"Kak! Gue pergi dulu, ya?" Langkah Maudy terhenti ketika pintu kamar Shafa terbuka. Di depan pintu, sang kakak berdiri dengan daster milik Ibu yang sengaja di curi dari lemari. Maudy memutar bola matanya malas.
"Balikin, tuh, daster Ibu. Kemaren gue di tanyain, tau?"
"Nanti gue bilang ke Ibu dasternya buat gue aja, soalnya enak di pake."
"Kebiasaan! Lama-lama daster Ibu habis lo pake semua." Maudy mengetuk kepalanya pelan. "Aduh, jadi lupa, kan, kalo gue mau pamit! Jaga rumah, ya? Gue mau jalan sama Haris, bye!"
Pintu rumah Maudy tutup lumayan keras. Shafa meringis pelan, perkiraannya benar. Maudy dan Haris pasti sudah menjalin hubungan. Ah, Shafa jadi iri. Selama di masa SMA, ia belum menemukan seseorang sebagai pemanis masa remajanya.
Selama ini ia selalu belajar, belajar, dan belajar. Mengabaikan hal lain yang tak penting agar prestasinya di sekolah tak menurun. Menggeleng pelan, Shafa akhirnya kembali masuk ke dalam kamarnya setelah mengunci pintu utama.
Membuka laci meja belajarnya, Shafa mengeluarkan satu pack masker yang ia beli semalam. Senyumnya perlahan terbit. Duduk di depan kaca, gadis itu menghembuskan napasnya sejenak.
"Jangan maksain diri, Fa."
Perkataan Malvin tadi siang kembali berputar dalam kepalanya, membuat Shafa merasa ragu untuk sesaat. Tapi kemudian, gadis itu menggeleng pelan. "Apa, sih? Gue ngelakuin ini buat diri gue sendiri, kok. Sempurna di mata orang lain itu bonusnya, hehe."
Ibu bahkan heran sendiri dengan tingkah anak sulungnya di pagi-pagi buta. Di saat orang lain masih terlelap, Shafa sudah berperang di dapur untuk memasak makanan sahurnya. Waktu Ibu bertanya, Shafa bilang mau puasa.
Sebuah kejadian langkah hingga Ibu sempat menganga untuk sesaat. Takutnya karena masih dalam mode mengantuk, wanita itu salah dengar. Namun melihat Shafa sudah mengambil nasi, Ibu kembali bertanya untuk memastikan.
Pada akhirnya, Ibu hanya bisa menggeleng heran dan pergi. Padahal biasanya Shafa paling anti dengan yang namanya puasa. Tapi agaknya tekad gadis itu lebih besar hingga mengalahkan nafsunya sendiri. Ibu tak bisa memberikan apapun selain dukungan.
Melihat Shafa selalu sedih ketika teman-temannya membahas tentang perawatan maupun berat badan, Ibu juga turut merasa sedih. Bahkan tak jarang saudaranya yang datang ke rumah malah turut membandingkan Shafa dengan anaknya, membuat hati Ibu terasa sangat sakit.
Selesai dengan maskernya, Shafa berjalan menuju kasur dan membaringkan tubuhnya di sana. Suara notifikasi membuat sang gadis meraih ponselnya yang tertutup bantal.
| Shafaa
| Kalo belajar bareng selain di sekolah bisa?
| Gue masih ngerasa kurang banget walaupun gue yakin kita pasti menang, kan lo peraih medali emas :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Teen Fiction[ Selesai ] "Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka." Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...