U

433 38 4
                                    

3 hari sejak dia meninggalkan Indonesia, Gabriel kini berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit dengan penerangan minimal. Pandangan matanya terlihat dingin, lengkap dengan seringaian di bibirnya. Di hadapannya, Stevan sudah menunggu dengan tatapan yang juga sama tajamnya. Max yang berjalan lebih dulu, menghampiri Lux yang berdiri tanpa suara di samping Stevan.

"Berapa banyak?" tanya Max tanpa basa-basi. Lux pun menyerahkan tablet yang sejak tadi ia bawa, membiarkan Max mencari tahu sendiri jawabannya.

"83, cukup banyak juga. Di mana yang tersisa?"

"Basement, siap untuk diinterogasi."

"Semuanya aman?" Lux mengangguk, kemudian membiarkan Gabriel dan Stevan berjalan mendahului mereka. Ia sempat memberi hormat singkat saat Gabriel lewat dan menepuk pundaknya pelan.

Di ruangan yang hanya seluas 48 meter persegi itu, duduk tiga orang lelaki dengan tangan dan kaki terikat kursi. Wajah meter sudah hampir tidak bisa dikenali, penuh lebam dan darah mereka sendiri. Dengan santai, Max menarik kursi dan membiarkan Gabriel duduk tepat di tengah-tengah mereka. Kaki kanannya disilangkan dengan mata yang fokus membaca data dari tablet yang tadi dibawa Lux. Di belakangnya, Stevan berdiri, masih mempertahankan tatapan tajam dan dinginnya.

"Jadi kalian kaki tangan Joffey," ucap Gabriel tanpa mengalihkan pandangannya. Kaki kanannya bergoyang-goyang yang entah mengapa justru membuat Lux dan Max yang juga berada di belakangnya merasa tegang.

"Kesalahan pertama, kalian menghianatiku. Kedua, kalian memilih pamanku. Ketiga, kalian menghasut kakakku dan membuatnya menghianatiku." Gabriel mengucapkan kalimatnya dalam aksen Amerika yang kental. Ketiga orang di hadapannya sudah tidak mampu lagi untuk membuka mulut, dan memang itulah yang Gabriel harapkan.

"Oh, kalian punya anak rupanya. Ketiganya penderita kanker dan dalam naungan Dimitry Kingdom? Kebetulan yang luar biasa!" Mata ketiga orang itu bergetar. Mereka bergerak-gerak liar, seolah ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak bisa. Tidak setelah Stevan memotong lidah mereka tepat sebelum Gabriel tiba.

"Kalian berharap aku menyelamatkan mereka? Mengampuni nyawa mereka? Kalian pikir aku sebaik itu? Saksikan dengan mata kepala kalian sendiri ketika darah mereka keluar dari tubuh-tubuh ringkih itu." Gabriel tertawa keras, tapi anehnya suara tawa itu pun terdengar mengerikan, dingin, kejam.

"Bawa istri dan anak mereka ke sini."

Lux pergi menuruti perintah Gabriel tanpa kata, sedangkan Max masih tetap diam. Dia tidak pernah bertanya tentang keputusan dan Tindakan Gabriel, semengerikan apa pun itu. Dia tahu, Gabriel pun selalu menyesali tindakannya Ketika harus menyakiti orang lain. Gabriel sendiri yang selalu mengurus pemakaman mereka, juga menanggung hidup seluruh keluarga yang mereka tinggalkan. Ia tahu, Gabriel tidak punya pilihan. Dia harus menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya, dengan cara apa pun.

"L, just go. Let my people finish it." Stevan akhirnya membuka mulut. Dia pun tahu Gabriel tidak pernah suka ada darah yang mengalir di jalannya dan Stevan sendiri yang memastikan jalan sahabatnya itu tetap bersih. Seperti itulah kerjanya, bahkan sejak kakek buyutnya masih menjadi pemimpin.

"Make it quick and less pain."

"Leave it to us."

Gabriel membiarkan Stevan menyelesaikan pekerjaannya. Kedatangannya ke sini hanya untuk melihat wajah-wajah penghianatnya untuk terakhir kali. Juga mengirimkan ancaman pada pamannya, agar tidak lagi menyentuh miliknya.

"Kembali ke Jakarta sekarang?" Gabriel membiarkan pertanyaan Max tanpa jawaban. Kepalanya menengadah, menatap langit yang mulai menggelap. Dia tahu ada yang tidak beres kali ini. Seolah setelah ini, hidupnya akan lebih melelahkan lagi, dan semua itu ada hubungannya dengan Nathan.

Nathaniel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang