• 01 •

36 8 0
                                    

Shafa terdiam cukup lama di depan cermin, menatap pantulan dirinya, lantas menghela napas berat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shafa terdiam cukup lama di depan cermin, menatap pantulan dirinya, lantas menghela napas berat.  Tangannya saling bertaut dengan gelisah. "Ah, bodo  amatlah!" ucapnya penuh frustasi, lalu mengambil ranselnya yang ada di kursi.

Ketika tangannya hendak memegang kenop pintu, Maudy—adiknya—lebih dahulu membuka pintu dan masuk dengan wajah masam. Shafa mengernyitkan keningnya dengan tatapan bingung.

"Ngapain?" tanyanya yang langsung mendapatkan lirikan tajam dari Maudy.

"Lo, tuh, harus gue bilang berapa kali coba? Kalo habis pake make up gue ya balikin lagi! Kesel tau tiap mau pake harus bolak-balik ke kamar lo dulu!"

Shafa hanya terdiam mendengar omelan dari seorang Maudy di pagi-pagi buta. Sementara adiknya itu tampak menghampiri meja belajar miliknya dan mengambil peralatan make up-nya di sana.

"Kalo gak mau balikin gak usah make!" Shafa mengambil satu langkah mundur ketika Maudy hendak keluar dengan tangan  yang terisi penuh.

Hampir setiap kali Maudy memarahinya, Shafa tak pernah sekalipun buka mulut. Bukan karena ia tak mau membantah, tapi ia rasa hal itu percuma. Hanya membuang-buang tenaga dan menyulut emosi Maudy lebih jauh.

Sebelum benar-benar keluar dari kamarnya, netra gadis itu melirik pada benda benda pipih yang ada di samping cermin besar miliknya.

Gila, gara-gara makan martabak dua hari yang lalu gue jadi naik dua kilo. Bisa obesitas kalo gini terus. Monolog Shafa dalam hati.

Gadis itu berdecak kesal ketika mengingat Berta badannya yang terus naik dan sulit sekali di turunkan.

Ketika keluar dari kamarnya, di meja makan sudah ada Ibu dan Maudy yang tampak sedang berbincang mengenai berakhirnya masa MOS gadis itu kemarin.

Ketika netranya saling pandang dengan sang adik, Maudy hanya melirik dengan sinis, membuat Ibu menggelengkan kepalanya melihat pertengkaran kedua putrinya itu.

"Kali ini berantem gara-gara apa?" tanya Ibu dengan suara lembutnya.

Shafa tak menjawab, gadis itu menarik kursi di sebelah kanan Ibu, lalu duduk seraya mengambil piring yang sengaja di susun di atas meja.

"Dia ngambil alat make up ku gak pernah di balikin, Bu! Tiap aku mau pake harus ke kamar dia dulu. Kan kesel jadinya!" Maudy menelan makanannya terlebih dahulu, lantas melanjutkan, "lagian punya duit, tuh, di beliin make up kek. Bukan buat ngisi perut doang. Mau segede apa lagi badan lo, kak?"

"Maudy!" tegur Ibu dengan raut tak suka.

Shafa meletakkan sendok di tangannya, lantas menatap manik Maudy. "Bukannya gue gak mau. Tapi gue rasa itu percuma. Selain gak kenyang, gue juga gak se-pede itu pake make up terus di tunjukin ke orang lain."

Maudy hendak kembali menjawab, namun tangan Ibu yang menggenggam erat tangannya di bawah meja, membuat Maudy menghentikan apa yang ingin ia ucapkan.

Mata sang kakak yang berkaca-kaca membuat Maudy dirundung rasa bersalah. Apa ucapannya sekasar itu?

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang