• 25 •

13 5 0
                                    

"Silakan saling berkenalan, Ibu tinggal dulu, ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Silakan saling berkenalan, Ibu tinggal dulu, ya?"

Suara sepatu heels menggema di ruangan, hingga sosok Bu Rara pergi. Sementara itu, Malvin dan Ghalih kini saling tatap dengan canggung. Hingga pada akhirnya, bunyi gesekan terdengar ketika Ghalih memilih beranjak dari duduknya.

"Gue udah kenal lo, jadi kita gak perlu kenalan lagi," ucap Ghalih tanpa menatap lawan bicaranya.

"Oh? Tapi gue gak kenal lo, tuh. Lagian darimana lo bisa kenal gue? Kayak stalker aja," cibir Malvin seraya menyandarkan punggungnya pada kursi. Tangannya ia lipat di depan dada dengan gaya sedikit angkuh.

Ghalih berdecak kesal. Bandana yang terikat di kepalanya ia lepaskan seraya menatap Malvin dengan datar. "Siapa, sih, yang gak bakalan kenal sama anak pemilik yayasan?" katanya, lalu memberikan senyum smirk yang membuat Malvin memejamkan mata.

Embel-embel jabatan Papa selalu menempel di belakang namanya, membuat Malvin merasa kesal sendiri. Hanya karena sang Papa memiliki jabatan, ia jadi tak memiliki apapun yang bisa ia banggakan seorang diri. Malvin tau dirinya bisa kalau saja sejak dulu sedikit berusaha, tapi omongan tak enak seperti 'Dia bisa karena Papanya orang kaya' selalu menjadi buah bibir mereka. Ia tak suka mendengarnya.

Apa karena mereka orang berpunya lantas semuanya bisa di beli dengan uang? Kadang Malvin ingin tertawa dengan pikiran dangkal mereka.

"Gue cabut," ucapan Ghalih mengalihkan perhatian Malvin.

"Terus latihan olimpiade-nya?" tanya Malvin dengan alis yang saling bertaut.

"Lo aja yang ngerjain, gue sibuk," katanya, lalu melambaikan tangannya seraya berjalan meninggalkan Malvin yang tengah mengepalkan tangan.

Decakan keras terdengar. "Gak bisa gini, Fa. Gimana mau buktiin ke Mama kalau semuanya jadi berantakan gini?"

Ghalih memutar bola matanya malas. "Gitu aja nangis," gumamnya. Sengaja ia bersembunyi di balik tembok untuk melihat reaksi Malvin. Meski sebenarnya ia agak terkejut melihat ambisi remaja itu. Pikirnya, untuk apa susah payah mengerjakan latihan soal kalau orang tua Malvin punya cukup uang untuk membeli bocoran soal?

Namun pada akhirnya, pikiran itu ia tepis jauh-jauh. Ia tak yakin bisa mendapatkan medali emas seperti Shafa, tapi ia sangat yakin pada kemampuan dirinya, bahwa ia tak akan melenceng jauh dari juara tiga besar.

Ghalih tersenyum simpul. "Ah, capek jadi orang pinter ...," monolognya seorang diri seraya pergi dari sana. Ia akan belajar untuk olimpiade itu, tapi gak saat ini juga. Tenggorokannya lebih membutuhkan air es sekarang, membuatnya melipir ke arah kantin daripada ke kelasnya atau ruang klub.

. . .

Dari apa yang Malvin gali, ia jadi sedikit tau tentang latar belakang partner barunya. Ghalih memang anak MIPA, tapi tak sepintar yang Malvin duga. Bagaimana bisa peraih medali perak ini masuk dalam peringkat dua puluh besar di kelasnya? Rasanya Malvin ingin mengumpat, dunia terasa tak adil. Apa mungkin kemarin Ghalih sedang hoki hingga mendapatkan medali perak?

Meski begitu, banyak juga prestasi yang Ghalih raih di bidang non akademik. Misalnya, remaja itu sangat aktif di klub basketnya. Bahkan menurut rumor yang beredar, Ghalih akan diangkat menjadi kapten menggantikan kakak kelasnya.

"Malvin!" Suara familiar itu membuat sang remaja langsung membalikkan badannya. Senyumnya terbit kala melihat Shafa yang tengah berjalan ke arahnya.

"Maaf, lo nunggu lama ya?" tanya Shafa seraya menarik kursi untuk ia duduki. Malvin menggeleng cepat, lalu kembali duduk dan menyesap minuman yang telah ia pesan tadi.

Sementara Shafa mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan karena sempat berlari tadi. Karena tukang ojek yang ia pesan tadi tak mengerti tempat yang ia tuju secara spesifik, keduanya sempat kesasar tadi, hingga akhirnya Shafa memilih berlari daripada membuat Malvin menunggunya lebih lama.

Sebenarnya Ibu melarangnya untuk pergi tadi. Tapi karena bujukan halus darinya, pada akhirnya Ibu mengizinkan meski sedikit cemberut dan gak memberikannya uang saku.

"Bu Rara semalam chat gue, katanya udah ada yang gantiin posisi gue ya?" tanya Shafa langsung pada inti pembicaraan.

"Iya, anak MIPA. Namanya Ghalih, lo kenal?"

Shafa sedikit mengingat nama yang familiar itu, kemudian mengangguk yakin. Bagaimana bisa ia lupa pada sosok yang menolongnya pada hari pertama masuk saat kenaikan kelas itu? Ah, atau mungkin saat itu Ghalih-lah yang melemparkan bola basket ke arahnya?

"Iya, tau, kok. Syukur, deh, kalau ada yang gantiin. Gue sempet khawatir kalau akhirnya lo bakalan kesusahan karena rencana pindah gue yang mendadak banget."

Malvin tersenyum singkat. "Harus banget sampe pindah ya, Fa? Apa gak bisa nunggu sampai selesai lomba?" tanyanya dengan tatapan sendu.

Kepala Shafa menunduk. Pertanyaan yang sama sudah ia ajukan pada Ibu, tapi wanita itu menolak keras. Bahkan surat-surat pindahnya sudah Ibu urus tadi di sekolah. "Gak bisa, Ibu harus cepet-cepet ke Semarang, Vin. Beliau dapet bantuan kerja dari temannya. Gue, sih, maunya juga gitu. Tapi keadaannya gak berpihak."

Shafa menarik napasnya dalam-dalam. "Gue ngajak ketemuan karena pengen minta maaf sekaligus pamitan, gak etis rasanya pergi gitu aja, padahal sebelumnya kita berteman baik. Gue belum jadi partner yang baik buat lo, bahkan ninggalin gitu aja di detik-detik perlombaan."

"Apa, sih? Kenapa harus minta maaf? Toh, lo yang bilang sendiri kalau keadaan gak berpihak. Semuanya di luar kendali kita, Fa." Percayalah, meski bibirnya berkata demikian, Malvin merasakan hal yang sebaliknya dalam hatinya. Semuanya memang di luar kendali, tapi tak bisa Malvin pungkiri bahwa terkadang pun ia masih saja menyalahkan keadaan yang ada.

"Kalau udah sampai di sana, jangan lupa kabarin gue. Kita masih tetep temenan, kan?"

Shafa menatap lamat-lamat sepasang netra cokelat milik Malvin. Ia sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Malvin gak mau lost contact sama gue, batinnya. Jantungnya berdebar hingga akhirnya ia berdehem pelan dan mengangguk yakin.

"Lagian Maudy gak ikut ke Semarang, dia milih tinggal di sini, kemaren sempet drama nangis-nangis sama Ibu."

Netra Malvin membulat. "Lho, kenapa gak ikut? Terus dia di sini sama siapa?"

"Ada adiknya Bapak yang tinggal di sini, jadi Maudy bakalan tinggal sama mereka. Katanya, sih, dia udah terlanjur nyaman sekolah di sini. Gue yakin aslinya dia gak mau pisah sama pacarnya."

Senyum simpul Malvin terlihat. Ah, kalau di pikir-pikir, bukannya ini adalah percakapan pertama mereka selain membahas pelajaran ataupun seputar klub?

"Di tempat baru nanti, lo harus nemuin teman yang beneran tulus sama lo, Fa. Yang udah terjadi jangan sampai terus berulang, lo yang dapat sakitnya sendirian, kan?"

"Pasti, lah!" seru Shafa cepat. "Nanti lo juga bisa nanyain kabar gue dari Maudy. Pokoknya, jangan sampai gak kontakan lagi, oke?"

"Iya, lo temen pertama gue, mana mungkin gue lupain gitu aja."

Shafa sedikit tertegun mendengarnya. Teman pertama, ya? Kalau di pikir-pikir pun, bukankah Malvin juga teman pertama untuknya? Teman yang benar-benar tulus dan selalu mendukung dirinya, tanpa membawanya dalam pengaruh buruk. Malvin juga melindunginya.

Mengingat itu, Shafa tersenyum. Wajar saja kalau ia jatuh cinta pada remaja itu. Ah, pada akhirnya Shafa jadi merasakan indahnya masa SMA. Tapi kenapa semuanya terjadi pada detik-detik perpindahannya?

___

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang