Dalam pejamnya, Shafa seolah kembali di tarik mundur oleh waktu. Hari dimana ia mendengar sebuah kata-kata menyakitkan dari seorang Nada yang sangat ia percayai.
"Gak nyangka gue kalo ternyata lo busuk juga. Kalian selama ini lengket banget, gue kira lo emang temenan sama dia tanpa ada maksud apapun." Tangan Virda bersedekap di depan dada, memandang Nada yang tengah memoleskan lip tint pada bibirnya dengan tatapan kagum.
"Mana ada jaman sekarang temenan tanpa ada maksud apa-apa? Dari keliatannya aja, Shafa itu cupu banget. Tipe yang gampang di bego-begoin, lah."
Mendengarnya, Virda tertawa keras hingga suaranya menggema di toilet sempit itu. Sang gadis yang mereka bicarakan ada di dalam salah satu bilik dengan tangan yang mengepal. Tadinya, Shafa ingin keluar dan masa bodoh dengan mereka. Tapi ketika namanya di sebut, ia jadi mengurungkan niatnya begitu saja.
"Bagus, setidaknya dia pinter secara akademik. Gak sia-sia lo deketin dia. Bisa dimanfaatin, kan?"
Kepala Nada mengangguk pelan. Wangi parfum menguar ketika gadis itu menyemprotkan benda itu pada seragamnya. Merasa penampilannya sudah sempurna, Nada tersenyum puas. "Ayo," ajaknya pada Virda untuk keluar dari sana.
Kepalan pada tangan Shafa akhirnya terlepas. Gadis itu memegang dadanya yang terasa sesak setelah mendengar kalimat dari Nada. Sebuah kejujuran yang tak pernah ia duga sebelumnya. Nada tak tulus, dan ia merasa bodoh karena mempercayai orang dengan sangat mudah.
"Harusnya gak usah dengerin kata-kata Ibu. Toh, tanpa mereka pun gue masih tetep bisa hidup. Harusnya gue gak usah punya temen kayak dulu ...," gumam Shafa dengan air mata yang perlahan mengalir pada pipinya.
.
."Shafa, lo udah kerjain tugas sejarah?" suara Nada yang terdengar manja membuat Shafa diam-diam merutuk kesal. Gadis itu menghampirinya setelah membahas majalah fashion bersama Virda dan teman-temannya.
Kepala Shafa menggeleng pelan, kemudian menunduk untuk kembali membaca buku geografi yang ia pinjam dari perpustakaan—sebentar lagi akan ada seleksi olimpiade, dan ia harus belajar lebih ekstra dari hari biasa.
Melihat sikap Shafa yang sedikit aneh, Nada langsung mengambil posisi duduk di bangkunya. Tangannya menopang dagu dan menatap Shafa lamat-lamat. "Lo aneh, deh. Belajar itu emang perlu, tapi apa lo sampe harus cuekin gue kayak gini?"
Ketika kepala Shafa mendongak, ia dapat melihat senyum sinis yang Nada tujukan untuknya. Dia emang gak pernah tulus, batin Shafa, lantas tersenyum getir.
"Kenapa, Nada?" tanya Shafa, bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tubuh Nada langsung menegak, tangannya terulur.
"Pinjem buku sejarah," katanya. Shafa hendak membuka mulutnya, namun Nada memotongnya dengan cepat, membuat Shafa kembali mengatupkan bibirnya dengan tangan yang mengepal di bawah meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Novela Juvenil[ Selesai ] "Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka." Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...