[ Selesai ]
"Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka."
Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepanjang jam pelajaran, Shafa sama sekali tak bisa fokus. Beberapa kali ia di tegur karena ketahuan melamun. Seperti kali ini. Bukannya menatap papan tulis, Shafa malah mengalihkan netranya ke luar jendela, memperhatikan kelas sebelah yang tengah melakukan pemanasan untuk pelajaran olahraga.
Getaran di ponselnya membuat sang gadis segera merogoh saku. Senyumnya langsung terukir ketika melihat siapa pengirimnya.
| Jangan nyari gue di lapangan, soalnya gue lagi rebahan di UKS
Shafa mengirimkan pesan balasan dengan cepat, seolah tak ingin Malvin menunggu lebih lama meskipun sang remaja sama sekali tak berharap demikian.
Nada berdecak tak suka melihatnya. "Lo kalau ketahuan sekali lagi yang ada di usir dari kelas. Mau gue aduin?" ucapan Nada membuat Shafa segera mematikan ponselnya dan menatap ke depan.
Mengingat sejak tadi ia menjadi perhatian Bu Ama karena tak bisa fokus pada penjelasan yang tengah di terangkan, Shafa jadi mendapat teguran. Kalau saja ia sampai di usir keluar kelas, pasti akan sangat memalukan. Namanya mungkin akan tercoreng dari jajaran siswi teladan.
"Sampai sini ada yang ingin di tanyakan?" Bu Ama pergi ke bangkunya, lalu membuka buku paket dan kembali menatap muridnya. "Kalau gak ada silakan kerjakan latihan tiga. Minggu depan akan kita koreksi."
Bersamaan dengan itu, bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Bu Ama memberikan salam, kemudian beranjak keluar kelas.
Nada yang sejak tadi menatap tak suka pada Shafa lantas menyandarkan punggungnya pada kursi. Gadis itu mulai mengeluarkan ponselnya dan menggoyangkannya pelan sembari menatap Shafa, seolah tengah memberi kode.
Namun, Shafa tak bisa menangkap maksud gadis itu hingga yang ia lakukan hanya terdiam dengan wajah lugunya. "Apa?" tanyanya yang langsung membuat netra Nada berputar kesal.
"Lo punya nomornya Malvin, kan? Kirim ke gue cepetan," perintah gadis itu.
Shafa menghembuskan napasnya sejenak. "Maaf, tapi kalo gue ngasih nomornya, berarti gue gak bisa jaga privasi dia. Kalo mau, coba minta ke orangnya sendiri." Sang gadis menyusun buku paketnya, lalu merangkulnya dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Nada yang mulutnya tengah menganga tak percaya.
"Mulai berani ya dia?" gumam Nada pelan, lalu terkekeh kecil.
. . .
Menjadi anak kebanggaan guru adalah poin plus yang Shafa dapati di sini. Padahal, saat masuk ke dunia SMA, Shafa hanya berusaha menjadi anak baik-baik dan gak melanggar peraturan yang ada. Namanya bahkan sangat bersih dari buku poin milik anggota OSIS.
Tentunya gadis itu juga memikirkan perasaan Ibu yang sudah banting tulang untuk membiayai sekolah dirinya dan Maudy. Kepergian Bapak pasti bukan hal yang mudah untuk wanita itu.
Namun kali ini, untuk pertama kalinya Shafa memilih bolos hanya untuk menghindari Nada. Shafa sendiri tak tau apa yang terjadi pada gadis itu hingga rasa bencinya bisa ia tunjukan begitu kentara hanya dalam satu malam.
Sebelumnya hubungannya dengan Nada baik-baik saja. Tapi karena kejadian buruk di pesta ulang tahun Virda, Nada kini menunjukkan sisi buruknya di hadapan Shafa secara terang-terangan.
Hembusan napas terdengar keras dari gadis itu. "Gue sendirian lagi," gumam Shafa dengan nada sedih. Sebenarnya, ia memang hampir tak memiliki seorang pun teman di kelas. Nada pun mendekatinya hanya karena butuh, kan?
Bukan hanya Nada, tapi mereka semua. Tak ada yang benar-benar tulus mau berteman dengannya.
Shafa menggeleng pelan, kemudian membuka buku paketnya, mencari selembar kertas yang berisi daftar alat make up yang ia butuhkan.
Tangannya sibuk mengetik di atas ponsel kemudian, menyobek kertas lain dan mulai menulis di atas sana. Mungkin terdengar sepele, tapi Shafa benar-benar akan merubah dirinya menjadi seseorang yang tak mereka kenali.
Pintu ruangan yang di buka secara tiba-tiba hampir saja membuat Shafa mengumpat karena terkejut.
"Oh? Lo lagi bolos, ya?" Malvin menatap dengan binar polosnya, membuat Shafa tersenyum canggung.
"Eum ... enggak! D-di kelas gue lagi jam kosong!" ucap Shafa dengan gugup. Malvin tertawa mendengarnya, lalu berjalan ke arah sang gadis.
"Gak usah bohong, lo gak ahli 'ah. Lagian gue tadi dari kelas, gue liat kelas lo lagi pada belajar, tuh?"
Pipi Shafa bersemu merah, ia merasa malu karena ketahuan berbohong. Kepalanya menunduk, lalu sedikit menggeser posisi duduknya seolah menghindari Malvin.
"Gak papa, gue temenin, deh, bolosnya. Tapi apa gak ada tempat yang elit dikit? Masa bolosnya di klub olimp?" Malvin meringis kemudian.
"Emang kenapa? Gue gak kepikiran tempat lain, ruangan ini udah kayak rumah kedua gue tau!"
Kepala Malvin mengangguk paham. Toh, Shafa sudah berada di klub ini sejak kelas sepuluh. Pasti sudah banyak hal yang gadis itu lalui di ruangan ini. Misalnya, begadang untuk mempelajari soal-soal olimpiade. Ah, itu terlalu berlebih, sih, tapi kalau melihat dari ambisiusnya seorang Shafa, Malvin bisa saja mempercayai hal itu.
Netranya melirik pada sang gadis yang tengah sibuk dengan dunianya. "Lo lagi ngapain? Belajar?" tanya Malvin, berusaha melihat apa yang tengah Shafa tulis di kertas.
Namun, gadis itu menutupnya dengan cepat. Matanya melotot tak terima. "Jangan kepo!" ucapnya tak suka.
Bukannya merasa takut, Malvin justru tertawa lucu. Sikap Shafa terlalu menggemaskan di matanya. Dering di ponselnya terdengar mengisi ruangan, membuat Malvin segera merogoh saku celananya dan mengabaikan Shafa yang masih menatap intens padanya.
Nama 'Papa' yang tertera di layar membuat bahunya meluruh begitu saja. Malvin menarik napas dalam sebelum menggeser panel hijau itu dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Halo?" sapanya begitu sambungan terhubung.
"Kembali ke kelas mu sekarang! Mau coba main-main dengan Papa, hah?!"
Mata Malvin terpejam karena teriakan keras dari seberang sana. Bibir dalamnya ia gigit dengan keras hingga berdarah. Hingga saat sambungan benar-benar terputus, sang remaja menatap lama pada layarnya hingga Shafa menepuk pundaknya pelan.
"Kenapa?" tanya Shafa, netranya menyiratkan kekhawatiran. Berada di jarak sedekat ini tentu membuatnya bisa mendengar teriakan keras dari ponsel Malvin tadi.
"Bukan masalah besar," ucap Malvin dengan kekehan ringan. Terlihat sangat bodoh karena bukan itu jawaban yang Shafa harapkan.
Sang remaja bangkit dari posisinya, lalu menoleh ke belakang dan berucap pelan dengan senyuman, "Gue ke kelas dulu, ya? Nanti ... pasti gue ceritain, kok."
Shafa hanya terdiam. Apa Malvin memiliki masalah berat di rumah sampai remaja itu memintanya menjadi teman cerita? Shafa tak mengerti harus bersikap seperti apa, atau masukan apa yang harus ia berikan.
Tapi untuk saat ini, melihat senyuman itu, Shafa tak bisa berkata apa-apa lagi selain mengangguk dan membalas senyumnya.