kita semua bakal bantuin lo. Apa pun resikonya." Sam perlahan mengulurkan tangannya, menghapus keringat di pelipis Gabriel dengan punggung tangannya. Dengan lembut, ia membelai puncak kepala Gabriel, berusaha memberikan kenyamanan terbaik yang bisa ia berikan.

"Dia tidur?" Sam mengangguk, tidak perlu berbalik untuk tahu Stevan dan Bryan memasuki ruangan. Bahkan dari langkah kakinya saja Sam sudah bisa menebaknya.

"Kenapa?" tanya Bryan penasaran. Gabriel tidak akan tertidur begitu saja setelah memintanya datang, kecuali ada sesuatu yang membuatnya harus merelakan kesadarannya.

"Nathan dateng." Kalimat itu seolah menjelaskan semuanya. Bryan dan Stevan saling pandang. Sejak awal, ia tahu persis seperti apa reaksi Nathan nantinya. Kondisi Gabriel sekarang justru semakin menguatkan perkiraan mereka.

"Jadi, masih mau dilanjut?" tanya Stevan santai. Ia selalu siap dengan segala hal yang Gabriel rencanakan. Sejak awal, dia selalu percaya pada Gabriel, segila apa pun rencananya. Lagi pula, Gabriel tidak pernah memaksanya melakukan sesuatu yang tidak ia suka. Bahkan, Gabriel selalu membiarkannya melakukan apa pun, selama tujuan utama tercapai.

"Kita gak bisa berenti sekarang, apalagi kondisi Gabriel kayak gini." Ketiganya tanpa sadar menjatuhkan pandangan pada Gabriel. Sejak mengenal lelaki di hadapan mereka ini, ini kali pertama mereka melihatnya selemah dan serapuh ini. Seolah hanya dengan terpaan angin bisa membuat tubuhnya hancur lebur.

"Lo gak bisa lakuin sesuatu?"

"Buat? Sembuhin L? Cuma organ baru yang bisa selametin dia. Dan L gak mau terima organ orang lain lagi. Enggak setelah jantung Reza memperpanjang umurnya. L bahkan bilang dia siap pergi kapan pun itu."

"Gila!"

"Makanya, rencana L harus tetep jalan. Impian L cuma satu, bareng sama Nathan di hari-hari terakhirnya, bukan malah coba bunuh kayak gini."

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang