• 04 •

11 5 0
                                    

Bunyi jepretan kamera di pagi-pagi buta berhasil membuat atensi Shafa teralihkan dari kamera yang ia pegang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bunyi jepretan kamera di pagi-pagi buta berhasil membuat atensi Shafa teralihkan dari kamera yang ia pegang. Gadis itu sempat menyipitkan matanya, memastikan bahwa yang ia lihat tidaklah salah.

"Malvin?" panggilnya hingga sang remaja menoleh.

"Oh, hai? Tumben, ada urusan apa di sini?" tanya Malvin acuh tak acuh. Remaja itu tengah mengutak-atik kamera miliknya dan kembali memfokuskan objek yang tengah ia jepret.

"Gue mau balikin kamera. Lo ngapain di depan klub fotografi?"

Gerakan Malvin langsung terhenti begitu saja. Alisnya terangkat bingung. "Lo anggota fotografi juga?" Yang mana pertanyaannya langsung di angguki oleh Shafa. Melanjutkan langkahnya, kini sang gadis berdiri tepat di samping Malvin dan mencari objek yang tengah remaja itu jepret sejak tadi.

"Kenapa gue baru tau lo anggota fotografi?" tanya Malvin masih dengan rasa penasarannya. Badannya menghadap pada Shafa, menunggu jawaban dari gadis itu.

"Mungkin emang belum takdirnya, hehe. Lagian lo gak pernah ada waktu anggota pada ngumpul. Gue, sih, pernah sekali ngeliat nama lo di daftar pinjaman kamera. Gak sengaja juga waktu gue mau minjem kamera yang sama waktu itu."

Kepala Malvin mengangguk pelan. Remaja itu kembali mengangkat kameranya dan menatap objek yang berhasil ia jepret tadi. Merasa penasaran, netra Shafa melirik. "Siapa, sih? Ada cewek yang lo suka, ya?"

Senyum Malvin melebar begitu saja, membuat Shafa terkekeh melihatnya. "Ada, deh...," jawabnya yang mana membuat Shafa tak berani mengulik lebih jauh.

Toh, keduanya tak sedekat itu untuk sekedar berbagi cerita pribadi.

"Nanti siang jangan lupa, ada bimbingan sama Bu Rara. Katanya gak lama lagi bakalan ada lomba, sih."

Bahu Malvin merosot begitu mendengar ucapan Shafa. "Baru juga masuk sekolah, udah ada lomba aja, elahh."

"Justru bagus, dong? Apalagi kalau lo sampai kepilih buat wakilin sekolah."

"Lebih bagus lagi kalau jadi partner lo, kan?" Alis Malvin naik turun dengan genit. Melihat Shafa yang selalu salah tingkah tiap kali ia goda, membuat perutnya serasa menggelitik.

"Apaan, sih?!" ucap Shafa kesal seraya membalikkan badannya. Mengabaikan Malvin yang masih tertawa karena ulahnya sendiri, Shafa kini masuk ke dalam ruang klub fotografi di mana banyak foto polaroid hasil jepretan milik anggotanya tertempel di mading yang berada di sisi kanan pintu masuk.

Gadis itu mendekat pada mading, mengamati salah satu foto yang selalu berhasil membuatnya tertegun. Tangannya terangkat, lantas mengelus pelan foto itu. "Kalau mau jadi objek, harus enak di pandang. Kalau gak ya malah jadi ngerusak pemandangan," gumam gadis itu dengan senyum miris.

"Lo ngomong sama siapa?" Kepala Malvin menyembul di daun pintu. Namun dengan cepat, Shafa menggelengkan kepalanya. Tangannya turun dengan perlahan, membuat Malvin kembali menegakkan tubuhnya.

"Kalau ada apa-apa cerita sama gue juga gak masalah. Mungkin kita baru kenal, tapi gak menutup kemungkinan kalau setelah pertemuan kemarin, bakalan ada pertemuan-pertemuan berikutnya."

. . .

"Gue tadi liat lo di ruang fotografi," ucap Nada seraya menyerahkan pena milik Shafa yang ia pinjam. Gadis itu mendekatkan tubuhnya. "Kalian ngomongin apa?" tanyanya, lalu menopang dagu seolah tengah bersiap untuk cerita panjang yang akan Shafa sampaikan.

Namun sayangnya, gadis berambut ikal itu tak menjawab. Kegiatannya yang sempat terhenti kembali ia jalankan dan mengabaikan tatapan Nada yang seolah tengah menuntutnya.

"Gak ada apa-apa. Dia cuman kaget karena ternyata gue sama dia juga satu ekskul," balas Shafa singkat. Netra cokelat gadis itu menatap penuh pada papan tulis yang sudah di penuhi rumus, lalu menyalin ke buku catatannya.

Nada memutar bola matanya malas. Punggungnya ia sandarkan pada kursi. Percuma, Shafa dengan mode masa bodonya tetap tak akan buka suara meski ia sudah memancarkan aura mengintimidasi.

"Pulang sekolah gue mau ngajak Gerry jalan," ucap Nada dengan senyuman. "Terus pas pulang gue mau putusin dia."

Shafa tak lagi terkejut. Bukan sekali dua kali pula Nada melakukan hal yang sama saat akan memutuskan hubungan dengan pacarnya. Cara gadis itu selalu sama, di buat bahagia, lalu di jatuhkan.

"Oh, ya? Terus selanjutnya target lo siapa lagi?" tanya Shafa acuh tak acuh.

"Malvin," Nada menjawab cepat, membuat gerakan Shafa terhenti.

"Dia anak pemilik yayasan, makanya gue jadiin dia target. Mungkin agak susah di deketin, sih, soalnya dia aja gak pernah deket sama temen sekelasnya. Informasi yang gue dapet juga sudah banget."

Kini, atensi Shafa sepenuhnya menatap manik Nada yang penuh dengan kelicikan. Bibir gadis itu tersenyum seolah kata putus yang akan ia ucapkan pada Gerry nanti bukanlah masalah besar. Dan target yang ia tentukan bukanlah perkara yang sulit untuk di dapatkan.

"Jadi, lo harus bantuin gue ya, Fa."

"Enggak! Gue gak mau ikut campur lagi. Kemaren waktu lo berantem sama Gerry aja gue di teror sama dia karena dia taunya lo deket sama gue," tolak Shafa dengan cepat.

Bibir Nada mengerucut. "Ih, tapi yang bakalan deket sama Malvin cuman lo karena kalian satu bidang olimpiade! Please, Fa..., nanti hasilnya bagi dua, deh."

Shafa menatap Nada tak percaya. "Lo kira gue butuh itu? Nad, gue gak mau berurusan sama target-target lo itu."

"Yakin gak butuh? Padahal lumayan buat nambah beli makanan. Gue liat sekarang lo agak kurusan, diet ya?"

Bibir Shafa langsung bungkam. Gadis itu memalingkan wajahnya dan kembali mencatat rumus yang ada. Nada dan ucapan tajamnya sudah kembali, dan ia membenci hal itu. Dari pada meladeni dan berujung terluka lagi, lebih baik Shafa abaikan.

"Kenapa? Bener, ya? Fa, lo itu lucu kalo gendut. Jangan jadi kurus, nanti gak ada yang lucu lagi di kelas ini. Oke?" Satu cubitan gemas di pipinya membuat Shafa mengusapnya seraya meringis. Bersamaan dengan itu, Nada pergi menyusul teman-temannya yang ada di sudut kelas bersama alat make up yang berserakan di atas meja.

Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, memikirkan kembali ucapan Nada tadi. Soal berat badannya yang menurun, Shafa tak pernah sekalipun berniat menurunkannya. Hanya saja, memang belakangan ini ia sedang berada dalam fase malas makan.

Mungkin saat pulang dari sini Shafa harus kembali menimbang berat badannya, memeriksa apa yang di katakan Nada benar atau tidak. Karena sejujurnya, Shafa pun berharap demikian.

Berada di catatan terakhirnya, Shafa menghela napas lega. Ketika hendak mengemasi barang miliknya, panggilan dari arah pintu itu membuat gerakannya terhenti.

"Shafa! Ada yang nyariin!" teriak salah satu teman sekelasnya.

Alis Shafa terangkat dengan tatapan bingung. Tak biasanya ada seseorang yang mencarinya seperti ini.

"Gilaa! Itu si Malvin anaknya ketua yayasan, kan?"

Mendengar itu, kepala Shafa langsung menunduk. Untuk apa Malvin menghampirinya hingga menimbulkan keributan seperti ini? Kini, lorong kelasnya di penuhi dengan tatapan kagum yang menyorot pada sang remaja.

___

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang