• 23 •

17 5 0
                                    

"Mereka semua udah dapet hukuman dari Bu Ama," ucap Malvin mengisi kesunyian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mereka semua udah dapet hukuman dari Bu Ama," ucap Malvin mengisi kesunyian. Shafa hanya diam dengan tatapan kosong, tubuhnya terbalut selimut dengan air mata yang terus mengalir meski ia tak lagi menangis histeris seperti tadi.

"Fa," panggil Malvin. Karena tak mendapat respon apapun, remaja itu lantas menghela napasnya. Perlahan, kepala Shafa menunduk. Bu Rara bilang, Ibunya sedang dalam perjalanan kemari. Shafa jadi malu kalau harus menjelaskan semuanya pada Ibu.

Padahal, saat kenaikan kelas Ibu sudah bertanya apa Shafa kembali mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya seperti waktu SMP. Shafa dengan senang hati menjawab tidak. Karena saat itu ia berteman baik dengan Nada, sebelum ia tau maksud asli gadis itu ketika ingin berteman dengannya.

Tubuh Shafa kembali bergetar, membuat Malvin yang tadinya hendak mengeluarkan ponsel, lantas berjalan mendekat pada sang gadis dan mengusap punggungnya dengan lembut.

"Sekarang lo tau kenapa gue pengen turunin berat badan gue ini, kan? Cewek itu harus sempurna, Vin. Kalau gak sempurna, mereka bakalan mandang sebelah mata."

Malvin hanya mengangguk meski Shafa sama sekali tak melihat ke arahnya. "Cantik kalau bodoh itu percuma, jelek kalau pintar juga percuma. Semuanya jadi terasa serba salah," lanjut Shafa.

Tak berselang lama, pintu UKS terbuka. Keduanya menoleh serentak. Melihat wajah Ibu yang terlihat sangat khawatir dengan keadaan yang sedikit kacau, Shafa jadi merasa bersalah.

"Kamu bohongin Ibu," ucap Ibu seraya berjalan mendekat. Tangis Shafa terdengar makin kencang ketika wanita itu memeluknya. Malvin sedikit memundurkan langkah, memberi ruang untuk mereka.

Meski tak histeris seperti putrinya, Ibu turut mengeluarkan air mata. Tangannya mengusap surai dan punggung Shafa bergantian, berharap apa yang ia lakukan bisa membuat Shafa menjadi lebih tenang.

"Ayo kita pulang," ajak Ibu. Wanita itu mengelap air matanya, lalu bergantian mengelap air mata pada pipi anak gadisnya dengan senyum tipis yang sedikit terlihat.

Dada Shafa terasa sesak ketika netranya bertatapan dengan milik Ibu. Dalam senyumnya, wanita itu menyimpan perasaanya seorang diri. Shafa tak ingin Ibu kembali menyalahkan dirinya sendiri karena menurut Ibu, ia gagal melindungi anak-anaknya.

"Besok kita urus surat pindahnya, kamu gak perlu sekolah di sini lagi. Kita pergi ke tempat yang jauh. Disini semuanya jahat, kalau pergi jauh, kamu gak perlu lagi ketemu sama mereka."

Perkataan Ibu Shafa membuat mata Malvin membulat. Terus olimpiade-nya gimana? batinnya bertanya. Akan tetapi, ia tak berani menyuarakan pertanyaan itu, situasinya sangat tidak tepat.

"Nak, makasih ya udah bantuin Shafa," Ibu tersenyum sembari mengusap pelan lengan Malvin. Remaja itu hanya tersenyum dan mengangguk hingga akhirnya Ibu membawa Shafa pergi, meninggalkan Malvin di sana seorang diri.

"Kacau, semuanya kacau ...," ucap remaja itu seraya mengacak kasar rambutnya.

. . .

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang