[ Selesai ]
"Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka."
Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
|gue ngumpul bareng temen, pulang sorean
| Udh izin ke Ibu
Shafa menghentikan langkahnya begitu sampai di depan pintu rumah. Setelah mengetikkan balasan singkat, senyum gadis itu merekah sempurna. Maudy tak ada di rumah, dan Ibu sedang bekerja. Artinya dia mendapatkan kebebasan penuh kali ini.
Membuka pintu rumahnya, sang gadis langsung melangkah menuju kamar Maudy. Peralatan make up yang tadi pagi adiknya ambil, kembali ia bawa ke dalam kamarnya. Semoga saja Maudy belum pulang saat ia tengah memoles wajahnya nanti.
Tadi sembari menunggu Malvin karena jenuh, Shafa sempat membuka video tutorial untuk kesekian kalinya. Shafa tak mengerti apa yang salah, tapi hasil riasannya seringkali berbeda jauh dengan apa yang ia tonton itu.
Sebelum benar-benar memoles wajahnya, gadis itu mengunci pintu kamar terlebih dahulu, takut kalau Maudy datang tiba-tiba dan langsung masuk ke kamarnya.
Shafa menarik napas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan dan tersenyum pada pantulan dirinya di depan cermin. Video yang ia tonton tadi kembali ia putar sembari memoles satu persatu bahan make up pada wajahnya.
| Kak
Shafa menghentikan kegiatannya saat ingin mengukir alis. Notifikasi yang muncul membuat sang gadis segera membuka ruang pesannya dengan Maudy. Saat jarinya hendak mengetikkan balasan, Maudy sudah lebih dulu mengirim pesan selanjutnya.
| Gue pesenin makanan, ntar lagi orgnya nyampe
| Ibu yg nyuruh, soalnya Ibu g masak
| Bayar pake duit yg ada di laci dapur
Wajah Shafa langsung menegang sempurna. Netranya beralih pada cermin yang memantulkan potret dirinya. "Mati gue!" ucapnya frustasi.
Riasannya belum selesai. Lagian kenapa Maudy tiba-tiba saja begitu perhatian padanya dengan memesankan makanan? Ini gak seperti biasanya!
Dengan langkah cepat, Shafa berlari menuju wastafel cuci piring dan menghapus make up yang menempel di wajahnya dengan asal. Namun belum sampai terhapus, pintu rumahnya sudah di ketuk secara beruntun.
"Aishh!" desis Shafa dengan kesal. Pikirannya mendadak kacau. Shafa tak bisa berpikir di waktu yang sempit ini. Peraih medali emas di olimpiade cabang geografi seperti dirinya sangat kepayahan kalau di hadapkan situasi yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Tanpa pikir panjang, Shafa membuka laci dapur yang Maudy katakan tadi, lantas mengambil uang yang sengaja Ibu tinggalkan di sana untuk keperluan mendadak.
"Permisi?" panggil seorang kurir pengantar makanan yang Maudy pesan via online.
"S-sebentar." Shafa menarik napas dalam sebelum benar-benar membukakan pintu. Ia tak bisa menduga-duga bagaimana rupa wajahnya saat ini. Ia bahkan tak sempat berkaca dulu karena kurir pengantar makanan itu sudah memanggil namanya berulang kali.
Ketika pintu ia buka, kurir pengantar makanan itu berteriak histeris yang mana membuatnya juga tak kalah berteriak karena terkejut.
"SETANN!"
Makanan miliknya di letakkan begitu saja. Alis Shafa menyatu dengan tatapan bingung ketika sang kurir pergi begitu saja tanpa menerima sepeserpun bayaran darinya. "Maksudnya setan itu ngatain gue ya?" ucapnya pelan yang penuh akan tanda tanya.
. . .
Mengabaikan buku-buku yang terbuka lebar di hadapannya, Malvin justru sibuk menekan tombol pada kamera miliknya. Sesekali keluar kekehan dari bibir tipisnya. "Lho, sampe sini pita yang dia pake gak ada lagi? Hilang, kah?" gumamnya pelan ketika sedang memperhatikan foto seorang gadis yang ia potret secara sembunyi-sembunyi.
Derit pintu kamarnya yang dibuka oleh seseorang, membuat sang remaja menoleh. "Ayo turun, Papa udah nunggu di meja makan." ajakan dengan suara penuh kelembutan itu membuat Malvin mengangguk cepat.
Malvin memanggilnya Tante, karena baginya tak ada seorangpun yang bisa menggantikan posisi Mama dalam hidupnya. Tepat ketika usianya delapan tahun, kedua orangtuanya bercerai dengan alasan yang tak bisa Malvin terima. Katanya, mereka tak saling mencintai dan menikah demi bisnis keluarga dan perjodohan.
Saat itu Malvin bersikeras ingin ikut Mama, karena bagaimanapun juga, Mama adalah cinta pertama yang Malvin punya. Tapi penolakan Mama padanya membuat Malvin terpaksa mengikuti sang Papa.
Tak apa. Toh, Malvin masih baik-baik saja meski Mama menolak kehadirannya secara terang-terangan, setidaknya untuk saat ini. Yang harus ia lakukan atas penolakan itu adalah balas budi pada Papa yang secara sukarela mau menampungnya.
Malvin pernah berpikir kalau Papa membencinya karena merasa ia adalah beban yang seharusnya tak ada. Karena itu selama ini Papa selalu menekannya untuk mendapatkan nilai sempurna, meski yang ia dapati jauh dari kata itu.
Tapi kalau di lihat dari sudut pandang Papa, sepertinya Papa hanya ingin menunjukkan pada Mama bahwa ia berhasil mendidik putra tunggalnya seorang diri.
Malvin tersenyum tipis mengingat pikiran-pikiran sempitnya kala itu. Meletakkan kamera miliknya di atas meja, remaja itu melangkah keluar.
Seperti biasanya, makan malam bersama Papa artinya makan dengan kebisuan. Tak ada yang berani buka suara sebelum pria yang penuh kedisiplinan itu buka suara terlebih dahulu.
"Gimana klub olimpiadenya?" tanya Papa dengan nada suaranya yang selalu tegas. Pria itu meletakkan sendok miliknya dan menatap manik cokelat milik sang putra.
Malvin tersenyum canggung. "Aku ikut tes dulu tadi, tapi langsung di terima sama Bu Rara," jawabnya apa adanya.
Papa mengangguk pelan. "Bagus. Kalau udah tau bisa noreh prestasi gini, pertahankan juga absensi kamu. Papa gak akan ngizinin Diana buat datang ke sekolah karena masalah absensi kamu lagi."
Merasa namanya di sebut, Diana—Mama tirinya Malvin—mengangkat kepalanya. Malvin mengangguk cepat. "Aku juga gak mau ngerepotin Tante lagi, kok."
Meski sudah hampir lima tahun mendapat panggilan yang sama, Diana masih merasa janggal dan tak enak mendengar Malvin memanggilnya seperti itu. Namun bagaimanapun juga, ia tak bisa memaksa Malvin untuk menerima dirinya yang tiba-tiba saja masuk ke dalam dunianya.
Papa menyandarkan punggungnya setelah meneguk segelas air. "Sampai kapan kamu mau manggil Diana begitu? Panggil dia Mama! Sudah berapa kali Papa bilang?"
"Udah berapa kali aku bilang? Mama ku cuman satu—"
"Maksud kamu orang yang udah ngebuang kamu itu?" Tawa Papa terdengar setelahnya. Malvin meneguk saliva dengan pandangan menunduk.
"Emang kenapa kalau dia buang aku? Hubungan darah gak bisa putus gitu aja, Pa."
Rahang Papa tampak menegas, tanda bahwa pria itu sudah mulai terpancing emosi. Malvin mengepalkan tangannya, bersiap membalas kata-kata ejekan yang sekiranya akan Papa lontarkan untuknya. Namun dugaannya salah. Pria itu memilih pergi seraya mengeluarkan bungkusan rokok di sakunya.
"Kalau sampai Papa tau kamu belum keluar dari klub fotografi, Papa sendiri yang akan turun tangan dan menemui pembinanya."
"Pa! Kenapa malah bahas fotografi coba?!" balas Malvin tak terima. Namun sang Papa sudah pergi ke luar rumah dengan sebatang rokok yang menyala. Pria itu bahkan tak membalikkan bada untuk sekedar memberikan alasan kenapa Malvin masih di ancam untuk keluar dari klub yang ia minati.
Diana segera menghampiri sang putra, lalu mengelus punggung Malvin dengan pelan. "Nanti Tante bicarakan sama Papamu, ya? Tenang aja, Tante selalu di pihak kamu, kok."
Tangan Malvin yang semula mengepal perlahan mengendur. Netranya menatap tepat pada manik Diana. Tak ada kepalsuan di dalam sana, Malvin benar-benar tenggelam dan percaya sepenuhnya, bahwa ia tak lagi sendirian sekarang. Ada seseorang yang menolongnya, dan orang itu bukanlah Mama yang selama ini masih ia harapkan kehadirannya.