• 21 •

11 5 0
                                    

Bel pulang berbunyi beberapa saat yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bel pulang berbunyi beberapa saat yang lalu. Malvin kembali membuka layar ponselnya, melihat jam yang tertera di sana. Hari ini dia gak membawa motornya ke sekolah. Karena sekalian akan pergi ke tempat praktiknya, Diana menawarkan tumpangan yang langsung disetujui oleh Malvin.

Delapan menit yang lalu, Diana bertanya apakah ia sudah pulang atau belum, bahkan kembali menawarkan jemputan. Malvin, sih, gak masalah. Selama hal itu gak membuatnya rugi, apa salahnya?

Namun, Diana tak kunjung hingga kini. Padahal sejak tadi bilangnya sudah ada di perjalanan. Sang remaja lantas berdecak.

"Belum pulang, Vin?" tanya Shafa yang tengah melintas bersama Maudy.

Malvin tersenyum tipis. "Belum, nih," balasnya singkat. Shafa hanya mengangguk dan pamit pulang, meninggalkan Malvin yang kini tampak menghela napasnya kesal.

Pandangannya kembali menunduk, mengutak-atik ponselnya untuk mengirimkan pesan pada Diana. Sepasang sepatu yang berhenti tepat di hadapannya membuat sang remaja mendongakkan kepala dengan mata yang sedikit menyipit karena silau sinar matahari.

Menatap sepasang netra yang tak jauh berbeda dengannya, tubuh Malvin mematung. Ponsel yang ia pegang hampir saja terjatuh karena rasa terkejutnya. "Mama?" gumamnya yang terdengar seperti bisikan.

Wanita itu tersenyum manis, mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut surai cokelat milik Malvin. "Apa kabar?" tanyanya yang langsung membuat kelopak sang remaja terasa basah. Pandangannya memburam ketika air mata mulai berkumpul.

Tak ingin membuang waktu, Malvin memeluk erat tubuh sang Mama yang sangat ia rindukan. "Kangen ...," bisiknya di sela tangis. Wanita itu mengangguk, mengusap punggung Malvin yang bergetar karena menangis.

"Kamu jadi mirip banget sama Papa mu, ya? Gimana kabar dia sekarang?" tanya sang Mama seolah sedang basa-basi.

Malvin melepaskan pelukannya, menatap netra Mamanya lamat-lamat. "Papa baik. Dia gak kayak dulu, terlalu sibuk sama pekerjaan. Sekarang lebih sering ngeluangin waktu buat di rumah."

Mama kembali mengangguk, ada rasa syukur yang ia panjatkan dalam hati. Tak ada penyesalan yang ia simpan ketika melihat kondisi Malvin yang sangat baik, ketimbang hari dimana ia meninggalkan anaknya dulu.

"Diana ngerawat kamu dengan baik, ya?"

Malvin mengangguk cepat. "Mama Diana baik, dia sayang sama aku juga, Ma."

Mama Diana? perasaan tak suka muncul begitu saja, membuat Mama menurunkan tangannya yang semula masih mengusap surai Malvin. Wanita itu mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya, lalu memperlihatkannya pada sang putra.

"Mama liat kamu juga ikut lomba olimpiade," katanya yang langsung membuat netra Malvin membulat bingung.

"Mama tau dari mana?"

Mendengkus sejenak, wanita itu akhirnya menunjukkan sebuah nama yang tertulis di kertas. "Aksa, anak tiri Mama juga ikut di perlombaan itu. Kalian bakal jadi saingan."

Bibir malvin kelu, ia hanya terdiam, masih tidak mengerti arah pembicaraan sang Mama. "Tapi Malvin, Mama gak suka kalau harus milih salah satu diantara kalian. Apa kamu gak bisa mundur aja dari perlombaan itu?"

Malvin terdiam. Jadi, alasan Mama datang jauh-jauh ke sekolahnya hanya untuk membujuk Malvin mundur dari perlombaan itu? Sang remaja menunduk, tertawa sarkas hingga membuat Mama menatapnya penuh tanya.

Mengusap wajahnya, kini netranya melirik dengan tajam. "Mama gak perlu repot-repot nyuruh aku mundur, karena udah pasti aku gak akan ngelakuin itu. Aku pikir Mama datang ke sini karena kangen sama aku, kayak hari itu, tapi ternyata Mama punya maksud lain."

Sorot kecewa yang terpampang jelas di kedua manik Malvin membuat perasaan Mama campur aduk. Remaja itu mendongakkan kepalanya ketika air mata berlomba-lomba ingin turun. Malvin benci perasan ini, ia hanya akan terlihat lemah dan cengeng di hadapan sang Mama.

Melihat mobil putih milik Diana melintas, Malvin kembali menatap netra Mama. "Mama Diana udah jemput, aku pulang dulu."

Tangan Mama sempat terulur, memegang erat lengan putranya untuk menahan. "Coba kamu pikirin semuanya lagi, Vin."

"Apanya yang perlu di pikirin?! Satu-satunya orang yang perlu mikir itu Mama! Memangnya apa yang pernah Mama kasih ke aku selain ngehadirin aku ke dunia yang jahat ini, Ma?! Mama ninggalin aku, nolak kehadiran aku, aku masih baik-baik aja."

Malvin menarik napasnya dalam-dalam, menghalau rasa sesak yang bersemayam dalam dadanya. "Mama bahkan gak pernah tau perjuangan ku buat sampai di titik ini, tapi dengan gampangnya Mama nyuruh aku mundur cuman demi anak tiri Mama itu?" Malvin tertawa keras, tawa yang biasa ia gunakan untuk menutup lukanya.

Rangkulan yang terasa di pundaknya membuat Malvin menoleh. Sosok yang lebih tinggi darinya, memasang wajah datar dengan aura dingin yang kentara di tengah teriknya matahari siang ini. Papa, Malvin sedikit terbelalak melihat kehadiran pria itu.

"Pergi dari sini," ujarnya dengan tatapan dingin ke arah mantan istrinya. "Jangan pernah temui Malvin lagi, kamu sama sekali gak pantas di sebut Mama."

Kepala Malvin menunduk, ia takut. Takut kalau Papa akan memarahi dirinya habis-habisan setelah ini. Melihat itu, Diana menggenggam erat tangan putra tirinya.

Lirikan dari orang-orang sekitar membuat Mama merasa kalah. Wanita itu berdecak dengan wajah memerah karena emosi. Lantas setelah melirik pada Malvin yang terdiam, ia segera pergi menuju mobilnya.

"Pa," panggil Malvin seraya menarik ujuk jas yang pria itu kenakan. Akan tetapi, Papa langsung membalikkan badannya seolah tak acuh.

"Gak usah di jelasin, Papa udah denger semuanya," katanya yang langsung membuat Malvin kembali lesu.

"Eum, ayo kita pulang. Lanjutin di rumah aja, gak enak di liatin orang gini." Diana menarik lengan sang suami, sementara tangannya yang lain menggenggam tangan Malvin dan menuntun mereka menuju mobil.

Helaan napas Kembali terdengar. "Sejak kapan dia suka nemuin kamu kayak gitu?"

"Gak sering, Pa. Cuman dua kali. Pertama waktu aku ketemu di supermarket waktu belanja sama Mama Diana, terus yang kedua sekarang." Malvin memainkan kukunya dengan gugup, pandangannya terus menunduk, membuat Papa yang melirik pada kaca jadi merasa tak tega.

"Sekarang kamu ngerti kenapa Papa gak bolehin kamu ketemu sama dia, kan? Bahkan Papa harap kamu bisa menilai sendiri, Malvin. Dibandingkan Mama kandungmu, Diana lebih sayang sama kamu."

"Iya ...," balas Malvin lesu. Remaja itu menyandarkan punggungnya, kemudian memejamkan mata.

"Jadi, tujuan kamu sekarang bagaimana? Dulu kamu sibuk mengejar target, kalau menang Papa harus ngizinin kamu ketemu Mama. Apa setelah ini kamu masih berharap ketemu dia?"

Diana menolehkan kepalanya, melihat keadaan Malvin yang berada di kursi belakang. Sementara Malvin hanya membiarkan pertanyaan itu untuk sesaat, sebelum bibirnya kembali berucap, "Enggak, tapi sekarang aku punya tujuan lain. Aku jadi pengen ngalahin si Aksa itu. Pokoknya, gimanapun juga, aku harus buktiin ke Mama kalau aku bisa lebih dari apa yang dia duga."

Mendengar itu, Diana kembali menegakkan tubuhnya. Bibirnya tersenyum tipis. Ambisius, persis seperti Papanya, batinnya, kemudian geleng-geleng kepala.

___

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang