Nathan berpikir ia sudah bisa mengalahkan Gabriel dengan menggandeng Joffey dan Dominic. Sayangnya, Gabriel jauh di atas yang bisa ia atau orang lain bayangkan. Jauh sebelum Nathan berjanji akan memberikan seluruh sahamnya di Dimitry Kingdom pada Joffey, Gabriel lebih dulu mengalih namakan semuanya, menjadikannya milik seseorang yang siapa pun tak akan pernah duga ia ada.
Tinggal menunggu waktu, hingga Nathan dan semua orang sadar, bahwa nama Nathan Dimitry di pemegang saham utama sudah digantikan oleh orang lain. Salah Nathan sendiri yang tidak pernah peduli dengan sahamnya di perusahaan raksasa itu. Ia selalu mempercayakan pada Gabriel.
Itu jugalah yang menjadi alasan Gabriel mau jauh-jauh terbang ke negeri ini. Ia sudah hampir kehabisan akal untuk menarik kembali Nathan padanya. Karenanya, jika memang harus, ia akan gunakan segala cara, bahkan yang tergila sekalipun!
Gabriel kini berdiri di depan rumah bergaya klasik, menunggu pemilik rumah untuk membukakan pintu. Ia datang sendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya, mempercayakan pekerjaannya pada Max dan sengaja meninggalkan seluruh gadgetnya agar tidak terganggu.
"Kamu sudah datang rupanya."
Gabriel tersenyum mendengar suara merdu dan anggun milik perempuan yang baru saja membuka pintu dan kini berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar. Meski sudah berada jauh dari Indonesia untuk waktu yang lama, perempuan itu masih mempertahankan logatnya dengan baik.
"Aunty, apa kabar?" sapa Gabriel sopan sambil memeluk perempuan itu lembut. Pelukan itu dibalas tak kalah lembut, persis seperti pelukan seorang ibu. Gabriel tanpa sadar mengeratkan pelukannya. Merasakan pelukan sehangat itu, Gabriel seolah menemukan kembali kasih sayang orang tua yang sudah sangat lama ia lupakan.
"Kamu sakit?" Alih-alih menjawab pertanyaannya, perempuan itu justru balik bertanya. Tangan halusnya membelai pelan kening Gabriel, merasakan suhu tinggi memenuhi telapak tangannya.
"Astaga, kamu demam, L!" Perempuan itu mendadak panik. Ia bahkan langsung menarik Gabriel masuk dan duduk di sofa. Sambil setengah berteriak, ia meminta pelayannya untuk mengambilkan air hangat, handuk dan juga obat-obatan Gabriel. Meski jarang berkunjung, perempuan ini selalu update kondisi kesehatan Gabriel, bahkan menyediakan semua obat Gabriel di rumahnya.
"Sini, tidur di pangkuan Aunty." Gabriel tidak menolak sama sekali. Toh, tidak ada salahnya untuk sedikit bersikap manja, kan? Tangan halus itu membelai puncak kepalanya sementara ia memejamkan mata. Andai tubuh itu bisa berteriak, mereka pasti menyerah. Sayangnya, Gabriel tidak bisa berhenti sekarang.
"Jangan terlalu memaksakan diri, L. Kamu bukan robot dan tubuhmu sudah sampai batasnya. Kamu harus istirahat atau semuanya akan sia-sia." Mendengar kalimat panjang itu, air mata Gabriel mengalir begitu saja. Ah, menyenangkan sekali ternyata mendengarkan seseorang mengkhawatirkanmu tanpa meminta balasan apa pun.
Perempuan itu tanpa sadar menghela napas berat saat melihat keponakannya menangis bahkan hingga terisak. tangan kanannya perlahan menepuk-nepuk dada Gabriel, mencoba menenangkannya sementara tangan kirinya membelai puncak kepala Gabriel lembut.
"Maaf sudah membuatmu menderita, L. Maaf sudah memeras ragamu sampai seperti ini. Andai dulu kami bisa memperjuangkan kalian." Perempuan itu ikut meneteskan air mata. Jujur, penyesalan terbesarnya dalam hidup adalah tidak memperjuangkan kedua keponakannya ketika mereka menjadi yatim-piatu. Harusnya ia bisa berjuang, sangat bisa.
"Aunty Ficha dan Uncle Leo gak salah, kok. Kalian berhak bahagia, terutama setelah apa yang terjadi." Ficha, perempuan yang tengah menepuk dada Gabriel itu hanya bisa menahan isakannya meski air matanya terus mengalir. Andai dulu ia dan suaminya tidak memilih untuk kabur dari Indonesia.
Gabriel mulai tenang, ia sudah tak lagi terisak. Air matanya juga sudah tidak mengalir lagi. Ia masih memejamkan mata dengan tarikan napas yang hampir teratur. Ficha pun masih aktif mengompres Gabriel, berusaha membuat demamnya turun setelah diberikan beberapa obat.
"Aunty, boleh L minta sesuatu?"
"Kamu mau minta Aunty and Uncle pulang ke Indo saat rapat pemegang saham akhir tahun nanti?" tebak Ficha yang sepertinya benar. Gabriel membuka mata sayunya, menatap Ficha dengan tatapan memohon.
"Kalau semua tidak berjalan seperti yang L rencanakan dan Naa masih sekeras ini, Aunty bisa, kan? L hanya takut tidak akan bertahan sampai saat itu."
"Hei! You'll be fine, L. Aunty yang akan jamin itu." Gabriel menggeleng pelan sambil menghela napas panjang.
"L udah maksa Tuhan buat panjangin hidup L pakai jantung om Reza. L gak mau maksa Tuhan lagi dengan paru-paru orang lain. Aunty juga harus janji gak akan masukin organ orang lan lagi ke tubuh L."
Ya, Ficha lah yang mengganti jantung Gabriel dengan jantung milik kakak kandungnya, Reza William. Ia sendiri yang melakukan operasi itu di negara ini. Dengan tangannya, ia mengambil jantung kakak kandungnya, memindahkannya ke jantung keponakannya dan memastikan jantung itu selalu berdetak hingga detik ini.
"L, i'll do anything for you. Aunty and Uncle akan pulang. Untukmu."
"Thanks, Aunty. For always be with me." Suara Gabriel memelan. Tak sampai lima menit, lelaki itu sudah tertidur di pangkuan Ficha. Tidur nyenyaknya yang pertama kali, entah sejak kapan.
^^^
Gedung modern di pusat kota itu menyimpan banyak rahasia. Salah satunya, menjadi markas pusat mafia terbesar di negara itu. Di lantai tertingginya, sang pimpinan mafia sedang menikmati segelas wine sambil menatap riuhnya jalanan meski sudah tengah malam. Seperti halnya kota itu yang tak pernah tidur, begitu juga dengan bisnisnya. Lelaki itu baru saja menghabisi hampir satu organisasi, hanya menyisakan anak-anak mereka untuk dijadikan tawanan.
"Pak, beliau sudah datang." Lelaki itu melirik ke sumber suara, kemudian pandangannya menerobos pada pintu di belakang Lux, kaki tangannya. Lelaki itu langsung tersenyum melihat sosok yang baru saja memasuki ruangan.
"Welcome back to NYC, Prince." Gabriel mendengkus mendengarnya. Ia meraih botol wine yang ada di sebelah lelaki itu. Dengan begitu ringan ia menenggaknya langsung dari botol.
"Wow! Easy, Man!" Stevan, lelaki di depan Gabriel itu langsung merebut botolnya, sayang isi botol itu sudah tandas. Gabriel benar-benar menghabiskan isinya dalam beberapa teguk saja. Melihat itu saja, Stevan sudah bisa menebak ada yang tidak beres.
"Jadi, siapa targetnya?" tanya Stevan enteng. Gabriel tidak akan mengajaknya bertemu sendirian, kecuali ada yang harus ia bereskan segera. Gabriel menjentikkan tangannya, meminta Max untuk mendekat. Tanpa mengatakan apa pun Max memberikan tablet yang ia bawa pada Max dan kembali ke tempatnya, beberapa langkah di belakang Gabriel.
"Semuanya?" Gabriel menaikkan sebelah alisnya, seolah tidak percaya dengan pertanyaan Stevan, menurut lo?!
Lewat gerakan kepalanya, Stevan meminta Lux untuk mendekat.
"Lo denger apa yang L minta. Selesaikan secepatnya." Lux tidak perlu mendengar kalimat selanjutnya, seperti halnya kaki tangan yang lain, Lux bisa mengerti dengan baik apa yang atasannya minta, bahkan tanpa menjelaskan detailnya.
"Mereka bener-bener bego. Kalo aja mereka tetep diem di sarangnya dan gak ngusik kalian, hidup mereka bakal lebih mudah," komen Stevan. Tangannya sudah membuka satu botol wine yang baru, menenggaknya langsung seperti yang tadi dilakukan Gabriel.
"Gak ada yang salah dari itu, wajar manusia serakah. Mereka cuma salah pilih lawan aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nathaniel ✔
Teen FictionDia Nathaniel, laki-laki yang akan melakuan apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, laki-laki yang akan berkorban apapun untuk Gabriel Dia Nathaniel, satu-satunya alasan Gabriel ada di dunia ini Apa yang membuat Nathaniel bertahan di dunia ini? Gabriel ...