• 15 •

17 9 1
                                    

Shafa mengernyit bingung ketika hendak memasuki rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shafa mengernyit bingung ketika hendak memasuki rumahnya. Motor yang biasanya Ibu gunakan untuk berangkat kerja, kini nampak terparkir rapi di halaman rumahnya.

"Assalamualaikum," ucapnya setelah membuka sepatu. Wangi masakan Ibu tercium, membuat Shafa tersenyum tipis. Apalagi ketika melihat sosok yang ia cari ternyata sedang berdiri memegang spatula di depan kompor yang menyala.

"Ibu?" Wanita itu menoleh, lantas tersenyum lebar mendapati putri sulungnya yang tengah berjalan mendekat. "Tumben udah pulang?" lanjut Shafa sambil mencium punggung tangan Ibu.

"Kebetulan istri Pak Rio sedang ulang tahun hari ini, jadi beliau mau pesta sama keluarganya. Makanya karyawan di pulangkan," jelas Ibu tanpa menatap netra anak gadisnya.

Shafa mengangguk, lalu menggeser kursi untuk ia duduki. Raut wajah Ibu ia perhatikan dalam diam. Sebagai anak pertama, tentu saja Shafa punya perasaan yang sedikit peka dibandingkan Maudy. Ibu sedang berbohong padanya, setidaknya itu yang Shafa tangkap dari ekspresi wajah Ibu.

Namun, gadis itu memilih diam dan gak banyak tanya. Ada saatnya Ibu akan menceritakan masalahnya padanya, meski bukan sekarang.

"Bu, puding yang kemaren Ibu beli masih ada, kan? Bikinin, ya! Hehe." Ibu mendengkus pelan dengan senyuman di wajahnya yang tak lagi muda.

"Duh, dasar! Manja banget kalau ada Ibu. Bisanya juga bikin sendiri." Ibu geleng-geleng kepala melihat kelakuan manja putri sulungnya.

"Kali-kali, lah! Soalnya Ibu jarang di rumah. Masa aku manja-manjaan sama Maudy? Yang ada aku di lempar sama dia," ucap Shafa, badannya merasa merinding ketika membayangkan Maudy yang tengah melemparnya dengan remot televisi.

Maudy itu paling anti dengan hal  romantisme diantara kakak-adik. Tipe yang cuek meski sebenarnya peduli. Mungkin, keadaan pula yang menuntut Maudy untuk bersikap demikian. Meski menjadi si bungsu, Maudy yang paling sering mengingatkan Shafa agar berhati-hati dalam bertindak, supaya Ibu gak terseret dan membuat susah wanita itu.

Maudy sayang Ibu, dan gak mau membuat wanita itu kelelahan. Sebisa mungkin, ia menjaga orang tua satu-satunya yang ia punya setelah kepergian Bapak satu tahun yang lalu.

Shafa menatap sekitarnya sejenak, ada beberapa belanjaan yang memang biasanya Ibu beli ketika uang gajiannya sudah cair. Mengerti dengan keadaan yang ada, Shafa menundukkan kepalanya sesaat sebelum menatap Ibu dengan tatapan kecewa. Ibu benar-benar membohonginya.

"Aku ke kamar dulu, Bu." Ibu membalikkan badannya, sekedar melihat Shafa yang hendak beranjak dari duduknya.

"Iya, cepet ganti baju. Panggil Maudy sekalian, kita makan bareng."

"Maudy pergi sama pacarnya," ujar Shafa. Kelopak Ibu melebar kaget.

"Siapa pacarnya? Kok, dia gak ada cerita sama Ibu?"

"Itu, si Haris yang jemput dia waktu pertama masuk sekolah."

Mulut Ibu membulat dengan anggukan pelan. Ibu bersikap wajar atas sikap Maudy, karena bagaimanapun juga, ia jarang berada di rumah untuk mendengarkan cerita sehari-hari dari kedua putrinya.

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang