Malvin melirik pada ponselnya yang tergeletak di atas meja. Heningnya notifikasi, lantas membuat sang remaja berdecak kesal. Benda pipih itu ia raih, lalu ia hidupkan berharap apa yang tengah ia tunggu segera mengirimkannya pesan.
Namun, nihil. Malvin tak menemukan pesan berisi kabar dari Shafa yang sudah berangkat ke Semarang dua hari yang lalu. Kalau sesuai kesepakatan yang telah mereka ucapkan, seharusnya Shafa langsung memberinya kabar setelah sampai di sana.
Helaan napas yang ia lakukan berkali-kali nyatanya membuat Ghalih merasa kesal. Remaja itu memutar bola matanya malas, lalu berdecak. "Lo kenapa, sih?" tanyanya.
Malvin hanya melirik malas. "Emang gue kenapa?"
"Dari tadi buka tutup hp mulu, cewek lo belum bales chat, hah?"
"Bukan urusan lo," balas Malvin penuh penekanan. Ketika dirinya beranjak dari kursi, Ghalih hendak kembali bertanya, tapi jawaban terakhir Malvin yang seolah tak ingin di ganggu kembali membuat remaja itu mengurungkan niatnya.
"Dia yang ambis, dia sendiri yang gak fokus ngerjain soal," gumam Ghalih seraya berdecak pelan.
. . .
"Maudy!"
Panggilan yang terdengar nyaring itu membuat sang gadis segera membalikkan badannya, mencari sumber suara. Keningnya sedikit mengekerut ketika melihat sosok kakak kelasnya yang datang menghampiri dengan terburu-buru.
"Masih inget gue, kan?" tanya Malvin seraya mengatur napasnya yang memburu. Bibirnya tersenyum, menambah kesan manis pada wajah tampannya.
Awalnya Maudy sedikit lupa, karena hari itu adalah pertemuan pertama dan terakhir mereka. Ketika kepalanya mengangguk pelan meski sedikit ragu, senyum Malvin tambah lebar, membuat Maudy jadi salah tingkah dibuatnya.
"Gue mau nanya kabarnya Shafa, soalnya gue chat gak di bales. Dia udah nyampe Semarang, kan?"
Ah, dia yang nolong kakak waktu pingsan, batin Maudy. Kini ia yakin betul bahwa ingatannya tak mungkin salah.
"Udah nyampe, kok. Hp kakak hilang waktu sampai di bandara, jadi beli hp baru. Tapi ... kalian emang deket, ya?" Kening Maudy mengernyit.
Malvin mengerjapkan matanya lucu, membuat Maudy menggigit bibir bawahnya karena merasa gemas. Pikir Malvin, apa selama ini ia dan Shafa tak terlihat dekat? Padahal keduanya sering berpergian kemanapun bersama-sama.
"Gue gak masalah kalau kalian beneran deket, soalnya kakak gue dari dulu sering dapet temen yang cuman manfaatin pinternya dia doang. Fake, gak tulus," jelas Maudy. Bibir Malvin membulat dan kepalanya mengangguk mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Teen Fiction[ Selesai ] "Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka." Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...