[ Selesai ]
"Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka."
Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gerry! Di cariin sama anak IPS, tuh."
Membalikkan badannya, Gerry yang semula tengah adu panco dengan teman-temannya kini menghampiri Shafa yang berdiri di ambang pintu kelas. Gadis itu memegang kuat amplop cokelat yang Nada berikan padannya kemarin.
"Kenapa?" tanya Gerry dengan senyum menyebalkan.
Menyodorkan benda itu, Shafa akhirnya menghela napas. "Dari Nada, buat ganti duit lo yang dia pake selama kalian pacaran. Setelah ini jangan ganggu dia lagi."
Gerry tertawa puas setelah menerima amplop yang Shafa berikan padanya. "Ternyata dia takut, ya? Haha, gak nyangka gue. Main-main, sih, ternyata mentalnya gak sebesar itu," katanya.
Shafa pikir karena sebelumnya Gerry bilang akan menerornya, remaja itu benar-benar akan mengganggunya seperti saat Nada menghilang tanpa ada kabar apapun. Hari itu Gerry terus menelfonnya untuk menanyakan kabar Nada meski ia juga tak tahu apapun mengenai teman sebangkunya itu.
Ternyata, Gerry justru tak menghubunginya sama sekali. Terakhir kali mereka bertemu di perpustakaan, saat ia memergoki Nada dan sang remaja hampir melakukan hal yang diluar batas.
Setelah Shafa pikir ulang, kejadian hari itu ada baiknya juga. Bukan karena ia senang karena Nada hampir saja jadi korban pelecehan di sekolah. Tapi karena sejak hari itu, Nada jadi sedikit berubah. Gak lagi jadi gadis manja yang gonta-ganti pasangan dan mempermainkan banyak cowok dengan mudah.
Nada jadi lebih bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.
Mungkin Gerry bersikap seperti itu juga bukan tanpa alasan, melainkan ingin memberi pelajaran pada Nada yang saat itu sikapnya makin menjadi-jadi.
"Kalau gitu gue pamit," ucap Shafa.
Gerry hanya berdehem setelah melihat isi amplop dengan nominal uang yang tak sedikit. Remaja itu tersenyum puas, lantas kembali masuk ke dalam kelasnya.
Sementara Shafa, gadis itu berjalan dengan membawa tumpukan buku di tangan kirinya. Kemarin malam, saat sudah larut, Malvin mengiriminya pesan yang lumayan panjang. Katanya, dia perlu baca-baca meski sudah banyak melakukan latihan soal.
Karena bagaimanapun juga, yang Bu Rara berikan hanya bocoran soal yang 'kemungkinan' keluar. Barangkali ada soal yang nantinya meleset, Malvin ingin memastikan saja.
Sebenarnya Shafa sedikit merasa heran, karena saat di sekolah dan di rumah, Malvin terasa seperti pribadi yang berbeda. Remaja itu lebih sering membahas perihal olimpiade dan bertanya banyak hal ketika malam hari, saat di rumah. Sementara kalau di sekolah, Malvin lebih sering main-main dan mengerjakan soal seadanya.
Shafa jadi curiga kalau remaja itu mendapatkan lebih banyak tekanan ketika berada di rumahnya. Sang gadis menggeleng pelan, ia pikir, ia terlalu ikut campur dalam masalah Malvin.
"Lama banget," protes Malvin ketika baru melihat Shafa memasuki ruangan.
Gadis itu mendengkus pelan. "Kan, gue perlu waktu buat nyari bukunya. Lo kira gampang nyari buku kayak gini di perpustakaan yang nyimpen buku ribuan?"
Malvin tak membalas, remaja itu sibuk melihat-lihat isi buku yang Shafa bawa. Ketika netranya melihat salah satu bacaan yang familiar, matanya melebar lucu seperti anak kecil yang penasaran dengan sesuatu.
"Oh, pembahasan yang ini kemaren ada soalnya!" katanya dengan antusias, membuat anggota dari cabang lain menatap heran ke arahnya.
Shafa memukul punggungnya pelan. "Jangan teriak-teriak, Vin," peringat Shafa pada sang remaja. Malvin tak menggubris, ia masih melihat isi buku dengan tatapan berbinar.
"Gue pinjem, ya? Buat baca-baca di rumah."
Kepala Shafa mengangguk-angguk, sedikit acuh tak acuh karena Malvin pun bersikap demikian. Keheningan membawa dua remaja itu dalam kesibukan masing-masing. Shafa berkali-kali membuka buku untuk menjawab soal yang tengah ia kerjakan, sementara Malvin lebih sibuk membaca buku yang Papa belikan untuknya.
"Shafa," panggil seseorang yang langsung membuat gadis itu menoleh. "Lo sama Malvin di panggil Bu Rara ke ruangan," lanjut gadis berambut sebahu itu.
Melirik pada Malvin yang sama sekali tak acuh dengan keadaan sekitar, Shafa menepuk lengan sang remaja dengan pelan. Tapi sepertinya, Malvin sedang sangat fokus pada bacaannya hingga remaja itu sedikit terperanjat.
"Ayo, kita di panggil Bu Rara keruangan," ajak Shafa.
Malvin tampak menghela napasnya dan memegang kepalanya yang terasa berdenyut. "Gak bisa nanti aja, ya?"
"Mana tau itu hal yang penting, Vin."
Sang remaja memejamkan matanya sejenak, kemudian bangkit dan berjalan lebih dulu, membuat Shafa mengekorinya dari belakang.
Sesampainya di ruangan, kedua remaja itu dibuat sedikit bingung karena tak menemukan satupun guru di dalam sana. Kipas angin di biarkan menyala, membuat beberapa kertas yang semula berada di atas meja kini berterbangan.
"Assalamualaikum," ucap Malvin sembari mengetuk pintu untuk memastikan apakah ruangan benar-benar tak ada orang.
Sang gadis juga turut celingukan. Hingga akhirnya, sosok yang tengah mereka cari tampak keluar dari dalam ruang tata usaha yang tergabung dengan kantor guru. "Eh, sini, nak," panggil Bu Rara.
Wanita berkacamata kotak itu mengambil posisi duduk di bangkunya, kemudian mencari-cari sebuah kertas yang baru ia dapatkan dari pembina olimpiade Biologi. Shafa dan Malvin berjalan menghampiri, sedikit memasang wajah yang bertanya-tanya ketika melihat selembar kertas yang Bu Rara pegang.
"Begini, tanggal lomba buat olimpiade-nya sudah keluar, dan ternyata lebih cepat dari dugaan Ibu. Jadi, kita hanya punya waktu sedikit untuk bersiap-siap, lombanya kurang dari dua minggu lagi."
Kelopak kedua remaja itu melebar, terkejut atas informasi yang Bu Rara berikan. "Kurang dari dua minggu lagi saya bisa belajar apa, Bu? Sementara saya baru masuk klub olimp tanpa tau apa-apa," protes Malvin.
Bu Rara melepaskan kacamata petak yang ia kenakan, kemudian menghela napas. "Ibu tau, tapi Ibu yakin kamu bisa. Dari apa yang Ibu pantau, kamu itu cepat tanggap, cuman sedikit malas saja."
Malvin mendengkus kesal, kepalanya jadi terasa makin berdenyut. Apanya yang cepat tanggap? Mereka tak tau saja ia mati-matian mengulang pelajaran sampai mengurangi jam tidurnya. Kalau sudah begini, apa Malvin harus sama sekali tak tidur?
"Malvin, dengarkan saya. Kamu tau Papa kamu berharap lebih, kan? Jangan kecewakan beliau, cuman kamu yang menjadi harapannya."
Shafa menoleh cepat pada sang remaja yang kini tengah menundukkan kepalanya. Jadi perkiraannya benar, kan? Malvin mendapatkan tekanan di rumah, mungkin karena itu ia jadi sedikit berbeda kalau di sekolah.
Sang remaja mengangguk pelan. "Iya," balasnya tanpa minat dengan suara pelan.
Bu Rara menyandarkan punggungnya. "Cuman itu saja yang mau saya beritahu, kalian boleh kembali mengerjakan soal."
Shafa dan Malvin mengangguk serentak, lantas pamit undur diri setelah mengucapkan terimakasih pada sang guru.