"Kak?" Maudy mengernyitkan dahinya dengan tatapan heran. Toples berisi kacang goreng yang berada di pangkuannya kini ia letakkan di atas meja dan menghampiri sang kakak.
"Lo mau ke mana?" tanyanya.
Shafa mengikat tali sepatunya lebih erat, lalu memakai topinya dan berdiri dari duduk. "Mau keliling bentar," jawabnya dengan cengiran lebar.
"Lo ... mau diet, ya?" Tatapan Maudy memicing.
Shafa menggaruk tengkuknya, kemudian mengangguk pelan. "Gue pengen ada perubahan. Badan kayak gini gak ada bagus-bagusnya, Dy."
Maudy menghela napas begitu saja, membuat Shafa merasa malu. Sebenarnya alasannya tak pernah melakukan olahraga semacam ini, salah satunya karena gengsi.
"Ada yang ngejek lo? Siapa orangnya? Biar besok gue habisin," ucap Maudy enteng. Shafa meneguk salivanya. Selama ini, Maudy yang ia kenal gak pernah sekalipun bermain-main dengan ucapannya.
"Nggak ada, lah! Ini kemauan gue sendiri, kok."
Pada akhirnya, Maudy hanya bisa menghela napas sekali lagi. Gadis itu tak berucap apapun, bahkan ketika Shafa mulai meninggalkan halaman rumah setelah melakukan pemanasan ringan. Maudy tau betul, Shafa tak mungkin berubah secara tiba-tiba seperti ini.
Tangan gadis itu mengepal secara perlahan, apa dia perlu menyelidiki siapa orang yang berani menyakiti sang kakak?
. . .
Langkah sang gadis berhenti begitu saja di depan sebuah taman kecil di komplek perumahannya. Shafa menumpu tangannya pada kedua lutut sembari mengatur napas yang naik-turun.
Ia sudah menduga hal ini tak akan mudah untuk di lakukan. Sebenarnya, Shafa sedikit menyesal karena harus menyusahkan dirinya di sore yang sejuk ini. Seharusnya, saat ini ia sedang memakan camilan sembari menonton televisi bersama Maudy di ruang tengah.
Tangan sang gadis kini merogoh saku, mengeluarkan earphone dan memutar musik untuk mengusir rasa jenuhnya. Sebelum kembali berlari, Shafa terlebih dahulu membuka aplikasi chat di ponselnya.
Maniknya mulai bergetar dan berkaca-kaca. Sebuah pesan makian yang ia terima tadi pagi sangat melukai hatinya. Tadinya Shafa ingin menghapus pesan anonim ini dan bersikap seperti biasa. Seolah ia tak pernah menerima pesan ini sebelumnya.
Namun, niat itu ia urungkan. Semangatnya mengenai perubahan itu kembali membara. Shafa menyimpan pesan itu pada akhirnya, lalu ia baca saat ia kembali kehilangan motivasi untuk perubahan itu sendiri.
"Baru juga tujuh menit, semangat Shafa!" ujar Shafa sembari mengepalkan tangan, memberi semangat pada dirinya sendiri.
Sejak kecil, Shafa selalu menerima perkataan tak menyenangkan dari orang-orang di sekitarnya. Katanya, Shafa tak bisa menjaga dan merawat dirinya sendiri hanya karena wajahnya jerawatan. Saudaranya yang berkunjung ke rumah juga pernah memarahi Ibu, katanya jangan memanjakan Shafa dengan memberinya banyak porsi makan.
Padahal kenyataannya tak seperti itu. Meski Ibu membelanya kala itu, Shafa tetap tak bisa menerima kata-kata menyakitkan itu. Memangnya seburuk itu dirinya di mata orang lain?
Badannya yang seperti ini adalah pemberian dari tuhan. Walaupun Shafa jarang makan, berat badannya hanya akan turun beberapa kilo, kemudian naik lagi seperti semula. Tadinya ia tak ingin repot-repot menurunkan berat badannya hanya karena omongan orang lain.
Namun, ia rasa perkataan mereka semakin keterlaluan.
Shafa semakin tak bisa menerima kata-kata itu, mungkin karena sudah muak juga. Makanya, Shafa berusaha keras mengubah dirinya hingga orang-orang hanya bisa berdecak kagum tiap kali melihat dirinya.
"Persetan, gue capek!"
Ah, agaknya Shafa lupa satu hal. Bahwa mengubah sama halnya dengan mengorbankan. Duduk di atas rerumputan, kaki sang gadis berselonjor dengan napas naik-turun. Berlari itu sangat menyusahkan, dan sayangnya, Shafa harus membiasakan dirinya mulai sekarang.
Lagu yang mengalun di earphone miliknya gadis itu dengarkan dalam kebisuan. Besok-besok ia akan mengajak Maudy dan menggeret adiknya itu untuk menemaninya. Demi apapun, Shafa merasa bosan karena lari sendirian.
Di tengah lamunannya itu, sebuah bola mengarah padanya, membuat Shafa refleks menutup wajahnya sebagai bentuk pertahanan diri—walaupun sia-sia.
"Udah, gak kena juga." Suara berat itu membuat Shafa mendongakkan kepalanya. Mata Gerry memicing sinis, memperhatikan penampilan Shafa dengan seksama.
Celana training dan baju kaos yang kebesaran, serta topi yang menutupi kepalanya. "Lo lagi olahraga?" tanya Gerry, hampir tertawa. Kalau saja Shafa tak segera memalingkan wajah, remaja itu pasti sudah mengejek habis dirinya saat ini.
Di luar dugaannya, Gerry justru mengambil posisi duduk di sebelah Shafa. Tangannya mencabuti rumput dengan kesal. "Gue putus sama Nada," ujarnya jujur, meski Shafa tak bertanya apapun.
"Dia ngajak gue jalan tadi, udah gue duga juga, sih."
Netra hazel milik Gerry melirik pada sang gadis yang masih saja bungkam. "Lo tau, kan, kalau dia bakalan mutusin gue? Yah, sebenarnya gue juga gak masalah, sih. Gue juga gak ada rasa lagi ke dia. Kerjaannya cuman morotin doang."
Gerry mendengkus, ia dan Shafa memang tak pernah dekat sebelumnya. Tapi mengingat gadis itu dan Nada adalah teman sebangku, seharusnya Shafa sedikit merasa penasaran. Gerry jadi canggung untuk kembali bersuara dan menceritakan detik-detik putusnya hubungan antara Nada dan dirinya.
Berdecak kesal, akhirnya remaja itu berdiri. "Lo gak seru 'ah!"
Mata Shafa membola mendengar ucapan itu. "Emang gue harus gimana? Ngasih ucapan selamat? Oh, lo pasti seneng karena akhirnya Nada gak morotin lo lagi, kan?"
Shafa berdiri dari duduknya, sedikit mendongak untuk menatap sepasang manik Gerry yang lebih tinggi darinya. "Jangan pernah nyari-nyari gue lagi buat nanya kabar dia. Gue capek lo teror terus cuman karena dia gak ngasih kabar ke lo, tau?"
Gerry tersenyum. Sebuah senyum yang sulit Shafa definisikan. Gadis itu meraih topi yang sebelumnya ia buka, kemudian hendak pergi dari sana kalau saja suara Gerry tak menghentikan langkahnya.
"Cuman karena gue sama dia udah putus, bukan berarti lo aman," katanya sembari menyusul langkah Shafa dan berhenti di hadapan gadis itu. "Gue baru aja kepikiran buat nagih semua uang gue yang dia hamburin. Semua hal yang pernah dia beli pake uang gue, bilang ke dia kalau gue minta balikin semuanya."
"Lo gila?!" Demi apapun, Shafa tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya atas pemikiran gila Gerry. Tentu saja uang Gerry yang Nada pakai bukan sedikit, mengingat gadis itu hobi sekali berbelanja.
"Kenapa? Gue nagih duit gue ke dia, bukan ke lo, kok."
Shafa menggeleng pelan, mengubah ekspresinya seolah acuh tak acuh. "Terus hubungannya sama gue apa? Gue udah gak berteman lagi sama dia, jadi jangan ganggu gue!"
"Masa, sih? Tapi gue cuman punya nomor lo. Pokoknya sampai semua uang gue balik, gue bakalan terus-terusan neror lo. Makanya, jangan lupa ingetin dia, oke?" Setelah berucap demikian, Gerry pergi begitu saja, meninggalkan Shafa di bawah cahaya senja dengan mulut menganga tak percaya.
Nada memang hanya membawa kesialan untuknya. Sepertinya Shafa harus pindah posisi tempat duduk agar tak bersebelahan dengan gadis itu lagi.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Teen Fiction[ Selesai ] "Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka." Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...