O

1K 138 33
                                        

Kaku, Nathan berdiri di samping mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah mewah di ujung jalan. Sudah hampir 2 jam dia berdiri di sana, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Bukan, bukan tidak bisa, dia hanya tidak berani. Ini bahkan kali pertamanya berada dekat dengan rumah itu.

"Naa?"

Seseorang menepuk punggung Nathan pelan, tapi efeknya langsung membuat bulu kuduknya meremang. Dia tidak takut hantu, tapi di depan rumah keluarganya, siapapun itu, ketakutannya menguar begitu saja. Nathan berbalik pelan, menatap ujung sepatu orang yang kini berdiri di hadapannya. Menyadari itu adalah high heels alih-alih pantofel, Nathan akhirnya berani menatap wajah orang itu.

"Nathalie? Kok lo bisa langsung nebak kalo gue Nathan?"

Nathalie tersenyum anggun, menepuk pundak Nathan. "Sepupu mana yang gak bisa bedain sepupunya sendiri?" katanya riang.

"Bener juga. Apalagi liat kemampuan gue yang jauh beda sama L," ucap Nathan getir.

"Stop! Gue lagi gak dalam mood bandingin orang. Udah-udah. Lo ke sini mau ketemu Papi, kan? Yuk." Nathalie tersenyum manis padanya, menggandeng tangannya dan membawanya masuk ke dalam rumah yang selama dua jam ini hanya berani ia tatap.

Seorang perempuan berwajah Chinese menatap Nathan tepat saat Nathalie membuka pintu rumahnya. Wanita itu terdiam, memandang Nathan dari atas ke bawah sebelum meraih ponsel yang ada di meja dan berlalu tanpa mengatakan apa pun pada Nathan. Mendapat tatapan seperti itu saja, Nathan sudah berkecil hati. Dia memang sudah biasa diacuhkan, tapi direndahkan di depan matanya tetap sesuatu yang menyakitkan untuknya.

"Tenang aja, Mami emang gitu orangnya. Dia gak benci sama lo, kok." Nathan mengangguk mendengarkan kata-kata Nathalie yang berusaha menenangkanya. Percuma sebenarnya. Hatinya sudah terlanjur terluka.

Nathan hampir tidak menyadari aroma melati yang menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya tepat saat dia memasuki ruangan bernuansa tradisional itu. Baru setelah dirinya duduk dan menatap interior bagian dalam rumah, dia menyadari aroma kuat yang biasa dia cium ketika berada di rumah kakek-neneknya. Bulu kuduknya meremang. Dia tidak pernah suka aroma ini, mengingatkannya pada masa kecilnya yang kelam.

"Jadi, apa yang membawamu ke sini, Nathaniel?" Nathan menegang mendengar suara berat dari belakangnya. Dia menoleh dengan cepat, menatap Joffey yang tengah menatapnya tajam.

"Ingin memastikan saya berada di pihak siapa?" tambah Joffey yang membuat Nathan semakin diam. Di belakangnya, Nathalie tersenyum misterius sambil membawa dua buah cangkir berisi minuman yang masih mengepul. Ada pelayan di rumah ini, tapi entah kenapa Nathalie membawa minumannya sendiri.

"Saya tau itu kamu yang ada di rapat direksi, tapi saya tidak mengatakan apa pun pada Ayah saya. Apa itu bisa menurunkan sedikit keteganganmu?" Nathan berdeham pelan. Ia memang tidak sadar bersikap kaku sejak memasuki rumah ini.

"Maafkan saya," bisik Nathan tidak percaya diri. Joffey tertawa mendengar kalimat Nathan.

"Saya tidak pernah berada di pihak siapa pun. Saya berada di pihak saya sendiri. Kenapa saya tidak memberitahu Ayah saya mengenai kamu? Karena Nathalie pikir kami bisa memanfaatkanmu. Jadi, kamu bisa menilai sendiri seperti apa saya bagimu."

Nathalie kembali tersenyum. Dia duduk tepat di samping Nathan sambil menyilangkan kakinya. Perlahan dia meletakkan tangannya ke pundak Nathan, membisikkan sesuatu yang membuat Nathan berani memindahkan perhatiannya dari Joffey.

"Maksudnya?" Akhirnya Nathan memberanikan diri menatap Joffey dan Nathalie bergantian, membuat senyum di wajah Nathalie semakin lebar sedangkan Joffey masih tetap mempertahankan ekspresi dingin di wajahnya. Kali ini dia sudah duduk di hadapan Nathan, mendengarkan putri dan keponakannya itu berbicara.

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang