E

2.5K 264 38
                                        


Tidak ada satu orang pun yang tahu, malam itu di tengah megahnya pesta yang diselenggarakan Dimitry Kingdom, ada seseorang yang diam-diam melarikan diri, membiarkan dirinya menjadi sasaran tinju teman-temannya. Tidak ada yang tahu, di balik setiap pukulan yang ia layangkan pada lawannya di atas ring tinju, ada kesakitan luar biasa yang coba ia redam. Tidak ada yang tahu sekecewa apa dia pada hidup, selain dia dan Tuhan.

"Maju kalian berdua!"

Nathan terengah-engah sambil mengelap pelipisnya yang mengalirkan darah segar. 5 lawannya yang ia habisi selama hampir delapan jam ini sudah dilarikan ke rumah sakit. Nathan bisa merasakan persendiannya bergeser, bibirnya sobek, gigi bagian belakangnya copot, tapi seolah belum puas, ia masih menunggu penantang lain. Kali ini tidak main-main, Nathan menghadiahkan anak perusahaan Bevelry Corp yang baru saja ia rintis. Baru perusahaan kecil memang, tapi di bawah kepemimpinan Gabriel, perusahaan yang baru ia dan Gabriel dirikan 3 bulan yang lalu itu sudah dilirik banyak investor terkenal.

"Udah Than, mau sampe kapan pun rasa sakit lo gak akan pernah terobati dengan lo mukulin orang kayak gini."

Nathan menatap Stevan dengan tatapan tajam, menusuk, dan marah yang tidak bisa ia sembunyikan. Ditariknya lengan Stevan ke dalam ring dan otomatis pertarungan dimulai. Stevan menghembuskan napasnya jengah. Ia tahu cepat atau lambat dirinya juga akan jadi samsak tinju bagi lelaki di hadapannya ini.

"Ini hari keberuntungan lo, kalo lo bisa kalahin gue, gue bakal kasih perusahaan gue dan apa pun permintaan lo bakal gue kabulin."

Stevan mendengus kesal. diterimanya sarung tangan tinju dan pelindung kepala yang dilemparkan Nathan sambil meregangkan otot-ototnya. Kebetulan sekali, hari ini dia sangat ingin memukul orang. Tidak peduli jika orang yang akan dipukulinya kali ini adalah sahabatnya sendiri. Tidak peduli juga jika orang yang akan dipukulinya kali ini sudah kelelahan dan babak belur. Dia hanya ingin menyadarkan orang di depannya ini dan segera pulang, memeluk dan bercinta dengan Bryan.

Nathan menatap Stevan sengit. Begitu lonceng dibunyikan, Nathan langsung menyerang Stevan dengan buasnya. Dia bahkan melupakan semua aturan yang ada. Berkali-kali Nathan mengangkat kakinya tinggi-tinggi, mengincar dada kiri Stevan. Menghadapi Nathan yang sebrutal itu, Stevan justru tersenyum miring. Sudah lama dia tidak melakukan semua ini. Sudah lama ia meninggalkan ring tinju semenjak bersama Bryan. Melihat Nathan sebrutal itu, jiwa petarung Stevan bangkit. Dengan gesit, ditangkisnya pukulan-pukulan dan tendangan milik Nathan sambil beberapa kali mencoba memukul Nathan. Hingga akhirnya sebuah tendangan telak di dada Nathan mengakhiri pertarungan mereka.

Nathan terengah-engah sambil memegangi dadanya yang nyeri bukan main, terutama saat dia menarik napas. Ingin rasanya dia pingsan saat ini juga. Bukan-bukan, memang itu tujuannya, membuat dirinya pingsan hingga dia tidak perlu merasakan rasa sakit yang begitu dalam di hatinya ini.

Uhukk, uhukk...

Nathan mengernyit begitu merasakan amis di mulutnya. Hidungnya juga bisa mencium aroma anyir itu. Di depannya, Stevan memerintahkan bodyguard Nathan untuk mengangkat tubuh lelaki itu dan membawanya ke rumah sakit.

"Lo orang paling bego yang pernah gue kenal!" maki Stevan tepat di telinga Nathan yang hanya dibalas cengiran menyebalkan sebelum akhirnya lelaki itu benar-benar kehilangan kesadarannya, sesuai keinginannya.

"Pelan-pelan bawanya!" perintah Stevan dengan nada angkuhnya. Dia meraih botol minum yang diberikan oleh salah satu bodyguard-nya sebelum mengikuti Nathan dari belakang.

***

Putih. Itu hal pertama yang tertangkap oleh retina Nathan sesaat setelah dia bangun dari pingsannya. Kemudian retinanya berhasil menangkap dua orang lelaki yang tengah berpelukan di samping tempat tidurnya, bahkan mereka berdua sesekali berciuman mesra hingga mengeluarkan suara desahan yang cukup membuat orang ekskresi saat itu juga. Nathan mendengus pelan, merasa jengkel dan juga jijik dengan tingkah kedua sahabatnya itu. Nathan menarik masker oksigen yang menutupi sebagian wajahnya setelah ia menarik napas dalam-dalam, memastikan dirinya mendapatkan cukup oksigen.

"Mending kalian sewa kamar sebelah," protes Nathan dengan suara yang masih sangat lemah dan napas tersengal. Stevan dan Bryan kompak langsung menoleh ke arah Nathan tanpa melepaskan pelukan mereka berdua.

"Masih bisa bangun juga ternyata," sindir Stevan, namun dengan senyuman di wajahnya. Tangan lelaki itu terjulur pada tombol yang berada di atas ranjang Nathan dan menekannya sekali kemudian menarik Bryan untuk duduk di kursi sebelah tempat tidur Nathan.

"Ada yang sakit?" tanya Bryan dengan raut khawatir. Nathan tersenyum tipis sambil menggeleng pelan, sayangnya tubuhnya berkata lain.

"Napas pelan-pelan," kata Bryan sambil memberikan contoh pada Nathan untuk menarik dan membuang napasnya. Nathan sedikit kesulitan mengikuti instruksi Bryan, padahal dia sudah mengenakan masker oksigen. Otaknya tanpa sadar membayangkan Gabriel, adik lelakinya itu pasti marah besar melihatnya seperti ini. Di samping mereka bedua, Stevan meringis ngeri, apalagi dia juga ikut ambil andil membuat Nathan menjadi seperti ini.

Dari arah pintu, seorang dokter yang Stevan tahu telah menangani Nathan datang bersama dengan suster yang mengekor di belakangnya. Dia terlihat senang, tapi juga bingung dengan keadaan Nathan. Pasalnya lelaki itu sampai sekarang masih kesulitan bernapas meskipun menggunakan masker oksigen.

"Sesak? Saya periksa dulu, ya?" Dokter itu menempelkan alat-alat aneh yang Stevan tidak tahu sambil menampilkan berbagai ekspresi sedangkan Nathan kini sudah memejamkan matanya lagi, mungkin dia kesakitan? Stevan gemas sendiri dengan mereka berdua.

"Dia gak apa-apa 'kan dok? Kok dia kayak kesakitan gitu?" tanya Stevan tidak sabar. Hatinya kini benar-benar merasa bersalah, apalagi jika terjadi sesuatu yang buruk pada sahabatnya itu.

"Mungkin sebaiknya kita lakukan x-ray untuk mengetahui paru-parunya. Saya curiga paru-parunya terluka." Stevan mengusap wajahnya frustasi. Berkali-kali lelaki itu mengumpat pelan. Pelukan Bryan yang biasanya mampu menenangkannya entah kenapa tidak berfungsi sama sekali kali ini. Dia takut terjadi sesuatu pada sahabatnya ini. Apa yang harus dia katakan pada Gabriel kalau sampai terjadi sesuatu? Bagaimana reaksi Gabriel nanti?

"Lakukan sekarang dok, lakukan yang terbaik." Dokter itu tersenyum tipis sambil mengangguk.

"Itu sudah kewajiban saya sebagai seorang dokter."

"Terima kasih..."

"Suster, siapkan semuanya," perintahnya pada suster yang berdiri tepat di belakangnya itu. Suster itu mengangguk dan melenggang pergi setelah sebelumnya mengucapkan permisi pada Stevan dan Bryan.

"Lo harus baik-baik aja atau Gabriel bakal bunuh gue," bisik Stevan tepat di telinga kiri Nathan. Seberkas senyum tergambar di wajah Nathan, meskipun kedua bola mata biru itu tertutup kelopak mata yang menghitam.

"Kenapa dia kayak gini lagi?" tanya Bryan bingung. Sejujurnya dia tidak pernah melihat Nathan sehancur itu setelah lulus SMA. Bahkan, ketika perusahaan yang dirintisnya hampir bangkrut, Nathan tidak sehancur itu. Stevan mencium bibir Bryan dengan mesra sebelum mendudukkan kekasihnya itu di pangkuannya.

"Kemarin Gabriel resmi dilantik jadi presiden direktur Dimitry Kingdom yang baru."

"Bukannya harusnya nunggu mereka lulus kuliah?"

"Kemarin mereka ngadain rapat pemegang saham dan Gabriel terpilih. Begitu aja, bahkan Gabriel juga gak tau kalo bakal ada pemilihan."

"Jadi Nathan segila itu cuma gara-gara perusahaan?"

"Yups. Sekarang waktunya kita mulai mainin kartu kita, Darl."

"Ya. Gak ada pilihan lain, kan? Ngomong-ngomong, ternyata masih ada orang bodoh kayak dia. I think you're the most stupid person in the world."

"Why? Because I fell in love with you?"

"No, because you swore to killyourself if I ever try to leave you," jawab Bryan sambil mengecup bibir Stevan pelan dan beranjak pergi meninggalkan Stevan yang masih terkekeh geli, tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa lelaki cantik itu.    

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang